Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Di Inggris, Rakyat Papua Cetuskan Resolusi

Written By Unknown on Jumat, 05 Agustus 2011 | 02.00

4 Agustus 2011 - 2:36pm
Setelah gagal dengan referendum Pepera, rakyat Papua mencari cara lain: Konferensi Para Pengacara Untuk Papua di Oxford, Inggris. Dalam konferensi tersebut tiga resolusi disepakati. Salah satunya adalah bahwa rakyat Papua punya hak untuk menentukan nasib sendiri sesuai dengan hukum internasional.

Konferensi soal Papua itu merupakan pertama kalinya di luar negeri. Ikuti keterangan Benny Wenda, ketua Free West Papua di Inggris kepada Radio Nederland.

Konferensi itu membahas mengapa rakyat Papua ditekan dan harus ikut kemauan negara-negara asing selain Indonesia, di antaranya Amerika dan Belanda. Rakyat Papua selalu merindukan hak-haknya yang menurut standar hukum Internasional.

"Itu yang menjadi akar masalah di Indonesia sejak tahun 1963 di mana Indonesia secara ilegal menguasai tanah Papua. Sampai hari ini terjadi pembunuhan, pemenjaraan, pemerkosaan di mana-mana."

Tiga kesepakatan
Konferensi tersebut juga menilai dan melihat kembali apa yang terjadi. Sebetulnya ada tiga kesepakatan, namun sampai saat ini belum diumumkan secara resmi. Poin terakhir adalah rakyat Papua punya hak untuk menentukan nasib sendiri sesuai hukum internasional.

Benny Wenda menjelaskan, referendum Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat, red.) yang terjadi sesuai kesepakatan New York ternyata tidak dilaksanakan di lapangan. Yang harus terjadi, tambah Benny Wenda, adalah one man one vote.

Namun rakyat Papua tidak pernah memilih dan tidak pernah dipilih. Indonesia sebetulnya sudah setuju hal tersebut tapi tidak pernah dilaksanakan di Papua.

Kerusuhan
Sementara itu kerusuhan yang terjadi di Papua beberapa hari terakhir, menurut Benny Wenda, sebetulnya sudah "diatur," sehubungan dengan adanya konferensi tersebut. "Dua hari sebelumnya sudah ada kekerasan di mana-mana. Ini merupakan skenario supaya militer ada di Papua. Supaya dunia luar melihat bahwa rakyat Papua itu menciptakan kekerasan."

Benny Wenda menduga skenario tertentu dilakukan intelijen Indonesia dengan militer. Jadi yang terjadi setiap acara yang menyangkut kegiatan konferensi seperti ini selalu saja ada. Ini bakal pertanyaan besar oleh dunia.

Konferensi sehari soal Papua itu diikuti oleh 150 wakil Papua di seluruh dunia dan juga perwakilan kelompok hak-hak azasi manusia.
02.00 | 0 komentar

Konferensi di Inggris, Papua Bergejolak

2 Agustus 2011 - 2:47pm

Beberapa hari terakhir Papua bergejolak. Senin (01/08) terjadi insiden penembakan yang menewaskan 4 orang. Sementara itu di Oxford, Inggris, Selasa (02/08) digelar Konferensi Para Pengacara Untuk Papua (ILWP). Salah satu agendanya adalah membahas status Papua sebagai bagian dari Indonesia. Dua peristiwa ini ada kaitannya, demikian menurut Fritz Ramandey dari Komnas HAM Papua. 

"Di Papua kalau ada agenda besar seperti ini biasanya diikuti dengan ekses," kata Ramandey. Kepada Radio Nederland ia menjelaskan di Jayapura muncul berbagai demonstrasi mendukung konferensi ILWP di Inggris.
"Menurut hasil pemantauan sementara Komnas HAM ekses ini dampaknya adalah satu terjadi eskalasi di tingkat lokal. Kedua, ini dijadikan justifikasi oleh tentara untuk melakukan tindakan kamtibnas (kemanan dan ketertiban nasional, red.). Atas nama menegakkan keamanan di wilayah mereka bisa melakukan tindakan."
Lokasi sama
Pihak kepolisian sendiri menuduh Organisasi Papua Merdeka berada di balik serangan yang menewaskan tiga pria dan satu perempuan di Desa Nafri Jayapura itu. Namun, OPM seperti yang dikutip oleh berbagai media di Indonesia menyangkal keterlibatan mereka.
Menurut Fritz Ramandey, OPM memang sering dikaitkan dengan aksi penembakan yang dilakukan oleh warga sipil. Tapi, sampai saat ini belum ada pelaku yang ditangkap sehingga belum bisa dipastikan apa latar belakang penembakan ini. Menurut Ramandey, ini adalah kedua kalinya terjadi insiden penembakan di lokasi yang sama.
"Sebenarnya kalau dilakukan penyisiran pasti bisa teridentifikasi ke mana para pelaku bergerak. Tempatnya sangat mudah untuk dilokalisir oleh polisi. Tapi sampai saat ini belum ada pelaku yang ditangkap. Namun demikian, kami mencoba tetap percaya kepada pihak kepolisian untuk mengungkap siapa pelaku penembakan."
OPM
Yang menarik dari insiden ini, menurut Ramandey, adalah dikeluarkannya pernyataan dari OPM. "Ini adalah pertama kali mereka mengeluarkan pernyataan yang menyatakan tidak bertanggung jawan. Dalam insiden-insiden sebelumnya mereka tidak melakukannya," kata Ramandey.
Beberapa tahun lalu Panglima OPM Richard Hans Youweni menyerukan untuk menghindari pemakaian cara-cara kekerasan. Menurut Ramandey OPM tidak punya peralatan yang memadai untuk melakukan serangan, apalagi terhadap polisi/TNI. "OPM mendukung proses dialog. Itu yang penting," kata Ramandey.


01.57 | 0 komentar

Kasus HAM Papua Direkap

Written By Unknown on Minggu, 24 Juli 2011 | 00.19

Sabtu, 23 Juli 2011

Ferdinand Marisan
JAYAPURA - Dengan sponsor sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari Amerika Serika dan Negara-Negara Eropa (Uni Eropa), Elsham Papua berusaha mengumpulkan (merekap) dugaan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua selama Papua berintegrasi ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Koordinator Elsham Papua Ferdinand Marisan,S.Sos kepada Bintang Papua mengungkapkan, proses pengumpulannya telah selesai. “Kita sudah melakukan pengumpulan data tentang kasus-kasus HAM (Hak Asasi Manusia) di Papua sejakTahun1969 hingga Tahun 2010,” ungkap Ferdinand Marisan,S.Sos kepada Bintang Papua, baru-baru ini
Dikatakan, pihaknya sudah menyelesaikan pengumpulan data pelanggaran HAM tersebut. “Pengumpulan data kita lakukan dari Bulan Februari 2011 dan telah selesai April 2011 kemarin,” jelasnya. Saat ini, Elsham sedang berupaya menyusun data-data yang berhasil dikumpulkan dalam bentuk buku. “Nanti kita susun laporan dalam bentuk buku dan diperkirakan baru bisa kita keluarkan Oktober 2011 mendatang,”jelasnya.
Pengumpulan data tersebut, pihak Elham bekerjasama dengan sebuah LSM dari Amerika Serikat ICTJ (International Center Transisional Justice), yang didukung Uni Eropa.(wp)
00.19 | 1 komentar

Clinton Harus Singgung Masalah HAM di Indonesia

Sabtu, 23 Juli 2011

Human Rights Watch mendesak agar menlu Amerika Hillary Clinton menekankan pelanggaran HAM yang dilakukan militer, kebebasan berekspresi dan hak-hak kelompok minoritas. Clinton mengunjungi Indonesia Kamis (21/07). Berikut wawancara dengan Rafendi Djamin, aktivis HAM kepada Radio Nederland.

Menurut Rafendi Djamin, selain kekejaman terhadap wartawan, kebebasan berekspresi di Indonesia juga terancam dengan RUU Rahasia Negara baru. Namun secara umum apa yang didesak oleh HRW adalah hal yang seharusnya dilakukan dalam konteks hubungan Indonesia dan Amerika.
Bantuan Amerika terhadap Indonesia antara lain adalah kerjasama pendidikan militer. Kerjasama itu dilanjutkan sejak tahun lalu. Berdasarkan komitmen sebelum kerjasama berlangsung, Indonesia berjanji untuk melakukan proses seleksi pengembangan karier perwira berdasarkan catatan hak-hak azasi manusianya yang ketat.
Termasuk juga eksekusi terhadap anggota-anggota TNI yang melakukan tuduhan pelanggaran HAM. "Ternyata janji tersebut tidak dipenuhi dengan maksimal. Contoh yang paling jelas adalah kasus penyiksaan yang dilakukan oleh prajurit TNI di Papua. Pengadilannya hanya bersifat indisipliner. Itu kan tidak memenuhi janji. kasarnya gitu."
Kebebasan Berekspresi
Yang dituntut oleh Human Rights Watch adalah hal yang bersifat spesifik yaitu berkaitan dengan kriminalisasi terhadap wartawan yang berupaya untuk mengungkapkan terutama kasus-kasus korupsi. "Bahkan ada pula ancaman-ancaman fisik terhadap beberapa wartawan tersebut."
Yang lebih memprihatinkan saat ini adalah Indonesia menghadapi tantangan berkembangnya sifat yang sangat intoleran yang dapat menimbulkan berbagai macam kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoitas terutama kelompok minoritas agama, Ahmadiyah, kristen atau kelompok aliran kepercayaan lain.
"Itu ada kencenderungan yang meningkat dan menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi dan legitim diangkat oleh Clinton untuk menanyakan bagaimana perkembangan perlindungan kelompok minoritas agama ini."
Ancaman RUU Baru
UU saat ini menurut Rafendi Djamin yang potensial mengancam kebebasan berekspresi adalah UU Rahasia Negara dan UU yang berkaitan denga intelijen. Keduanya belum diadopsi DPR.
Kedua RUU itu baik langsung atau tidak langsung akan punya pengaruh terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi atau UU yang lain. "Padahal, kita juga punya UU terhadap akses informasi, dan kita punya komisi informasi publik dan KPI Komisi Penyiaran Indonesia, itu semua sudah cukup memadai untuk kebebasan berpendapat."

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/clinton-harus-singgung-masalah-ham-di-indonesia
00.02 | 0 komentar

Bahasa Lokal Papua Terancam Punah

Written By Unknown on Sabtu, 23 Juli 2011 | 23.58

 Sabtu, 23 Juli 2011

Yoseph Wally, seorang peneliti di Universitas Cendrawasih Jayapura mengatakan bahasa lokal mulai punah.


Bahkan di sejumlah desa yang dikunjungi, penduduknya sama sekali tidak mengerti bahasa lokal. Di Papua terdapat 200 bahasa tradisional, namun saat ini kebanyakan hanya digunakan kurang lebih seribu orang dan terkonsentrasi di satu desa. Bahasa Indonesia jadi bahasa utama penduduk di bawah 40 tahun, baik di kota maupun di pedalaman.

Sering ada tuduhan bahwa pemerintah sengaja menganakemaskan bahasa Indonesia sebagai bagian integrasi. Namun departemen kebudayaan mengatakan mustahil memelihara bahasa yang tidak lagi digunakan sehari-hari. Namun Yoseph Wally yakin bahasa tradisional Papua bisa dilestarikan melalui seni dan budaya.

Universitas Oxford Inggris saat ini sedang merekam Emma, Enos dan Anna, tiga warga Papua terakhir yang masih bicara bahasa Dusner.

Lebih dari 200 bahasa punah di seluruh dunia selama 3 generasi terakhir dan 2500 terancam punah. Demikian daftar UNESCO.
23.58 | 0 komentar

Resolusi Uni Eropa Soal Indonesia Tak Bergigi?

Written By Unknown on Selasa, 19 Juli 2011 | 00.06

Senin, 18 Juli 2011

Parlemen Eropa mengadopsi resolusi soal HAM di Indonesia yang antara lain juga merujuk ke serangan terhadap minoritas agama seperti Kristen dan komunitas Muslim Ahmadiyah. Langkah ini menyusul sebuah resolusi yang diteken 38 anggota di parlemen Inggris, surat keprihatinan yang ditandatangani anggota Kongres AS dan resolusi di parlemen Swedia, yang semuanya menyoroti penganiayaan kekerasan minoritas di Indonesia.


Resolusi Parlemen Eropa mengungkapkan "keprihatinan di insiden kekerasan terhadap kelompok agama minoritas, khususnya Ahmadiyah, Kristen, Baha'i dan Buddha..., " menyerukan pemerintah Indonesia untuk mencabut atau merevisi SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah yang menurut resolusi rentan penyalahgunaan. Apakah resolusi ini bakal bisa membawa perbaikan akan situasi di Indonesia?
Menurut Florian Witt, penasihat politik delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, resolusi adalah hal yang lazim dikeluarkan Parlemen Eropa, yang merupakan sebuah lembaga independen yang dipilih langsung rakyat negara-negara anggota Uni Eropa. Dalam hal ini parlemen memang sering mengeluarkan resolusi tentang HAM di negara ketiga.
Bagaimana dengan resolusi untuk Indonesia ini? Apa ada tujuan khusus? Menurut Florian, resolusi kali ini untuk menitikberatkan atau menegaskan bahwa Parlemen Eropa prihatin dengan beberapa kejadian (yang berhubungan dengan kekerasan antar agama,terutama atas kelompok minoritas) akhir-akhir ini di Indonesia.
Konsekuensi
Florian Witt menjelaskan, ini adalah sebuah resolusi jadi secara gamblang tidak ada konsekuensi langsung untuk Indonesia.
Bagaimana dengan kritik yang mengatakan Uni Eropa tidak perlu ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia? Florian menjawab, tidak bisa berkomentar jika ada statement dari pihak lain tentang hal tersebut. Menurutnya, "Yang penting kita punya dialog reguler dari Indonesia yang berjalan dengan sangat baik."
Selain mengeluarkan resolusi, apa ada usaha lain yang bisa dibilang lebih konkrit dari Uni Eropa untuk memperbaiki kondisi di Indonesia saat ini? Yang menggembirakan adalah adanya dialog tahunan dalam bidang HAM antara Indonesia dan Uni Eropa. Dalam dialog dibicarakan hal-hal yang terkait dengan HAM. Selain itu dibicarakan juga kerja sama apa saja yang akan dijalankan dalam bidang tersebut.
Tak Memaksa
Memang Uni Eropa tidak bisa misalnya mengikat atau "memaksa" pemerintah Indonesia dalam hal ini. Florian menambahkan, sebelum menyetujui untuk melakukan kerja sama, harus ada lampu hijau dulu sebelumnya dari kedua belah pihak.
Membaik
Tapi menurut Florian, situasi HAM di Indonesia secara umum sudah banyak mengalami perkembangan selama dekade terakhir, ini juga bisa dilihat dari dialog tahunan Uni Eropa- Indonesia yang berjalan dengan sangat baik.

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/resolusi-uni-eropa-soal-indonesia-tak-bergigi
00.06 | 1 komentar

Menguak Sejarah Perbudakan di Indonesia

Written By Unknown on Senin, 18 Juli 2011 | 23.59

Senin, 18 Juli 2011

Untuk kita warga Indonesia, sejarah perbudakan mungkin terdengar asing. Banyak yang berpikir perbudakan hanya terjadi terhadap orang-orang dari Afrika saja yang dibawa ke Benua Amerika. Namun, sejarah perbudakan ternyata sangatlah dekat dengan sejarah Bangsa Indonesia.
 

Pada 1 Juli 1863 Belanda yang pada masa itu menjadi salah satu pedagang budak terbesar di dunia,  secara resmi menghapuskan perbudakan di semua wilayah jajahannya. Tanggal 1 Juli menjadi tonggak sejarah bagi para budak Afrika yang dibawa Belanda terutama ke Suriname, bekas jajahan Belanda di Benua Amerika.
Lizzy van Leeuwen, sejarawan dari Universitas van Amsterdam menjelaskan penghapusan perbudakan di Oost Indië, atau Indonesia, secara resmi baru 100 tahun lalu. Pada waktu itu, Belanda menghapus praktek perbudakan yang diterapkan di Kepulauan Sumbawa.

Belum terkuak

"Ini adalah sejarah yang belum terungkap dan ada kaitannya dengan sejarah perbudakan di Timur, tidak hanya di Indonesia tapi lebih luas lagi di wilayah Asia Tenggara. Sejarah perbudakan di sana mencakup jangka waktu yang sangat panjang dan meliputi berbagai bentuk perbudakan. Mengingat cakupan ini masalah perbudakan di wilayah sekitar Samudura Hindia ini sulit sekali untuk diungkap. Sedikit sekali penelitian tentang masalah ini," jelas van Leeuwen.
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Amerika Serikat, Marcus Vink, Belanda juga menjalankan praktek perbudakan di Indonesia. Van Leeuw menjelaskan, "Jan Pieterszoon Coen membunuh semua penduduk asli Pulau Banda untuk membuka perkebunan pala. Ia kemudian membeli budak-budak dari wilayah Pulau Banda. Dari situlah dimulai praktek perdagangan budak di Indonesia."
Jelas bahwa praktek perbudakan juga terjadi di Indonesia. Menurut van Leeuwen, perbudakan sudah menjadi bagian dari sistem kemasyarakatan di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Sumbawa, Bali dan Toraja. Penjajah Belanda membiarkan praktek perbudakan itu terus berlangsung karena itu menguntungkan posisi mereka di wilayah jajahan.

Terlupakan

Berbeda dengan masyarakat Suriname yang sampai sekarang terus memperingati sejarah kelam perbudakan, di Indonesia hal itu sama sekali tidak terjadi. Bagaimana ini bisa dijelaskan?
Menurut van Leeuw ada beberapa penjelasan. "Alasan utama menurut saya karena orang tidak lagi merasakan dampak perbudakan di wilayah Indonesia itu secara nyata. Ini berbeda dengan situasi di Barat di mana orang bisa melihat hubungan perbudakan dengan masa kini secara jelas."
Selain itu, lanjut van Leeuwen, di wilayah Hindia Belanda, perbudakan tidak terjadi dalam skala industrial seperti yang terjadi di Suriname. Kebanyakan budak dipakai untuk keperluan rumah tangga. Tapi, bukan berarti budak di sana hidupnya lebih nyaman. Terjadi berbagai hal mengerikan, bagaimana budak-budak rumah tangga itu dihukum dengan sangat kejam. Hal itu bahkan masih terus saja terjadi sampai abad ke-20 di beberapa rumah tangga di Oost Indië.

Budak masa kini

Praktek perbudakan di dunia sayangnya sampai sekarang masih saja terjadi. Ironisnya, saat kita merayakan hari penghapusan perbudakan pada 1 Juli lalu di Belanda pada saat yang sama di berbagai belahan dunia masih terjadi praktek-praktek perbudakan. 
Anak-anak yang dipaksa bekerja dengan kondisi yang memprihatinkan; wanita yang diperdagangkan sebagai budak seks; nasib para TKW Indonesia di Arab Saudi juga mengingatkan kita pada kejamnya praktek perbudakan. Oleh karena itu, hari penghapusan perbudakan bukan hanya untuk memperingati masa lalu tapi lebih penting untuk menjadi motivasi guna memerangi praktek-praktek perbudakan di masa kini.

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/menguak-sejarah-perbudakan-di-indonesia

23.59 | 0 komentar

Indonesia Kerasukan Militerisme di Mana-Mana

 Senin, 18 Juli 2011

Indonesia makin liberal, makin demokratis, tapi di lapangan orang-orang justru makin kagum dengan simbol-simbol militer dan cara berpikir militer. Pemain sepak bola pun dilatih dengan berpakaian militer. 


Saat memperingati Ultah ke 80, Nahdlatul Ulama menggelar pawai banser yang mengenakan seragam mirip militer. Adakah alasan psikis di balik karakter sosial yang sedang tumbuh di Indonesia?
Ikuti wawancara dengan pakar militer Indro Tjahjono tentang fenomena sosial ini.
Simbol-simbol militer
Semua orang, demikian Indro Tjahjono, cenderung kagum tehadap simbol-simbol militer. "Kagum dengan karakter militer sampai pemain bola juga dilatih secara militer. Jadi ini pemain bola yang sebenarnya bukan menyerang lawan dengan ilmu-ilmu olahraga, tapi ini memperlakukan lawan sebagai musuh." 
Menurut Indro, ini kecenderungan yang salah di Indonesia.
"Kelihatannya rakyat Indonesia itu memang belum lepas dari pengaruh militer, dari pengaruh masa Soeharto dulu bahwa ketika dikuasai Soeharto, katanya dengan gaya militeristik kita bisa maju. Nah, pengaruh ini masih dominan di mana-mana. Jadi, orang melihat setiap kali ada perubahan politik pun, militer harus ikut campur. Ini satu fenomena yang sedang mengemuka dan bukan hanya di bidang politik dan juga di olahraga, tapi latihan-latihan outbound-outbound yang kerjasama tim, itu juga menggunakan pelatih-pelatih dari militer."

Memprihatinkan

"Ini yang sangat memprihatinkan. Seolah-olah soal disiplin, soal ketepatan waktu itu adalah persoalan bangsa Indonesia dan mereka lupa bahwa persoalan kita adalah pemimpin yang visioner, yang tahu tentang keadilan, yang tahu tentang hak-hak warganegara. Kita kehilangan sosok pemimpin yang manusiawi. Jadi orang ingin sosok pemimpin militer, karena mereka pikir dengan militer ini semua tujuan akan terjamin. Ini memang satu krisis baru yang dialami Indonesia, dari segi sosiologis dan budaya."
http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/indonesia-kerasukan-militerisme-di-mana-mana
23.47 | 0 komentar

Kapolda Baru Diminta Tuntaskan Sejumlah Kasus di Papua

Written By Unknown on Jumat, 15 Juli 2011 | 03.53

Kamis, 14 Juli 2011

Kepala kepolisian daerah (Kapolda) Papua baru, Inspektur Jenderal Polisi Bigman Lumban Tobing diminta membuka ruang bagi warga. Kapolda juga diminta mengungkap pelaku dibalik segudang kasus yang terjadi di Papua.

Demikian disampaikan Ketua Jaringan Advokasi Hukum dan HAM Pegunungan Tengah, Theo Hesegem saat dikonfirmasi di Abepura, Kamis (14/7) malam. Menurutnya, hingga kini sejumlah kasus di Papua terkesan tertutup. Ruang bagi masyarakat untuk mengetahuinya juga demikian.

Selain itu, lanjut Theo, sejumlah pelaku dibalik kekerasan yang selama ini terjadi tak terungkap. Banyak kasus tenggelam dimakan waktu. Kepolisian juga terkesan tidak mampu menuntaskan segudang gejolak itu. “Kalau begini kan, polisi bisa dikatakan tidak berhasil. Mereka juga boleh dibilang tidak mampu,” ujar Theo.

Seharusnya, menurut dia, semua kasus harus diusut hingga tuntas. Lantaran, kepolisian sudah dilatih dan dilengkapi peralatan untuk menyelidiki sebuah kejadian. Tak hanya itu, Kapolda baru ini juga diminta menyelesaikan pekerjaa rumah (PR) yang ditinggalkan Kapolda lama, Irjen. Pol. Bekto Suprapto. Terutama, masalah pelanggran Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih menimpa Papua.

Sementara itu, koordinator divisi Demokrasi Aliansi Demokrasi Untuk Papua di Jayapura, Cory Silpa mengatakan, Kapolda baru diharapkan membuat perubahan besar dalam menangani sejumlah masalah yang selama ini masih terjadi di kawasan paling timur Indonesia ini. “Kapolda baru harus selesaikan PR yang belum terungkap. Masalah-masalah yang belum selesai harus diusut,” tandasnya.

Cory menuturkan, proses terhadap masalah harus cepat diselesaikan. Dengan demikian, ada efek jera bagi masyarakat. “Memang harus ada proses tapi cepat. Proses itu jangan terlalu lama,” cetusnya. Cory berharap, kedepan, dengan pimpinan baru polisi ini, aparat kepolisian diharapkan bekerja secara profesional. “Polisi harus mainkan peranannya. Jelas masyarakat ingin ada gambaran nyata tentang sebuah kasus,” imbuhnya.

Dia menambahkan, dengan begitu, ada kenyataan bahwa korps berbaju cokelat ini sedang bekerja. Namun, sebaliknya, jika setumpuk kasus-kasus itu tak terungkap, maka masyarakat akan menilai tak ada tindakan nyata dari polisi dalam mengungkap kasus. (wp)
03.53 | 0 komentar

PH Sesali Penundaan Sidang Makar di Wamena

Kamis, 14 Juli 2011

Pengacara hukum (PH) sembilan warga, terdakwa kasus makar di Wamena, Papua, menyesali penundaan persidangan tersebut oleh Jaksa. Penundaan tersebut juga dinilai menghambat proses peradilan. Tapi juga, waktu, tenaga dan biaya. 

Hal ini dikemukakan Cory Silpa, salah satu pegacara hukum 9 warga itu saat dikonfirmasi di Abepura, Kamis (14/7) sore. Menurutnya, sidang terakhir digelar pada Kamis, 24 Juni 2011. Seharusnya sidang selanjutnya pada Kamis lalu. Namun, hingga kini, sidang lanjutan belum terlaksana. “Sudah dua kali penundaan sidang,” ujar Cory.

Lanjut Cory, dipersidangan terakhir itu, jaksa meminta waktu untuk pembacaan tuntutan. Jaksa meminta hakim memberi waktu  selama dua minggu, untuk menyiapkan tunutan untuk dibacakan. Tapi, waktu yang ditentukan sudah lewat. Setelah konfirmasi, Jaksa mengatakan ketua masih berada di Jakarta. “Mereka bilang  kami tunggu informasi balik. Tapi, sampai sekarang, kami belum dapat penetapan sidang selanjutnya,” imbuhnya.

Bagi dia, tindakan itu tak adil. Ada proses penghambatan dalam hal ini waktu, biaya, dan tenaga. Seharusnya jaksa mempercepat persidangan tersebut. “Kalau ditunda maka harus ada kejelasan. Harus ada alasan, kenapa penundaan terus menerus,” paparnya.

Cory menambahkan, sebagai pengacara hukum, mereka tak mau kliennya ditelantarkan. Meskipun, sementara ini diproses hukum. “Kami tidak mau klien kami ditelantarkan. Mereka kan masih diduga. Memang betul mereka sementara diproses secara hukum. Tapi, proses peradilan itu harus ada. Mekanisme harus terbuka. Hak-hak tersangka harus dihargai,” cetusnya.

Sembilan warga itu ditunding melakukan makar lantaran membawa bendera bintang kejora, berbaju loreng dan membawa alat tajam  ketika dalam perjalan ke rumah salah satu kerabantnya, ketika itu. Mereka adalah Obed Kasay, Temboga Iluga, Yahya Kilunga, Wombi Tabuni, Wiki Meage, Pdt. Ali Jikwa dan Alias Alikwenda. Peralatan yang diboyong itu diketahui saat dicegat oleh anggota tentara di perjalanan. (wp)
03.50 | 0 komentar

Komunike Bersama Tolak Pengesahan RUU Intelejen

Kami, 14 Juli 2011

Pembahasan RUU Intelijen saat ini sedang berlangsung di parlemen. Penentuan akan disahkan atau ditunda pengesahan RUU Intelijen kemungkinan akan dilakukan pada rapat paripurna penutupan masa sidang DPR, Jumat 15 Juli 2011, besok.

Melalui press realess yang diterima dari Lembaga The Indonesian Human Right Monitor yang juga tergabung dalam komunike bersama, Kamis (14/7) menyebut,  pengaturan intelijen negara dalam undang-undang memang dibutuhkan dengan tujuan menjadi pintu masuk dalam melakukan reformasi intelijen dan dalam memastikan akuntabilitas intelijen. Namun, pengaturan intelijen melalui undang-undang intelijen tidak boleh dilakukan sembarangan dan harus menjadikan prinsip dan tata nilai demokrasi dan HAM sebagai pijakan dasar di dalamnya.

RUU Intelijen yang dibahas oleh pemerintah dan parlemen saat ini mengandung banyak kelemahan dan permasalahan substansial yang dapat mengancam penegakan hukum dan HAM, serta demokrasi itu sendiri. Setidaknya ada lebih dari 30 pasal bermasalah dalam RUU Intelijen. Apalagi pembahasan RUU Intelijen yang dilakukan oleh Panja RUU Intelijen parlemen belakangan ini justru terkesan tertutup.

Imparsial juga menyebutkan, sikap pemerintah dan sebagian besar anggota parlemen, yang tetap bersikukuh memberikan kewenangan pemeriksaan intensif alias penangkapan kepada Badan Intelijen Negara (BIN), yang di dalamnya juga terdapat intelijen militer (Pasal 15 ayat (1) dan 3 DIM Pemerintah atas RUU Intelijen), tentu akan merusak mekanisme criminal justice system dan dapat membajak sistem penegakan hukum. Pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen tersebut sama saja melegalisasi kewenangan penculikan di dalam undang-undang intelijen, mengingat kerja intelijen yang rahasia dan tertutup. 

Mereka menegaskan, kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum, diantaranya Polisi, Jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya, seperti KPK, sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan lainnya. Dalam konteks itu, badan  intelijen negara maupun intelijen militer bukanlah bagian dari aparat penegak hukum, sehingga adalah salah dan keliru apabila mereka diberikan kewenangan menangkap.

Pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen, menurut komunike, adalah langkah mundur dalam proses reformasi sektor keamanan. Pemberian kewenangan itu juga akan mengembalikan format dan posisi lembaga intelijen seperti pada masa orde baru dimana lembaga intelijen negara maupun lembaga intelijen militer dapat melakukan kerja-kerja untuk penangkapan yang pada praktiknya di masa lalu telah berakibat pada terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM.

Selain itu, terdapatnya Pasal dalam RUU Intelijen yang mengatur bahwa intelijen memiliki kewenangan dan tugas untuk melakukan pengamanan dan penyelidikan, tanpa ada penjelasan yang lebih lanjut dan rinci tentang peristilahan itu, sehingga jelas ketentuan ini bersifat karet dan multitafsir. Hal itu dapat membuka ruang tafsir sepihak bagi penguasa maupun aparat intelijen, bahwa kewenangan itu juga termasuk kewenangan menangkap dan kewenangan upaya paksa lainnya. Hal itu tak jauh bedanya dengan istilah pemeriksaan intensif yang didesakkan oleh pemerintah, untuk di masukkan dalam undang-undang Intelijen. Dengan demikian, keberadaan pasal itu juga akan menimbulkan persoalan tersendiri bagi proses penegakan hukum.

“Kami menilai penolakan mekanisme penyadapan melalui ijin pengadilan oleh intelijen sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 31 RUU Intelijen, telah mengancam hak privasi warganegara dan rentan untuk disalahgunakan oleh kekuasaan (abuse of power), kata direktur eksekutif Imparsial Jakarta, Poengky Indarti. Menurut dia, mengacu kepada keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2011 maka mekanisme penyadapan oleh lembaga negara harus diatur melalui undang-undang tentang penyadapan secara tersendiri.

Lanjut dia, pengaturan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 jo Pasal 39 RUU Intelijen juga masih melahirkan banyak tafsir, yang potensial mengancam kebebasan informasi dan kebebasan pers. RUU Intelijen juga belum mengatur tentang perlindungan hak-hak korban, padahal pengalaman di masa lalu, praktik intelijen hitam, kerap menimbulkan banyak korban, yang tak mendapat rehabilitasi apapun.

Catatan lain dalam rilis itu menyatakan, roh dan jiwa RUU Intelijen saat ini lebih meletakkan posisi intelijen sebagai alat kepentingan penguasa (pemerintah) dan bukan alat negara yang mengabdikan dirinya untuk  kepentingan rakyat. RUU Intelijen juga tidak selaras dengan dengan norma-norma legal konstitusi sehingga berpotensi berbenturan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. RUU Intelijen jauh dari harapan yang seharusnya berlandaskan kepada norma hukum dan Hak Asasi Manusia tetapi malah berpeluang menabrak rambu-rambu Hak Asasi Manusia.

Masih terkait dengan reformasi sektor keamanan, kami juga menilai bahwa RUU Keamanan nasional yang saat ini juga sedang dibahas di DPR, materinya setali tiga uang dengan RUU Intelijen, sebagaimana terlihat dari pemberian kuasa khusus kepada Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI untuk melakukan pemeriksaan, penangkapan dan penyadapan (penjelasan Pasal 54 huruf e jo pasal 20).

Penjelasan tentang Pasal 17 ayat 3 dan 4 dalam RUU Keamanan Nasional tentang ancaman aktual dan potensial sebagai ancaman keamanan nasional bersifat multitafsir dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), mengingat penentuan ancaman aktual dan potensial itu ditetapkan secara sepihak oleh Presiden melalui keputusan Presiden (Pasal 17 ayat (4)). Dengan demikian Presiden dapat menentukan secara sepihak semua hal yang menurutnya mengancam kekuasaannya sebagai ancaman yang potensial dan aktual yang mengancam keamanan nasional. “Itu artinya, bisa saja kelompok yang kritis terhadap negara, aksi mahasiswa, aksi buruh, aksi petani, pers yang kritis, dll dapat dianggap sebagai ancaman aktual dan potensial oleh presiden,” ujar salah anggota komunike.

Data lain dalam siaran pers itu menyebut, lebih dari itu penjelasan tentang bentuk ancaman tidak bersenjata dalam penjelasan Pasal 17 yang mengkategorikan pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, ideologi, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi, kebodohan, ketidakadilan,  kemiskinan, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi dll sebagai bentuk ancaman keamanan nasional bersifat multitafsir, karet dan dapat mengancam kebebasan dan demokrasi. Kurang lebih terdapat 20 Pasal bermasalah yang terdapat dalam RUU Keamanan nasional.

Bertolak dari itu, komike bersama mendesak dua hal kepada pemerintah Jakarta. Pertama, Kepada DPR untuk menunda pengesahan RUU Intelijen dalam pekan ini. Sudah seharusnya DPR dan pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang lebih luas kepada masyarakat sambil secara bersamaan mengakomodasi masukan dan pandangan masyarakat itu dalam kerangka penyempurnaan draft RUU intelijen. Dengan demikian, undang-undang intelijen benar-benar dapat menjadi pintu masuk dalam melakukan reformasi intelijen.

Dua, kepada DPR dan pemerintah untuk merombak total RUU Keamanan Nasional mengingat masih terdapat permasalahan substansial yang dapat mengancam kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan demokrasi.(wp)
03.47 | 0 komentar

TNI Angkatan Udara Jayapura Kesulitan Mendapat Putra Asli Papua

Kamis 14 juli 2011

Pangkalan Udara Jayapura mengaku kesulitan mendapatkan putra asli Papua untuk dididik sebagai tentara angkatan udara.

Komandan Lanud Jayapura, Andi Heru mengatakan setiap tahunnya jumlah putra asli Papua yang mendaftar ke Lanud Jayapura menurun. Tahun ini, hanya ada 30 putra asli Papua yang mendaftar di Lanud Jayapura. Rata-rata putra asli Papua gugur dalam tes kesehatan yang dilakukan TNI AU.

“Ya sekarang animonya kecil. Mungkin terlalu tinggi persyaratan yang dibuat, sehingga tuntutannya tinggi akhirnya orang dikiranya susah masuk kan gitu, padahal kan belum dicoba,” kata Andi saat dikonfirmasi di Jayapura, belum lama ini.   

Andi menuturkan, saat ini tak ada satu orang pun yang berpangkat perwira di Lanud Jayapura. Sementara ada lebih dari 20 prajurit berpangkat tantama dan bintara di Pangkalan Udara tersebut. “Sampia sekarang belum ada putra asli Papua yang berpangkat perwira di Lanud,” tandasnya.(wp)
03.44 | 0 komentar

Jaringan Damai Papua Menegaskan Bahwa Posisinya Di ' Tengah - Tengah ?'

Kamis, 14 juli 2011

Jaringan Damai Papua(JDP) baru saja menyelenggarakan Konferensi Perdamaian tanah Papua (KPP) tanggal 5,6 dan 7 Juli 2011.  KPP sempat mengalami penundaan selama 2 kali dari yang direncanakan akhir Mei dan pertengahan Juni 2011. Konferensi ini diharapkan menghasilkan rumusan mengenai  Permasalahan, konsep, ciri dan indikator Papua tanah Damai. Setiap harinya Konferensi tidak kurang dihadiri 600-800 orang terdiri dari sekitar 200 peserta yang datang dari wilayah – wilayah se Papua. Mereka terutama yang telah mengikuti Konsultasi Publik Dialog Jakarta Papua JDP di 19 kabupaten kota sebelumnya dengan komposisi perwakilan adat, perempuan, agama dan pemuda.

Selain itu dihadiri oleh para undangan dan pengamat yang berasal dari komponen paguyuban, akademisi, mahasiswa, lembaga keagamaan, pebisnis, investor serta jurnalis, petugas medis dan keamanan dari Dewan Adat Papua. Ada juga pengamat yang datang dari luar Papua, terlihat Letjen(Purn)Bambang Darmono, Prof Ikrar Nusa Bhakti, Prof.Indria Samego, Dr.Elga Sarpaung dan Dr.Richard Chauvel dari Victoria University, para peneliti dan DPD RI dengan setia mengikuti setiap sesi. Pihak DPRP dan DPR PB juga hadir. Secara khusus panitia juga memberikan undangan sebagai pengamat dari pihak KODAM XVII Cenderawasih dan Polda Papua.

Sebelum melaksanakan KPP, panitia yang semuanya merupakan anggota JDP telah melakukan berbagai persiapan. Meski awalnya terasa sulit terutama untuk melakukan komunikasi dengan pihak pemerintah terutama pemerintah daerah. Namun akhirnya panitia bertemu dengan Pangdam, Kapolda dan Gubernur.
Hal yang paling menarik adalah dengan kehadiran Menkopolhukam RI yang datang secara khusus sebagai keynote speaker pada pembukaan KPP. Dalam undangan JDP menyebutkan bahwa keynote speakernya adalah wakil presiden RI,”kita tahu,wapres yang diberikan tugas khusus mengenai masalah Papua,entah siapa yang mau ditunjuk Wapres,yang penting mewakili pemerintah,’ demikian penjelasan Koordinator JDP,Pastor Dr. Neles Tebay,Pr. Beberapa “friends of dialogue” demikian Dr. Muridan Satrio Widjojo ,koordinator JDP Jakarta menyebut orang – orang di Jakarta yang turut mendukung dialog, nampaknya turut menyakinkan pemerintah melalui Menkopolhukam untuk menghadiri KPP.

Dialog diawali dengan ibadah singkat, tidak ada laporan dari Panitia, kedua koordinator JDP : Pator Dr.Neles Tebay,Pr dan Dr.Muridan Satrio Widjojo hadir di mimbar, menyampaikan ucapan terima kasih dan maksud diselenggarakannya KPP ,kemudian membuka KPP dengan memukul tifa. Setelah itu, Menkopolhukam menyampaikan pidatonya. Kemudian Gubernur,Pangdam dan Kapolda menyampaikan konsep Papua tanah Damai dalam perspektif pemerintah daerah.Sesi selanjutnya pandangan Papua tanah damai dalam perspektif agama dan budaya. Sesi hari pertama, diakhiri dengan presentasi JDP mengenai hasil konsultasi publik yang telah dilakukan baik di kalangan papua pada 19 wilayah maupun untuk kalangan komunitas strategis(pendatang) di 6 wilayah.

Kehadiran Menkopolhukam RI, gubernur, pangdam dan kapolda di forum rakyat papua seperti di KPP merupakan moment yang sangat langka sebab dibanyak peristiwa yang melibatkan orang Papua,  para petinggi dari Jakarta maupun Papua seringkali menyampaikan alasan untuk tidak hadir. Maka dibagian ini, JDP telah melakukan satu langkah maju untuk membangun komunikasi diantara berbagai pihak. ”Ketika Menkopolhukam berpidato maupun penjabat pemerintah daerah, peserta mendengarkan dengan tenang, tidak ada interupsi ataupun teriakan -teriakan, semua berlangsung dengan baik,ini suatu langkah baik,’ ujar Dr.Muridan Satrio Widjojo. Meski saat pembukaan sempat diwarnai demo di luar gedung dan sebelumnya sempat muncul selebaran- selebaran maupun konferensi pers yang tidak setuju dengan pelaksanaan KPP.
Pada hari kedua, diawali dengan ibadah kemudian pembagian komisi-komisi untuk melakukan pembahasan dalam 6 isu : Komisi I membahas bidang politik, Komisi II bidang ekonomi dan lingkungan,Komisi III bidang Sosial dan Budaya,Komisi IV bidang keamanan,Komisi V bidang Hukum dan HAM dan Komisi VI  mengenai Dialog.Diskusi di komisi difasilitasi oleh anggota JDP baik anggota JDP dari Papua maupun dari Jakarta dan fasilitator lainnya. Berlangsung hingga siang hari hingga pleno hasil komisi pada hari kedua hanya berhasil menyelesaikan presentasi dari 2 Komisi yakni Komisi Politik dan Komisi Keamanan. Sebagian besar peserta menerima presentasi Komisi, di bagian Komisi politik yang mencuat seperti perkiraan banyak orang yakni masalah penyelesaian status politik Papua.Di komisi Keamanan yang mendapat sorotan besar adalah masalah reformasi sektor keamanan.

Setelah dibuka dengan ibadah pada hari ketiga,presentasi komisi dilanjutkan,diawali dengan Komisi III Sosial budaya,Komisi II Ekonomi dan Lingkungan,Komisi V Hukum dan HAM dan Komisi VI Mengenai Dialog.Tidak banyak catatan yang ditambahkan selain mengenai Konservasi hutan, politisasi lembaga adat dan lembaga keagamaan oleh pemerintah. Di bagian hukum dan HAM peserta menyoroti  sikap represif negara serta pentingnya pemerintah meminta maaf atas kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi.

Yang paling menarik adalah ketika Komisi VI mengenai dialog menyampaikan presentasinya.Untuk mendiator individu yang diusulkan adalah Coffi Annan dan Eni Faleomavega, sedangkan sebagai badan Internasional diusulkan PBB, Melanesian Spearhead Group dan Crisis Management International. Kemudian atas nama negara ada Amerika Serikat, Vanuatu, Ghana, Cina, Inggris, Belgia, Swiss dan China dengan ciri-ciri : Netral, Imparsial dan pihak luar (luar Papua dan Luar Indonesia).Untuk fasilitator diusulkan lembaga internasional dan negara  Australia,Afrika Selatan,Inggris,Amerika Serikat,New Zealand dan China. Sedangkan untuk lokasi disebutkan lokasi netral di luar Indonesia.

Juru runding disebut 5 orang dengan menyebutkan 17 kriteria,antara lain : memiliki hati nurani dan ideologi Papua merdeka ;  memahami proses dan sejarah Papua,berasal dari salah satu organisasi politik perlawanan rakyat bangsa Papua dan atau individu yang direkomendasikan oleh organisasi tersebut ; diterima oleh sebagian besar organisasi politik perlawanan Papua Barat dan rakyat bangsa Papua barat ; memiliki jiwa nasionalisme Papua ; memiliki integritas dan loyalitas terhadap upaya-upaya rekonsiliasai dan konsolidasi revolusi Papua Barat ; mampu dan bersedia bekerjasama dalam tim negosiasi Papua Barat dan tim juru runding terdiri atas laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang seimbang.Kriteria lainnya adalah juru runding bukan pemimpin tapi mendapat mandat dari pempimpin.

Selanjutnya pada Rekomendasi Komisi VI menyebutkan 1).Forum atau Komisi ini hanya memberikan input kepada pihak pelaksana konferensi untuk memperkaya. Selanjutnya tim pelaksana konferensi(JDP) akan melakukan assesment yang lebih intensif dalam membuat penentuan dan keputusan.2). Dalam membuat assesment, paling tidak ada pertimbangan tentang keberpihakan kepada rakyat bangsa Papua dan 3).Sebelum pelaksanaan dialog, rakyat Papua dan komponen-komponen perjuangan dihimbau agar segera bersatu memilih pempimpin nasional bangsa Papua.

Beberapa peserta kemudian memberikan tanggapan terhadap hasil kerja Komisi VI.Misalnya seorang perempuan dari pengunungan maju ke depan dengan memegang selembar kertas, perempuan tersebut berniat akan membacakan nama-nama juru runding yang sudah ada dalam genggamannya namun dicegah oleh beberapa orang. Di sisi yang lain ada pertanyaan –pertanyaan substantif yang muncul seperti : Jika juru runding bukan pempimpin, maka siapa pemimpin orang Papua?, Kita perlu melakukan antisipasi jika dialog gagal dan bagaimana kita mendesak pemerintah untuk segera melakukan dialog dengan rakyat Papua?. “itu menjadi pekerjaan kita bersama untuk merumuskannya  di tempat yang lain”, ujar Markus Haluk dari meja pimpinan sidang. Markus Haluk, Anum Siregar, Dominggus Pigay,Pendeta Ketrina Yabansabra dan Haji Ahmad Waros Gebze adalah 5 orang pimpinan sidang KPP.

Agenda selanjutnya adalah Penyampaian hasil kerja dari tim perumus. Hasil ini dirumuskan dari hasil kerja Komisi I,II,III,IV dan V.Rumusan ini diharapkan menawarkan satu langkah maju untuk mulai keluar dari hasil – hasil diskusi yang cenderung berfokus pada mengidentifikasikan masalah saja. Dalam rumusan disampaikan sejumlah indikator Papua tanah damai dari bidang politik, Ekonomi dan Lingkungan,Sosial Budaya,Keamanan dan Hukum dan HAM. Di bidang politik : Orang asli Papua merasa aman,tentram dan sejahtera hidup diatas tanahnya serta mempunyai hubungan yang baik dengan sesama,alamnya dan tuhannya ; Tidak ada lagi stigma separatis; perbedaan pandangan politik tentang status politik papua telah diselesaikan ; orang asli Papua selalu dilibatkan dalam kesepakatan yang berkaitan dengan kepentingan dan masa depan rakyat Papua.

Di bidang ekonomi dan lingkungan antara lain menyebutkan  : Seluruh tanah ulayat oang asli Papua telah dipetakan dengan baik ;pengelolaan SDA dilakukan dengan cara – cara yang memperhatikan kelestarian alam ; menghargai kearifan lokal dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk orang asli Papua ;  perusahaan yang merusak lingkungan dan merugikan pemilik tanah ulayat diberikan sanksi hukum dan administratif  dan Pemberdayaan orang asli Papua diberbagai sektor ekonomi dapat dilakukan melalui regulasi yang berpihak ada orang asli Papua.

Di bidang sosial budaya,antara lain berisi  :Hak – hak dasar orang asli Ppaua termasuk adat istiadat dan norma-norma diakui dan dihargai ; kebijakan yang mengarah pada depopulasi orang asli Papua seperti program KB yang membatasi kelahiran ahrus dihentikan ; kualitas pendidikan terus ditingkatkan dengan kurikulum yang kontekstual serta pengelolaan dana pendidikan yang sesuai sasaran dan tujuan , diskriminasi terhadap penderita HIV dan Aids diakhiri.

Di bidang  keamanan ,antara lain menyebutkan : Aparat keamanan dalam menjalankan tugasnya secara profesional dan menghormati HAM demi menjamin rasa aman bagi orang asli Papua ; pos-pos militer hanya didirikan di daerah perbatasan antara negara yang bukan merupakan pemukiman penduduk ; pengurangan pasukan non organik TNI dan Polri di seluruh tanah Papua ;Operasi intelejen yang intimidatif dan tidak memberikan rasa aman dihentikan ; TNI dan POLRI dilarang berbisnis dan berpolitik serta diberikan sanksi hukum yang tegas bagi yang melanggar  dan pelarangan aparat keamanan yang bekerja sebagai ajudan atau tenaga keamanan bagi pejabat sipil.

Di bidang Hukum dan HAM, antara lain menyebutkan : Orang asli Papua bebas berekspresi,berpendapat dan berkumpul ; kebijakan yang menghambat kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul sudah diakhiri , kekerasan negara terhadap orang asliPapua termasuk perempuan dan anak sudah diakhiri ; pelaku kekerasan negara diadili dan dihukum sesuai dengan rasa keadilan orang asli Papua dan korban dan  pengadilan HAM didirikan di Papua.

Setelah penyampaian Indikator Papua Tanah Damai,acara dilanjutkan dengan pembacaaan deklarasi yang dilakukan oleh koordinator JDP di Papua ,Dr.Pastor Neles Tebay yang didampingi oleh koordinator JDP Jakarta Dr. Muridan Satrio Widjojo  dan pimpinan sidang.
Reaksi berbagai pihak terhadap Deklarasi tersebut sangat beragam : Mengejutkan ; seperti per yang melonjak tinggi; diskriminatif ; berbeda dengan kampanye JDP sebelumnya dan ada juga yang mengatakan hal itu biasa saja dan sudah dapat diduga sebelumnya hanya ada beberapa yang sepertinya tidak taktis dan lain sebagainya. Sesungguhnya mengejutkan, sebab pertama sebagai suatu deklarasi terlalu diisi dengan hal – hal tehnis yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari hasil  komisi dan menjadi bagian lain dari laporan pelaksanaan kegiatan.

Kedua, terasa aneh sebab deklarasi tersebut tidak ditandatangani oleh pimpinan sidang, koordinator JDP ataupun bagian lain dari pelaksana KPP. Bahkan yang menandatangi seolah orang-orang tertentu yang sudah dipilih. Majelis Muslim Papua (MMP) meski organisasinya disebutkan dalam Deklarasi tersebut, menyatakan tidak turut di dalam Deklarasi. Timbul pertanyaan sebenarnya siapa pemilik deklarasi tersebut? Sebab Deklarasi semestinya mengakomodir pandangan berbagai pihak yang merupakan peserta KPP dan dilakukan secara terbuka.

Ketiga, ada beberapa kriteria dari Juru runding yang kesannya tidak taktis apalagi dengan secara tegas menyebutkan 5 orang sebagai juru runding.Jika saja isi Deklarasi hanya sampai pada kriteria juru runding tanpa menyebut nama – nama hal ini akan menjadi ruang konsolidasi dan refleksi tajam dari berbagai komponen faksi di Papua untuk saling membaca dan menentukan posisi dan kesediaan diantara mereka. Akan tetapi dengan menyebut 5 nama, dikhawatirkan akan memunculkan reaksi negatif dari faksi-faksi atau tokoh Papua lainnya. Di bagian lain, ada pertanyaan apakah 5 orang yang disebutkan itu memang sudah menyetujui sebelumnya?.Setuju bahwa posisi mereka hanya sebagai Juru runding dan bukan pemimpin?.Apakah  amanat ini dapat dijalankan secara tepat dan aman diantara mereka? sementara kita tidak tahu kapan dialog dilakukan?.

Keempat, fungsi JDP yang selama ini sebagai fasilitator kemudian dipertanyakan. Bukankah selama ini JDP menyebut dirinya sebagai ‘ditengah-tengah’ dan hanya bertugas ‘buka kebun’, membangun pemahaman dan dukungan mengenai tawaran konsep dialog Jakarta Papua. JDP tidak boleh mengeluarkan pandangan dan bertindak yang memberi kesan seolah sebagai penentu hal – hal yang sifatnya subtantif untuk pelaksanaan dialog ataupun membawa pesan pihak –pihak tertentu saja.

”JDP sebagai jembatan untuk berbagai pihak agar dapat membangun komunikasi, sebagai jembatan maka JDP siap untuk diinjak-injak”, penjelasan Dr.Muridan Satrio Widjojo. Menurutnya ini merupakan langkah yang masih sangat awal namun sudah cukup baik karena di forum yang sama pemerintah Indonesia telah menyampaikan pandangannya demikian juga dari rakyat Papua. ”Sekarang semua pihak masih bicara soal posisi, Deklarasi tersebut adalah posisi yang ditunjukan oleh orang Papua, dalam dialog memang diawali dengan bicara posisi setelah itu orang akan bicara kepentingan, selalu ada agenda yang sangat kuat tapi juga ada yang ‘soft’. Pemerintah bicara NKRI harga mati dan Orang Papua akan bicara ‘merdeka’ harga mati, sama-sama harga mati, tapi mari kita cari yang harga hidup”.tambahnya.

Dalam kata sambutan penutupan KPP, Koordinator JDP mengatakan : untuk menemukan jalan keluar dari persoalan di papua ada 5 kelompok  yang harus dilibatkan yakni Orang Papua di Indonesia ; Penduduk Papua di tanah Papua(rakyat, pemerintah dan swasta) ; Orang Papua yang hidup di luar negeri , Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka(TPN/OPM) dan Pemerintah Pusat di Jakarta.Ke lima kelompok ini mesti terlibat dan dilibatkan hanya dengan melibatkan lima kelompok ini maka perjuangan Papua Tanah damai akan menjadi perjuangan bersama.

Maka dengan penjelasan tersebut JDP harus tetap berjalan sesuai komitmen awalnya, membuka ruang untuk memfasilitasi berbagai pihak agar tidak muncul kecurigaan terhadap JDP bahwa JDP hanya berdiri mewakili kepentingan pihak tertentu. Jika Deklarasi dalam KPP kali ini menunjukkan posisi orang asli Papua, sejalan dengan itu JDP semestinya juga membuka ruang untuk memfasilitasi berbagai kepentingan pihak lain yang ada di Papua termasuk pihak non Papua.

KPP dan Deklarasi seolah menunjukkan dialog Jakarta Papua sudah dekat, ekspektasi yang ditunjukan karena kehadiran berbagai komponen rakyat Papua serta pemerintah pusat dan daerah. KPP dan Deklarasi bisa juga menjadikan titik balik yang membuat gagasan dialog menjadi jauh kembali. Meminjam istilah Sekjend PDP Thaha Alhamid ‘ jendela – jendela kecil yang bisa dirombak menjadi pintu’ ,mungkin akan tertutup dan akan ada tambahan gembok dimana –  mana. Kini, semua pihak diajak untuk merekonstruksi ulang posisi dan kepentingannya di dalam dialog Jakarta Papua. Siapa saja termasuk berbagai negara dan lembaga internasional.

Sebagai gagasan, dialog telah lahir dalam keputusan Konggress Papua tahun 2000 dan Ketetapan MPR RI tahun 2000. Gagasan dialog bergulir kembali dalam buku Papua Road Map dan Buku pastor Neles Tebay kemudian melahirkan JDP. Yang terpenting dialog mesti dipandang sebagai misi bersama untuk menyelesaikan konflik di tanah Papua menjadi Papua tanah damai . Dimana saja dengan payung organisasi atau institusi apa saja atau mungkin secara individu. Dialog semestinya terus dikampanyekan, dialog dalam arti luas : terus berdialog untuk kepentingan apa saja;  mulailah sesuatu dengan berdialog untuk kepentingan apa saja :  dialog yang sejajar, bermartabat dan mengakomodir kepentingan semua orang.  
Adapun pertanyaan – pertanyaan kunci seperti : siapa pemimpin Papua, bagaimana jika dialog gagal dilaksanakan, bagaimana cara mendesak pemerintah untuk mendukung dialog dan bagaimana untuk memfasilitasi kepentingan semua orang di Papua tentulah mesti dijawab bersama.(wp)
03.39 | 0 komentar

Aparat Keamanan di Papua Diminta Profesional


kamis,14 juli 2011
WP-Aparat keamanan diminta menjalankan tugasnya secara profesional dan menghormati hak asai manusia demi menjamin rasa aman bagi orang asli Papua. Pos-pos militer hanya didirikan didaerah perbatasan antara negara yang bukan pemukiman penduduk. 

Demikian hasil kesepakatan dalam bidang keamanan yang dibacakan diakhir konferensi, Kamis (7/7) kemarin. Kesepakatan lain dalam bidang ini yaitu pengurangan pasukan non organik dan organik diseluruh tanah Papua. Pengembangan institusi militer dibuat berdasarkan pemekaran wilayah, pemerintah sipil (kampun, kabupaten/kota dan provinsi). 

Selanjutnya, operasi intelijen yang intimidasi dan tidak memberikan rasa aman ditiadakan. TNI dan Polri dilarang berbisnis dan berpolitik serta diberikan sangsi hukum tegas bagi pelanggarnya. Aparat keamanan dilarang bekerja sebagai ajudan atau tenaga keamanan bagi pejabat sipil. 

Dari informasi yang diperoleh, sebanyak enam kelompok yang dibagi dalam bidang untuk membahas soal indikator-indikator masalah di Papua. Diantaranya, bidang keamanan, bidang politik, bidang keamanan, bidang ekonomi dan lingkungan hidup, dan bidang sosial budaya. Konferensi Perdamaian Tanah Papua berlangsuang selama 3 hari yakni sejak, Selasa – Kamis,  5-7 Juli 2011. Kegiatan ini ditutup oleh koordinator jaringan damai Papua, pater Neles Tebay. (wp)
03.33 | 0 komentar

Hentikan Praktek Konservasi Alam di Papua

kamis, 14 juli 2011

WP-Bidang ekonomi dan lingkungan yang dibagi dalam konferensi perdamaian tanah Papua memminta, praktek-praktek konservasi alam yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global di Papua dihentikan. Kelompok ini juga menyatakan, hutan dan lahan yang menjadi sumber-sumber produksi orang asli Papua direhabilitasi. Hasil itu dibacakan diakhir konferensi kemarin, Kamis (7/7).

Kesepakatan lain dalam kelompok itu adalah seluruh tanah ulayat orang asli Papua dipetakan secara baik. Hak ulayat orang asli Papua diakui secara legal. Pengalihan dan penguasaan tanah hak ulayat tidak menghapuskan hak kepemilikan orang asli Papua. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan cara-cara yang memperhatikan kelestrarian alam, menghargai kearifan lokal dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk orang asli Papua.

Perusahaan yang merusak lingkungan dan merugikan pemilik tanah hak ulayat, diberikan sangsi hukum dan administrasi. Pimpinan-pimpinan adat bersama masyarakat dilibatkan dalam proses penyusunan investasi pengelolaan sumber daya alam. Praktek-praktek bisnis perikanan, pertambangan, penebangan kayu secara ilegal dihentikan dan pelakunya dihukum.

Selanjutnya, pemberdayaan orang asli Papua diberbagai sektor ekonomi dapat dilakukan melalui regulasi yang berpihak pada orang asli Papua berupa pelatihan, pemberian modal usaha dan pendampinga. Diakhir kesepakatan mereka meminta, pemerintah dan swasta wajib mempersiapkan dan memberikan prioritas bagi orang asli Papua agar mampu mengisi peluang kerja diberbagai sektor. (wp)
03.26 | 0 komentar

Sejarah Singkat Perjuangan West Papua

Written By Unknown on Senin, 02 Mei 2011 | 13.05


3. Pandangan dalam Perjuangan Bangsa Papua

Perjuangan kemerdekaan bangsa Papua tidak sekedar karena alasan perbedaan ras Melansia dan Melayu, bukan juga karena mayoritas orang Papua itu beragama Kristen dan mayoritas orang Indonesia beragama Islam, tidak juga karena pelanggaran HAM yang kebanyakan dilakukan oleh orang Idnonesia dan bukan atas dasar ketidakseimbangan dalam kebijakan pembangunan seperti umumnya diperdebatkan dalam kampanye sejauh ini. Karena pokok-pokok sengketa yang ada dalam konteks perjuangan ini tidak sekedar masalah pelanggaran HAM, bukan sesempit persoalan perbedaan ras, tidak juga sekerdil karena orang Papua meminta sesuap nasi. Karena pokok-pokok sengketa dimaksud bersumber pada tingkah laku dan perbuatan badan dan negara yang mengkleim diri sebagai juara demokrasi, juara penegakan supremasi hukum dan juara dalam pemajuan demokrasi.

4. Pokok-Pokok Sengketa: Dalil-Dalil NKRI

Kita perlu melihat apa saja yang menjadi tekanan NKRI dalam rangka mengkleim wilayah West Papua sebagai bagian integral dari wilayah hukum NKRI.

4.1 Dalil Perjanjian Belanda-Indonesia[i]

Perjanjian Indonesia Belanda itu ada beberapa tahapan:

4.1.1 Konferensi Malino[ii]

Tahun 1946, Belanda menyelenggarakan Konferensi Malino membahas pembentunan Negara Indonesia Serikat, yang dihadiri juga oleh utusan West Papua atas nama Mr. Frans Kaisiepo.

Mr. Frans Kaisiepo nyatakan kepada Dr. H.J. van Mook dan perwakilan Indonesia bahwa orang Papua harus diberikan hak untuk berpemerintahan sendiri. Waktu inilah nama Irian (yang dalam bahasa biak artinya berkabut/baruap, steamy) diajukan menggantikan nama New Guinea. Konferensi ini tidak mencapai kesepakatan dalam hal nasib West Papua.

4.1.2 Konferensi Meja Bundar, Den Haag

Dalam konferensi ini Indonesia-Belanda telah sepakat tentang status Irian Barat akan dibahas dalam negosiasi-negosiasi dalam tempo setahun setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda (tahun 1949). Berarti sejak tahun 1951 sudah harus ada negosiasi-negosiasi itu. Tetapi karena sampai tahun 1961, Belanda belum menunjukkan tindakan real dari janjinya, maka Indonesia menggunakan isu komunisme sebagai senjata ampuh untuk menantang sikap berdiam diri dan delay tactics yang diterapkannya. Hasil konfrontasi awal 1961 akhirnya memaksa musuh bebuyutan Blok Timur, AS untuk terpaksa dilibatkan dalam merekayasa Pepera.

Seperti dilihat dalam Pasal berikut, Mohammad Hatta yang menjadi Ketua Delegasi Indonesia waktu itu menolak dengan tegas mempermasalahkan West Papua dengan alasan West Papua merupakan bangsa yang terpisah dari NKRI. Tetapi akhirnya ditetapkan bahwa status wilayah itu akan dibahas dalam negosiasi-negosiasi selanjutnya. Nah, dalam negosiasi-negosiasi selanjutnya itu, Moh. Hatta sudah tidak dilibatkan lagi, karena sudah mengundurkan diri dari politik kotor Sukarno.

4.1.3 Ketiga, waktu The New York Agreement

Indonesia juga mengkleim bahwa pelaksanaan Pepera 1969 itu sepenuhnya didasarkan atas Perjanjian New York 1962. The New York Agreement inilah yang menjadi dalil utama NKRI kemudian untuk mengkleim wilayah West Papua dan menyatakan sebagai wilayah hukumnya sampai hari ini.

Padahal sudah jelas bahwa orang Papua tidak terlibat ataupun dikonsultasikan dalam kesepakatan-kesepakatan, diskusi-diskusi dan tawar-menawar politik antara Belanda dan Indonesia.

4.1.4 Keempat, The Joint Rome Statement

Indonesia juga punya kleim bahwa Belanda-Indonesia juga telah memperkuat sikap dan persetujuan mereka untuk melaksanakan sepenuhnya Perjanjian New York, dengan rencana pembangunan selanjutnya sebagaimana yang dicantumkan dalam pernyataan Roma ini.

Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa setelah kegagalan Konferensi Malino dan Konferesni Meja Bundar (KMB), AS mulai memainkan perannya dalam deal-deal selanjutnya. Hasilnya seperti kita akan lihat dalam Pasal berikut bahwa kepentingan-kepentingan AS juga turut dibahas dan ditetapkan dalam The Rome Joint Statement maupun The Memorandum of Rome itu.
Lalu kita bertanya:

·   Apakah ada perwakilan atau orang Papua yang terlibat di sini?
·   Kalau ada, di mana pendapat mereka?
·   Kalau tak ada, apakah ini sebuah keputusan kolonialis, yang tidak tunduk kepada prinsip demokrasi?

4.2 Dalil Metode Implementasi Pepera

4.2.1 Bahwa prosedur dari penentuan pendapat akan dikonsultasikan dengan perwakilan rakyat (Irian)

Ada juga uraian bahwa prosedur dari penentuan pendapat akan dikonsultasikan dengan perwakilan rakyat (Irian).

Nah, kalau dikaitkan dengan realitas tindakan di lapangan, maka yang terjadi adalah intimidasi, indokrinasi dan drilling exercises bagi tokoh-tokoh yang ditunjuk NKRI untuk berteriak bergabung dengan NKRI. Yang terjadi bukanlah konsultasi, tetapi pemaksaan, intimidasi dan teror.
·   Apakah ini berbeda dengan proses sosialisasi RUU dan UU Otsus untuk West Papua sekarang?
·   Tahukah Anda cara Indonesia menunjuk para wakil dimaksud?
·   Tahukah Anda apa yang diucapkan Ali Murtopo dan pasukannya dalam kegiatan drilling exercises itu?

4.2.2 Bahwa penyediaan akan partisipasi dalam penentuan pendapat akan sesuai dengan praktek-praktek internasional

Dan sebagai kesimpulan dari implementasi ini, walaupun Ortiz Sanz menyatakan bahwa Pepera dilakukan sesuai dengan cara Indonesia, ternyata Indonesia mengkleim bahwa cara yang dilakukan Indonesia (musyawarah) sudah diakui oleh PBB (dunia internasional), maka dengan demikian hal itu sesuai dengan prinsip praktek-praktek internasional.

Jadi, Ortiz Sanz tidak mengakui pelaksanaan Pepera sesuai praktek internasional, tetapi sesuai dengan cara Indonenesia. Maka yang menjadi pertanyaan adalah:
·   Apakah cara Indonesia itulah yang disebut cara internasional?
·   Apakah cara musyawarah itu harus diakui dulu, baru dirapkan?
·   Ataukah karena hasilnya diakui, maka cara itu, yang telah diterapkan dalam Pepera itu dianggap diakui dunia internasional?
·   Apakah cara musyawarah itu pernah diakui dalam sebuah resolusi PBB sebagai salah satu praktek demokrasi dan sebagai cara yang diakui dunia internasional?

4.2.3 Karena prinsip "one man, one vote" dihapus dari naskah Perjanjian New York dimaksud

Karena prinsip "one man, one vote" dihapus dari naskah Perjanjian New York dimaksud, maka terbuka kemungkinan bagi pihak yang terlibat untuk mengembangkan cara yang tepat bagi pelaksanaan penentuan pendapat dimaksud.

Cara/ metode implementasi Pepera itu sudah sejak lama dipersoalkan bangsa Papua, karena prinsip "one man, one vote" dihapus dari naskah Perjanjian New York dimaksud. Indonesia kemudian merubah cara ini sesuai cara Indonesia, yaitu permusyawaratan perwakilan, sesuai Sila IV, Pancasila. Alasan mereka adalah karena The New York Agreement  tidak membutuhkan (menegaskan) implementasi sistem “one man, one vote” dalam penentuan pendapat ini. Tidak ada rekayasa termasuk di sini dan tidak ada alasan untuk mencurigai apa yang telah terjadi, dengan alasan hukum internasional, tidak ada keharusan yang ditetapkan bahwa penentuan pendapat menerapkan sistem “one man, one vote.” Maka dengan jelas kleim Indonesia adalah bahwa cara permusyawaratan perwakilan adalah tepat.

4.2.4 Metode ini didasari atas pertimbangan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan geografis Irian Barat yang belum maju

Kleim Indonesia bahwa perihal pemilihan metode ini didasari atas pertimbangan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan geografis Irian Barat yang belum maju dan sulit untuk menerapkan prinsip "one man, one vote". Yang mengherankan di sini, pada tahun 1970, yaitu hanya setehun setelah Pepera, Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu dan Pemilu itu diikuti oleh SELURUH RAKYAT PAPUA.
·   Apakah ada mujizat sang ilahi yang menyebabkan Pemilu 1970 tidak ada rintangan sosial, ekonomi, budaya dan geografis sehingga semua penduduk West Papua bisa ikut Pemilu NKRI, tetapi sulit mengikut Pepera 1969?
·   Bukankah NKRI yang melaksanakan Pepera, dan NKRI jugalah yang melaksanakan Pemilu dalam selang waktu beberapa bulan? Kalau begitu mengapa yang satu banyak halangan, dan yang lainnya berjalan mulus?
·   Apakah PBB menyetujui bahwa alasan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan kondisi geografis dapat dipakai sebagai dasar untuk merubah praktek-praktek demokrasi internasional?

4.3 Dalil NKRI bahwa PEPERA sebagai Proses Formal dari Penentuan Nasib Sendiri

4.3.1 Indonesia mengkleim bahwa The New York Agreement adalah Dasar Hukum yang Resmi untuk Penentuan Pendapat

Setelah mengkleim Perjanjian New York sebagai Dasar Hukum Resmi untuk Pepera, kini Indonesia mengkleim bahwa PEPERA sebagai Proses Formal dari Penentuan Nasib Sendiri. Itu berarti bahwa keputusan Pepera tidak dapat diganggu-gugat.

Walaupun wakil rakyat Papua sebagai subyek dari perjanjian ini tidak terlibat, Indonesia mengkleim bahwa perjanjian antara kedua belah pihak yang bersengketa inilah yang merupakan dasar resmi untuk Pepera di West Papua.

Indonesia menjelaskan ada tiga unsur utama Perjanjian itu, yaitu perihal penyerahan tugas administrasi dari Belanda kepada PBB, penyerahan tugas administrasi dari PBB kepada Indonesia, dan perihal penentuan pendapat rakyat itu sendiri.

Dalam pada itu, Indonesia memperjelas bahwa sesuai Perjanjian, Pepera dilaksanakan dalam Dua Tahapan. Tahapan pertama dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963. Dalam tahap ini, pegawai Belanda digantikan oleh non-Belanda dan non-Indonesia. Pada tahap kedua, Administrasi UNTEA diimplementasikan dengan mempertimbangkan perkembangan lokal dan waktu pemberlakuan tahap kedua ini tidak dibatasi. Nah, di sinilah peluang NKRI mempermainkan waktu tidak dibatasi, sehingga yang terjadi adalah manipulasi untuk mempercepat transfer itu kepada Indonesia. Setelah terjadi pergantian pegawai di Tahap Pertama, maka masa berlaku Tahap kedua sama sekali tidak ada. Dengan kata lain, Tahap Kedua tidak berjalan sama sekali. RUPANYA, yang terjadi adalah dengan berakhirnya tahap pertama, maka berakhir pula tahap kedua secara bersamaan.

4.3.2 Dasar Implementasi Hasil Pepera sesuai The Rome Joint Statement

Hal yang menarik lainnya adalah rupanya The Rome Joint Statement  telah memutuskan bahwa "Indonesia dan Belanda akan mengakui dan tunduk kepada hasil akhir dari penentuan pendapat dimaksud." Jadi, bagaimanapun salahnya implementasi itu, kedua belah pihak rupanya sudah sepakat untuk mengakui hasil Pepera itu. Hasilnya kita lihat salah satu butir Resolusi PBB No. 2504 tadi, yaitu:
"Mengingat bahwa, sesuai dengan Pasal XXI, paragraph 2, kedua belah pihak yang menandatangani     Persetujuan ini telah mengakui hasil ini dan tunduk kepadanya,"[iii]

Maka hasilnya Belanda HARUS menerima hasil Pepera, tanpa komentar, tanpa pertanyaan, tanpa apapun juga.
·   Apakah ini bahasa demokrasi?
·   Di manakah suara rakyat Papua?
·   Bagaimana kalau rakyat Papua tidak mengakuinya?
·   Apakah Pepera dilaksanakan di Indonesia atau di Belanda, sehingga yang harus mengakuinya hanya mereka berdua?
·   Ingatkah Anda perihal pemaksaan Otsus di West Papua sekarang?
·   Apakah ada kesamaan-kesamaan?

4.3.3 Dasar Keterlibatan PBB

Kemudian ada tiga kata yang selalu diulang-ulang oleh NKRI dalam mengkleim keabsahan Pepera, yaitu "nasehat, batuan dan partisipasi" dari PBB dengan alasan bahwa ternyata PBB punya tanggungjawab langsung dengan proses dan hasil Pepera itu sendiri. Jadi, kalau terjadi kesalahan, itu bukan kesalahan Indonesia melulu, tetapi PBB juga turut terlibat. Dan kalau PBB terlibat, tidak usahlah diasangsikan bahwa proses itu tidak demokratis.

Menyangkut keterlibatan PBB ini, secara mendalam telah ditelaah dan dipresentasikan oleh Dr. John Saltford dalam disertasi Doktoralnya berjudul "UNITED NATIONS INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF-DETERMINATION IN WEST IRIAN (INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO 1969" bahwa ternyata PBB gagal, dan kegagalan itu disengaja atas konsiparasi internasional demi kepentingan perang dingin untuk melupakan saja persoalan West Papua dan mengalihkan perhatian kepada perang melawan komunisme yang waktu itu sudah merajalela di Indonesia.[iv]

4.3.4 Dasar Resolusi PBB No. 2504 (XXIV), 19 November 1969

Sebagai penekanannya, NKRI menyatakan dengan mengadopsi Resolusi 2504 (XXIV) Sidang Umum PBB ini, pelaksanaan penentuan pendapat rakyat dengan  cara musyawarah, tidak dengan “satu orang, satu suara”, telah diterima oleh masyarakat internasional. Dari segi ini, masyarakat internasional mengakui secara de jure dan de facto, bahwa wilayah Irian Jaya adalah bagian integral dari NKRI. Pengakuan internasional ini tidak dapat dianulir atau dibatalkan, karena tak ada Negara satupun yang bisa menggugat legitimasi dari wilayah Irian Jaya sebagai bagian dari NKRI. Prinsip integrigas dan kedaulatan dari Negara mana saja adalah salah satu dari prinsip utama yang ditekankan dalam Piagam PBB. Akibatnya, pergerakan separatis apa saja akan ditolak oleh masyarakat internasional, karena hal itu melanggar prinsip-prinsip dan tujuan dari PBB itu sendiri.

Padahal, orang Papua tidak sekedar berpegang pada Resolusi 2504 (XXIV), tetapi mempersoalkan proses untuk sampai kepada resolusi itu yang penuh dengan skandal hukum, HAM, dan demokrasi.

Dalam hal ini mereka sama sekali mengabaikan:
·   Berdasarkan hukum internasional dan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, apa yang terjadi kalau RAKYAT SETEMPAT sendiri menolak Pepera ini?
·   Apa yang harus dibuat kalau rakyat sendiri secara demokratis mau menentukan nasib sendiri?
·   Apakah pengakuan negara-negara yang bertikai cukup menjadi alasan untuk memaksa sebuah bangsa dan negara ke dalam negara lain?
·   Bukankah ini sebuah pencaplokan secara paksa?
·   Bisakah Anda bayangkan apa yang akan dikatakan NKRI dalam Otsus II ini?
·   Bukankah jelas bahwa Otsus dijalankan sesuai prosedur dan desakan dunia internasional, maka Otsus itu sah?

4.4 Sebagai Kesimpulan: Dua Dalil Utama NKRI

Lalu sebagai kesimpulan, NKRI menegaskan:

4.4.1 Pertama, bahwa Implementasi penentuan pendapat dijalankan secara demokratis dan dengan cara yang transparan dengan melibatkan orang Irian Jaya dengan cara metode konsultasi

Keseluruhan proses penentuan pendapat melibatkan partisipasi, bantuan, dan nasehat dari PBB dan selanjutnya disetujui oleh masyarakat internasional (SU PBB).
·   Orang Irian Jaya siapa yang dilibatkan?
·   Bagaimana cara mereka dipilih dan dilibatkan? Apakah cara pemilihan berupa penunjukan ataukah pemilihan sebagaimana kita kenal di dunia?
·   Menurut janji, ada wakil fungsional, ada wakil yang dipilih rakyat dan ada wakil dari suku-suku yang ada. Nah, kalau ada 245 suku di West Papua, apakah mereka semua terwakili waktu itu? Dapatkah keputusan satu suku menginjak-injak hak suku-suku lain? Bagaimana kalau suku-suku yang tidak terlibat merasa tidak pernah meneken kontrak sosial ini?
·   Kalau cara pemilihannya saja sudah tidak jelas, apakah hasil dari padanya dapat dianggap sah secara demokratis?

4.4.2 Kedua, Jelaslah di sini bahwa PEPERA sebagai implementasi dari penentuan pendapat tidaklah cacat secara hukum

Interpretasi unilateral dan misinterpretasi dari the New York Agreement dan usaha-usaha untuk membelokkan persepsi bahwa The New York Agreement seharusnya menerapkan sistem "one man, one vote" adalah jelas-jelas tidak dapat dipertanggung-jawabkan dan tidak benar sesuai fakta yang ada.

·   Apa yang dimaksud NKRI dengan Pepera dan implementasinya tidak cacat hukum, padahal proses pemilihan wakil-wakil yang terlibat sendiri sudah cacat hukum?
·   Apa yang dimaksudnya dengan kalimat ini padahal proses drilling exercises sendiri sudah menunjukkan tidak sah?
·   Apa yang dimaksud dengan "sesuai dengan fakta yang ada?" Apakah fakta sosial, budaya, ekonomi dan geografis, ataukah fakta manipulasi itu, ataukah fakta keputusan SU PBB, atau fakta akor antara Belanda dan Indonesia atas rekayasa AS?

5. Tindakan-Tindakan NKRI yang Patut Dipertanyakan

5.1 Sengketa Pepera 1969 Ditindis dengan Sengketa "O", "P" dan "M"

Ada gelagat NKRI yang sangat menarik kalau kita lacak dan renungkan. Pertama mereka mau menghapuskan ingatan sejarah bahwa Pepera 1969 itu cacat hukum, cacat demokrasi, cacat HAM dan cacat moral. Kedua, mereka mau mengisi tempat ingatan yang dihapus itu dengan pertentangan antara Otonomi dan Pemekaran.

Kita ingat saja sejak UU Otsus disahkan, setelah Theys Eluay sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan West Papua dibunuh, dan setelah berbagai operasi polisi dan tentara diluncurkan di West Papua. Akhirnya, secara kontroversial, dengan disengaja, RUU Otsus disahkan menjadi UU Otsus.

Memang NKRI tahu bahwa pasti ada orang Papua yang akan menerima, ada yang akan menolak, dan ada yang sikapnya tidak jelas. Mereka lebih terfokus pada mempermainkan potensi yang menolak dengan tegas dan Poros Papindo (Papua-Indonesia).

Dengan pertentangan-pertentangan ini, maka isu "M" malah dibelokkan menjadi isu yang menerima dan yang menolak Otsus. Memang ada pengkaitan antara yang menerima sebagai poros moderat dan yang menolak sebagai poros ekstrim untuk Papua Merdeka, tetapi potensi pertentangan ini digarap dan dikelola sedemikian rupa sehingga banyak sekali waktu, dana, dan daya orang Papua habis terkuras dalam rangka menyikapi Politik Otonomisasi NKRI di West Papua.

Ini sengaja direkayasa supaya ingatan Pepera 1969 dilupakan dan permasalahan Otonomi Khusus mendominasi pikiran rakyat Papua.
·   Berhasilkah gelagal mereka?
Anda jawab sendiri berdasarkan kondisi pikiran Anda.

 5.2 Orang Papua dilibatkan dalam rancangan RUU Otsus II (2002 – 2027) maka Otsus II telah mendapat legitimasi secara demokratis dan HAM

Alasan kedua karena Jaap Solossa dan Frans Wospakrik bersama anggota mereka dilibatkan dalam meracang Otsus II ini, maka NKRI bersikukuh bahwa proses pembuatan UU Otsus untuk West Papua adalah karena orang Papua mendukung RUU dan implementasinya dilaksanakan oleh orang Papua sendiri.

Ada persamaan di sini, antara kleim waktu Pepera 1969 dan kleim Otsus 2002. NKRI punya kleim bahwa wakil-wakil rakyat Papua dilibatkan dan atau dikonsultasikan dalam proses Pepera 1969. Sama halnya pula, dengan pembentukan Tim Asistensi Otsus, NKRI juga telah mengkleim bahwa konsultasi dengan wakil-wakil orang Papua dilakukan secara menyeluruh dan tuntas.

Padahal mereka lupa bahwa Solossa dan Wospakrik, walaupun secara biologis orang Papua, secara adminstratif dan politis mereka berdua adalah aparat pemerintah NKRI yang ada di West Papua. Yang terjadi adalah konsultasi antara pejabat pemerintah di tingkat pusat dengan pejabat pemerintah di tingkat provinsi; NKRI berkonsultasi dengan NKRI. Sama saja dengan itu, dalam Pepera NKRI membentuk DMP, dengan Ketua Theys Eluay, lalu mereka menjalankan Pepera 1969 seolah-olah itu murni. Padahal pada waktu pelaksanaan Pepera itu, di saat wakil PBB dan pengamat hadir di situ, yang bertanya adalah pejabat pemerintah, dan yang menjawab juga adalah pejabat buatan pemerintah pula. Tidak ada wakil rakyat yang berbicara dalam proses Pepera 1969 itu.



Dengan kata lain, sama halnya dengan proses Otsus I dan penerapannya, proses dan pengesahan Otsus II juga penuh dengan skandal hukum, demokrasi dan pelanggaran HAM. Telah disimpulkan bahwa proses inputting, processing, dan output Otsus penuh dengan skandal-skandal. Maka NKRI tidak bisa memakai alasan ini untuk memberlakukan Otsus di West Papua.

5.3 Retorika Pembangunan karena Papua Masih Primitif dan Masih Terkebelakang

5.3.1 Alasan Metode Pepera 1969 dan Otsus 2001 Masih Sama

Dulu waktu Pepera 1969, alasan perubahan metode "one man, one vote" ke sistem "permusyawaratan perwakilan" adalah bahwa kemajuan ekonomi, sosial, politik dan budaya serta kondisi geografis di West Papua tidak memungkinkan sebuah penentuan pendapat sesuai praktek demokratis jajak pendapat secara internasional.

Tanpa malu sendiri, setelah hampir setengah abad menduduki wilayah yang dulunya dikleim sebagai "yang belum maju itu", yang nyatanya bisa melaksanakan Pemilu 1970 tanpa halangan apa-apapun itu, akhirnya pada tahun 2001, masih menggunakan alasan "keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan" yang sama untuk meloloskan agenda Otonomisasi di West Papua.

5.3.2 Alasan Kondisi Sosial-Politik di West Papua Masih Sama

Selain alasan tingkat kemajuan orang Papua waktu itu, ada juga alasan yang mirip lainnya, yaitu bahwa kondisi sosial-politik di West Papua tidak memungkinkan untuk melakukan konsultasi secara menyeluruh. Maka dibentuklah DMP, padahal Nieuw Guinea Raad sudah ada, maka dibentuklah Tim Asistensi Otsus, padahal PDP sudah ada. Maka dikonsultasikanlah dalam seminar-seminar, padahal rakyat Papua sudah tahu berdemokrasi, dan bisa melakukan referendum menolak atau menerima Otsus II ini.

6.3.3 Pertanyaan-Pertanyaan Terhadap Alasan ini

Kalau Indonesia menganggap West Papua masih belum maju, masih primitif, masih terkebelakang, maka:
·   Mana bukti Indonesia sudah merdeka setengah abad lebih sementara rakyatnya masih saja mengemis di pinggir jalan, tidur di bawah kolong jembatan, melacurkan diri di usia muda dan tua, merampok, ber-KKN, dan sebagainya yang melanggar ajaran agama dan moral?
·   Mana buktinya sedangkan setiap hari selalu ke luar negeri minta uang? Memangnya Indonesia tidak punya harta yang dapat dinilai dengan uang atau dapat diuntungkan?
·   Berarti jelaslah NKRI sebagai negara bukanlah milik bangsa Indonesia donk?
·   Kalau, ya, mengapa wilayah yang luas dan kaya-raya itu tidak sanggup membangun negaranya?
·   Berarti Indonesia sebenarnya belum merdeka donk?
·   Mana bukti NKRI yang punya West Papua dan menjadikan West Papua sebagai bagian integral dalam kerangka NKRI?
·   Mana bukti NKRI berdaulat sementara untuk menegakkan kedaulatan itu harus bertanya kepada Canberra?

5.4 Yang Mendorong Pelaksanaan Pepera 1969 dan Otsus 2001 Masih Sama

Tanpa kita sadari dan menganalisis secara utuh, rupanya alasan yang mendorong pemberlakuan Pepera 1969, yang dimulai dengan ancaman invasi militer dan peperangan yang diawali dengan Pengumuman Trikora (19 Desember 1961), yaitu Otsus I di West Papua dan alasan pemberlakuan Otsus II 2002 adalah sama, yaitu untuk menanggapi aspirasi Papua Merdeka.

Dengan kata lain, dapat dibantah bahwa pemberlakuan Otsus I dan Otsus II di West Papua bukanlah untuk membangun West Papua dan orang Papua seperti retorika yang dikembangkan, bukan juga karena NKRI sudah semakin demokratis dan semakin manusiawi, tetapi terutama karena NKRI dipaksa atau didesak oleh perubahan sikap politik rakyat Papua terhadap penjajahnya.

5.5 Kleim Pengakuan Dunia Internasional Masih Sama

Yang dikleim dengan kuat dalam Pepera 1969 sebagai Dasar Hukum yang Sah dan Tuntas adalah Resolusi PBB No. 2504 (XXIV), 19 November 1969. Alasan-alasannya adalah bahwa Pepera 1969 itu dilakukan atas dasar Resolusi PBB, dan dijalankan atas nasehat, bantuan dan keterlibatan Wakil PBB, dan akhirnya disahkan oleh Sidang Umum PBB, maka Pepera 1969 adalah sah karena diakui oleh masyarakat internasional. Sama halnya pula, metode permusyawaratan perwakilan adalah sah dan diakui dunia internasional karena telah disahkan dalam resolusi PBB dimaksud.

Sekarang dalam rangka Otsus II ini juga kita lihat NKRI selalu ke luar negeri untuk minta jawaban kalau orang Papua harus diberi kemerdekaan atau tidak. Nyatanya mereka kembali dan mengatakan: “Karena dunia internasional mendukung West Papua sebagai bagian dari NKRI, maka demikianlah adanya! Orang Papua jangan macam-macam!” Jadi, status politik, nasib politik dan hubungan politik West Papua– NKRI ditentukan di Bruxxels, di London, di Canberra dan di Washington dan bukan di Jakarta.
·   Bukanlah ibukota penjajah di West Papua di Jakarta?
·   Bukankah itu berarti ada hubungan tidak sehat dan tidak masuk akal?
·   Mengapakah orang Indonesia tidak seandai itu membacanya?

5.6 Fenomena Intimidasi, Terror dan Pembunuhan Menjelang Pepera 1969 dan Otsus 2002 Masih Sama Saja[v]

Sangat menarik juga melihat politik NKRI masih menerapkan pola-pola yang sama dalam rangka meloloskan ambisinya. Bisa diduga bahwa dengan perubahan waktu, pergantian pemimpin nasional dan pergantian konstalasi politik NKRI, cara-cara implementasi kehendak Jakarta berubah. Tetapi dalam kasus NKRI-West Papua, fenomenanya masih sama saja. Kita lihat apa yang terjadi tahun 1961-1969 di West Papua dan membandingkannya dengan apa yang sedang terjadi sekarang seperti dicatat dalam Bagian I buku ini.

5.6.1 Melarang Kelompok Oposisi

Orang Papua yuang dicurigai sebagai anggota atau pendukung OPM, yang secara terbuka menyuarakan aspirasi rakyat Papua atas dasar kebebasan seperti dijamin oleh PBB dan khususnya dalam Perjanjian New York akhirnya harus mengalami nasib sial. Banyak dari mereka dipenjarakan, dibunuh dan dideportase ke Jawa.

Dulu Nieuw Guinea Raad dilarang berbicara, wakil-wakil OPM dilarang berbicara. Sekarang juga sama. Kita lihat khususnya melalui Operasi Matoa dengan judul: Skenario Memelihara Api Perjuangan West Papua Merdeka Berdaulat di Luar NKRI[vi]. Dalam dokumen yang ditulis tangan ini berisi nama-nama organisasi yang dilarang bergerak, seperti Demmak, DAP, TPN/OPM, PAP, DASS, SP, TAPOL/NAPOL, dan Pilar-Pilar PDP. Yang sangat mengherankan adalah bahwa PDP sebagai organisasi perjuangan kemerdekaan West Papua tidak dicantumkan.

Dalam kesimpulan dokumen itu antara lain dikatakan:
Ω. Kehadiran Ormas tersebut di West Papua adalah merupakan tandingan pemerintah NKRI.
Ω. Ormas tersebut sudah jelas tidak mendukung tujuan nasional (Otsus) dalam NKRI yang                berdasarkan Pancasila & UUD 1945.
Ω. Ormas tersebut beranggapan merasa eksis dengan berdasar kepada otoritas hak adat masy. Papua             walaupun menyimpang dari psl. 43 Otsus & TAP MPR III Th. 2002.[vii]

·   Maka tergambar jelas kemiripannya, bukan ?

5.6.2 Membentuk "Dewan Musyawarah Pepera" (DPM - Act of Free Choice Electoral Council)

Indonesia mengartikan perkataan "pemilihan sesuai praktek internasional’ sebagai penentuan pendapat sesuai sistem Indonesia permusyawaratan perwakilan. Dalam kaitan ini, Kolonel Sutjipto, SH, Asisten Perdana Menteri untuk Urusan Irian Barat mengatakan:
The New York Agreement, is characteristically 'dynamic', moving, but not static. Its dynamism initially lies in the purpose of the agreement itself.... so it has to be the Indonesian Government's obligation as a party to the agreement, to take preparative measurements in order to secure the agreement's implementation."[viii]

[Artinya: Perjanjian New York itu bercirikan dimamis, bergerak, dan tidak statis. Dalam dinamismenya mulanya terletak pada tujuan daripada persetujuan itu sendiri… jadi pelaksanaannya merupakan tugas Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang menandatangani perjanjian dimaksud, untuk mengambil langkah-langkah persiapan untuk menjamin pelaksanaan persetujuan itu.]

Persamaanya kita bisa lihat, walaupun RUU Otsus sudah disahkan menjadi UU Otsus, walaupun Pasal-Pasal sudah dijelaskan dengan baik, ada saja lubang-lubang yang tersedia bagi NKRI untuk melakukan manuver-manuver politik. Ada saja peluang untuk Megawati mengeluarkan Inpres No. 01/2003, ada saja peluang untuk menyatakan bahwa UU Otsus dan UU Pemekaran tidak bertentangan, tetapi saling menopang. Ada saja peluang untuk mengkleim bahwa UU Otsus perlu direvisi kembali, karena tidak sesuai dengan jiwa ke-Indonesia-an, karena disahkan seutuhnya atas kemauan non-Indonesia.

5.6.3 Mengancam Kaum Nasionalis Papua yang Dianggap berbahaya terhadap Pepera

Seperti dicatat dalam paper karya WesPaC-AMP tersebut:
Brigadier General Ali Murtopo harangued the Papuan Nationalists in Jayapura for two hours and told them that: "JAKARTA WAS NOT INTERESTED IN THEM AS PAPUANS, BUT IN WEST IRIAN AS A TERRITORY. IF THEY WANTED TO BE INDEPENDENT THEY HAD BETTER ASKED GOD TO FIND THEM AN ISLAND IN THE PACIFIC WHERE THEY COULD EMIGRATE, OR MAY BE WRITE TO THE AMERICANS AND ASK IF THEY WOULD BE GOOD ENOUGH TO FIND THEM A PLACE ON THE MOON.

[Artinya: Brigjen Ali Murtopo menekan kaum nasionalis Papua di Numbay selama dua jam dan memberitahu mereka bahwa "Jakarta tidak tertarik dengan mereka sebagai manusia Papua, tetapi Irian Barat sebagai sebuah wilayah. Jikalau mereka mau merdeka, mereka lebih baik meminta Allah untuk mencari tempat bagi mereka sebuah pulau di Pasifik sana di mana mereka bisa pindah kesana, atau bisa menyurat ke orang Amerika dan kalau mereka berbaik hati untuk mencari tempat buat mereka di bulan.]

Lalu bunyi ancaman itu berlanjut:
He impressed upon them that 115 million Indonesians had fought for West Irian for years. They had made many sacrifices in this struggle, and they would not therefore allow their national aspirations to be crossed by a buch of Pauans. Short shrift would be made of those who voted against Indonesia. Upon them would fall the vengeance of the Indonesian people.
Among them Murtopo who would himself shoot the people on the spot.[ix]

[Artinya: Dia lalu melanjutkan bahwa 115 juta orang Indonesia sudah berperang memperebutkan Irian Barat bertahun-tahun lamanya. Sudah ada banyak pengorbanan dalam perjuangan ini, dan karena itu mereka tidak akan pernah membiarkan aspirasi nasional mereka dibatalkan oleh segelintir orang Papua. Lidah orang yang berbicara melawan Indonesia akan dipotong. Keganasan orang Indonesia akan menimpa atas mereka. Dan di antaranya Ali Murtopo sendiri akan tembak di tempat orang-orang begitu.]

Kita dengan mudah membandingkan perilaku NKRI dalam Otsus I dan Otsus II mirip sekali seperti:

1)      . Orang Papua yang dianggap bahaya dilempar keluar (diasingkan)
Kita lihat apa yang terjadi dengan Barnabas Suebu dan Fredy Number secara jelas sekali. Waktu mereka menjabat Gubernur Irian Jaya, banyak sekali program yang secara strategis membahayakan keberadaan NKRI di wilayah itu. Barnabas suebu berbahaya waktu itu karena beliau membangun kekuatan masyarakat akar-rumput secara ekonomi begitu baik, dan mendorong koperasi-koperasi dengan luarbiasa.

Bayangkan saja kalau semua orang Papua mampu secara ekonomi. Kita sudah lihat dalam muslihat penjajah bahwa biasanya penjajah tidak pernah menginginkan kaum yang dijajah menguasai sumber-sumber ekonomi. Karena itu beliau harus diusir keluar dari West Papua.

Beliau juga sudah berkampanye ke seluruh pelosok West Papua memperkenalkan dirinya. Kita tidak tahu apa gerangan rencananya setelah semua orang Papua mengenalnya.

Sedangkan Fredy Number punya program lain yang berbahaya juga bagi NKRI, yaitu beliaulah Gubernur orang Papua yang pertama kali menyisihkan dana pendidikan secara khusus. Beliau lalu punya program Pola Pendidikan Berasrama, peningkatan mutu pendidikan dan penyekolahan kader-kader Papua ke Jawa dan keluar negeri.

Dua orang ini terepaksa dilempar, karena dianggap berbahaya.

2)               Orang Papua yang dianggap bahaya dibunuh
Theys H. Eluay adalah contoh yang jelas. Seperti pembunuhan yang ramai terjadi waktu Pepera 1969, menjelang Otsus II ini juga terjadi pembunuhan yang ramai, penyerangan-penyerangan, intimidasi, dsb. Fenomena-fenomena seputar inputting, processing dan output UU Otsus dengan jelas menggambarkan peristiwa-peristiwa yang sama.

 Pembunuhan Yusuf Tanawani, Yafeth Yelemaken, William Onde, Simon Alom, Yustinus Murib dan pasukannya, semua ini adalah dalam usaha mengamankan dan memperlancar implementasi paksa Otsus II.

3)               Orang Papua yang dianggap bisa dibeli, dibeli saja
Jangan heran bahwa Poros Papindo bukan hanya ada sekarang, tetapi dulu juga ada. Istilah Papindo itu sendiri bukan istilah tahun 2000-an, tetapi istilah yang lazim dipakai di tahun 1960-an untuk merujuk kepada orang Papua-Indonesia.

Dulu JM Bonay dibeli dengan janji-janji bahwa setelah 5-25 tahun nanti, West Papua akan dimerdekakan oleh NKRI. Sekarang JP Solossa juga dibeli dengan janji-janji yang sama. Nasib JM Bonay menyedihkan, karena setelah ia melihat janji-janji NKRI tidak dipenuhi, dia meninggalkan jabatan Gubernurnya dan melarikan diri ke Belanda. Dia meninggal di Belanda sebagai pendukung murni Papua Merdeka.
·   Bisakah Anda bayangkan nasib Jaap Solossa ?
·   Kalau tidak sama, maka kita akan heran, mengapa harus berakhir secara berbeda, padahal berawal dalam pola yang sama?

David Huby, AJ Djopari, dan rekan mereka semua yang disebut Poros Papindo adalah pihak yang sudah dibeli NKRI. Nasib mereka sama dengan Theys H. Eluay waktu itu. Mereka kalau maju kena, mundur juga kena. Kejadian ini sama saja dengan yang terjadi pada Marthen Indey, Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan lainnya yang dulunya membantu NKRI dengan sepenuh hati, dengan harapan ada gula-gula manis dari NKRI, tetapi ternyata tidak didapat, maka mereka memberontak, tetapi akhirnya terlanjur, mereka maju kena, mundur kena, maka matilah mereka ditengah-tengah. Mereka dikenang sebagai pahlawan Nasional Indonesia. Tetapi mereka tak dikenal dalam buku hati orang Papua. Mereka tergolong penghianat bangsa.

Uang yang waktu itu diberikan Belanda lewat Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia malahan digunakan untuk membunuh, membujuk-rayu dan merusak orang Papua, sehingga setelah 25 tahun kemudian, hasil pembangunan itu tidak juga nampak. Makanya, alasan yang sama dipakai untuk memaksakan Otsus II bagi West Papua.

5.7 Maka Wajah Otsus I dan Otsus Dua Juga Pasti Sama

Dengan tidak terlalu sulit dapat disimpulkan bahwa segala peristiwa yang melatarbelakangi, segala peristiwa yang mengelilingi, serta segala peristiwa yang mengikuti kebijakan Otsus I dan Otsus II di West Papua adalah SAMA, yaitu intimidasi, teror, manipulasi, rekayasa, pengejaran, pengindoktrinasian, pemaksaan, dan pembunuhan dengan berbagai cara.

Kalau alasan pemberlakuan kedua Otsus, metode pemberlakuannya, kleim yang disampaikan atas kedua kebijakan dan proses pemberlakuannya sama, maka tidak terlalu sulit bagi siapa saja untuk berkesimpulan bahwa hasil dari pemberlakuan kedua Otsus itu adalah sama saja.

Maka catatan Papua dalam Bagian II buku ini tentang fenomena-fenomena Otsus adalah nyata dan benar adanya, tidak dapat disangkal dengan dalih apapun juga. Pantaslah kalau orang Papua membantah kleim-kleim NKRI yang dibuat-buat sendiri.

6. Pokok-Pokok Sengketa bangsa Papua[x]

Sudah jelas, menurut orang Papua. Orang Papua minta merdeka BUKAN karena ketidakadilan, keterbelakangan dan kekerasan militer, perbedaan ras, dan sebagainya, TETAPI itu adalah tetapi karena hak.
Orang Papua tidak melihat sebuah masalah dalam hal mau menerima Otsus atau menolak. Pokok sengketa ada pada sejarah West Papua, ada pada hal-hal yang jauh sebelum itu, jauh sebelum Orde Baru, jauh sebelum G-30/S-PKI, yaitu jauh sebelum semua yang mendasari kebijakan Jakarta, dan retorika politik elit politik Papua, pemimpin dunia, dan penguasa di Jakarta.

6.1 KESATU:  Fakta Kongres Papua I 1961 (1 Desember 1961)[xi]

Persoalannya mulai nampak sejak 1 Desember 1961,  dalam Kongres Nasional West Papua I, 1961, peristiwa bersejarah dalam sejarah Papua sebagai sebuah bangsa, dan sebagai sebuah entitas negara yang terlepas dan berbeda dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dimana telah terjadi peristiwa penting yang memperkenalkan, mengumumkan dan mensahkan:

Pertama, West Papua sebagai nama negara,
Kedua, Papua sebagai nama bangsa
Ketiga, Bintang Kejora sebagai nama Bendera negara (bukan bendera kebudayaan)
Keempat, Burung Mambruk sebgai lambang negara (bukan lambang kebudayaan)
Dengan batas negara wilayah laut, darat dan udara, (bukan sebagai sebuah provinsi NKRI)
Kelima, lagu Hai Tanahku Papua, sebagai Lagu Kebangsaan (bukan lagu kebudayaan)
sah sebagai sebuah negara, (atas nama demokrasi, HAM, dan hukum universal)
dan diakui oleh Belanda (yaitu pemerintah yang sudah merdeka dan yang kebetulan ada di West Papua waktu itu)

Sejarahnya seperti ini:
… the Dutch Government in 1957 began a cooperation with Australia for the DEOLONISATION of their respective colonies, namely The Territory of Papua & New Guinea (Australia) and The Netherlands New Guinea (Dutch).[xii]

[Artinya: Pemerintah Belanda pada 1957 mulai bekerjasama dengan Australia untuk men-dekolonisasi wilayah koloni mereka masing-masing, namanya Wilayah Papua dan New Guinea (Australia) dan Nederland Nieu Guinea (Belanda)]

Oleh karena itu, kita sebut Kongres Nasional Papua  (KNP) tahun 2000 dengan nama KNP II 2000. Namanya sendiri sudah membuktikan dengan jelas, bahwa bangsa Papua tidak berfikir sebatas kekerasan militer NKRI regime Orde Baru, dan karena kita ada dalam era reformasi sehingga bikin kongres.

Fakta sejarah ini tidak dapat dihapus dengan apapun juga. Dengan darah Theys, dengan darah Thom, dengan darah Arnold Ap, dengan darah Yusup Tanawani, dengan darah William Onde, dengan darah Obeth Tabuni, dengan darah Hans Bomay, dengan darah Laurenz Dloga. Semuanya bukan menghapus ingatan sejarah ini, tetapi justru mencat kembali, menambah terang tinta itu dan mendorong bangsa Papua untuk terus maju dengan tuntutan kebenaran.

Belanda waktu itu secara resmi mengumumkan untuk memberikan kemerdekaan tanggal 1 Juli 1970. Oleh karena itulah, Operasi Papua Merdeka yang kemudian menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) memproklamirkan kemerdekaan West Papua tanggal 1 Juli 1971, setahun setelah menunggu dan karena terbukti Belanda ingkar janji.

Hasil daripada kerjasama dan kesepakatan dengan Australia di atas, terbentuklah Nieuw Guinea Raad seperti diceritakan berikut:
On April 5, 1961, the Dutch Government appointed Local Council Members, and in its Official Gazette No. 68 formalised the establishment of the West Papuan Council (Nieuw Guinea Raad) in order to undertake all Representative and Legislative tasks. The Council later the National Attributes of the West Papua State, namely: West Papua for the Nation, The Morning Star for the National Flag, 'My Land of Papua' as its National Anthem, and the whole colony of The Netherlands New Guinea became the State's Territory.[xiii]

[Artinya: Pada April 5, 1961, Pemerintah Belanda mengangkat Anggota Dewan Setemppat, dan dalam Gazette Resminya No.68 meresmikan pendirian Dewan West Papua (Nieuw Guinea Raad) untuk menjalankan seluruh tugas-tugas perwakilan dan legislasi. Dewan ini kemudian menjadi Atribut Nasional dari Negara West Papua, yaitu: West Papua sebagai Bangsa, Bintang Kejora sebagai Bendera Nasional, ‘My Land of Papua’ sebagai Lagu Kebangsaan, dan seluruh wilayah koloni Nederland New Guinea menjadi sebuah wilayah Negara itu.]

Itu fakta sejarah, yang tidak dapat ditukar dengan apapun juga yang ditawarkan Jakarta sebagai kekuasaan yang menduduki West Papua.
Oleh karena itulah, orang Papua bilang, jangan bertanya mau terima Otsus atau tidak, tetapi pertanggungjawabkan kasus pembunuhan hak kebangsaan Papua dan negara West Papua.

Itulah sebabnya, dalam beberapa kali wawancara Alm.  Ondofolo Theys H. Eluay selalu bilang bangsa Papua tidak dapat disamakan dengan Timor Timur (waktu itu). Karena perbedaannya yang hakiki secara hukum internasional. West Papua sudah merdeka, dan sekarang hanya menunggu pengakuan negara lain, yaitu pengakuan NKRI dan dunia. Dibandingkan dengan Timor Lorosa’e, kasus teman-teman Melanesia di sana  tetap menjadi perhatian dunia walaupun mereka belum merdeka.

Berdirinya negara West Papua itu tidak hanya diakui oleh Belanda dan orang Papua, tetapi Presiden Soekarno juga mengakuinya dalam Trikora, yaitu menyangkut pokok sengketa KEDUA.

6.2 KEDUA, Pengakuan Sukarno dalam Butir Trikora (19 Desember 1961)

Secara terbuka di Alun-Alun Utara kota Yogyakarta, tanggal 19 Desember 1961, setelah Indonesia mendengar bahwa West Papua sudah dalam persiapan mengumumkan kemerdekaannya tanggal 1 Juli 1970, Soekarno yang ekspansionis-kolonialis itu mengumumkan apa yang disebutnya Trikora (yaitu Tiga Komando Rakyat). Tiga buah komando itu berbunyi:
o   Bubarkan Negara Boneka Papua buatan Belanda
o   Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh Irian Barat, dan
o   Bersiaplah untuk mobilisasi umum[xiv]

Tiga butir Trikora berkata begini:
Pertama: Negara Papua sudah ada, tetapi Indonesia harus membubarkannya, karena Indonesia menganggapnya sebagai negara boneka.

Dan, kedua: pembubaran itu dilakukan dengan sebuah invasi militer alias dengan paksa.

Jadi, Soekarno dengan jelas mengakui sudah ada negara saat maklumat Trikora tanggal 19 Desember 1961 itu. Ia dengan jelas mengatakan bahwa ada negara yang hendak diinvasi NKRI secara militer, dengan perintah pengibaran bendera NKRI dan persiapan perang semesta dan negara itu bernama Papua.

Artinya West Papua sudah diakui sebagai negara secara de jure. Bangsa Papua sudah mengakui, Belanda sudah mengakui dan Soekarno sebagai presiden RI juga sudah mengakui fakta hukum itu.

·   Lalu mengapa Soekarno memakai istilah negara "Boneka" Papua?

Jawabannya jelas klasik. Pertama, karena Soekarno sebagai pejuang kemerdekaan NKRI punya "dendam" dan kebencian politik terhadap Belanda dan apa saja yang Belanda perbuat karena dipandangnya sebaga kekuatan imperialisme dan kolonialisme. Itu pandangan secara obyektif. Kedua, secara subyektif, Sukarno juga melihat Belanda yang tidak mau mempersiapkan kemerdekaan Indonesia itu sedang mempersiapkan dan mengakui persiapan kemerdekaan negara lain (West Papua).
·   Mengapa wilayah jajahan Belanda yang bernama Indonesia harus mengorbankan jutaan nyawa dengan dana dan tenaga yang tidak sedikit, dalam tempo waktu 350 tahun, sedangkan West Papua hanya mau dikasih seenaknya saja tanpa pengorbanan apa-apa?

Jadi, apa saja yang dibuat Belanda dipandang secara negatif, termasuk negara Papua  Barat disebutnya sebagai "Negara Boneka".

Entah boneka atau benaran tidaklah mengapa, karena nama itu diberikan Sukarno, bukan oleh Belanda ataupun orang Papua sendiri. "Intinya adalah Soekarno sudah mengakui ada negara yang bernama Papua (Barat)".

 

6.3 KETIGA:  The New York Agreement (15 Augustus 1962)[xv]

Setelah perdebatan yang alot antara elit politik NKRI, terutama antara pihak nasionalis-ekspansionis pimpinan Soekarno dengan pihak realis-humanis di bawah pimpinan Moh. Hatta, akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri karena politik Soekarno berbau kolonialis, tidak sama dengan cita-cita kemerdekaan NKRI.

Walaupun Moh. Hatta memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan awal menyangkut West Papua, Moh. Hatta mengundurkan diri karena politik Sukarno tidak sehat. Setelah itu, Soekarno melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda menyangkut status West Papua karena Indonesia mengkleim bahwa West Papua adalah bagian integral Indonesia.

Ini salah satu bukti sikap Moh. Hatta itu:
In 1949, the Round Table Conference was held in The Hague, the Netherlands. In that conference the Dutch were determined not to cede sovereignty over West Papua. The Indonesian Nationalists simply claimed West Papua as PART OF INDONESIA, based on the Dutch Colonial Map. The claim was strictly opposed by the leader of the Indonesian delegation, Dr. Mohammad Hatta (then the Vice President of the Republic of Indonesia and the Delegation Leader). Such opposition later cooled off his relation with Soekarno.[xvi]

[Artinya: Tahun 1949, diselenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Dalam konferensi ini Belanda bersikeras tidak melepaskan West Papua. Nasionalis Indonesia mengkleim West Papua sebagai bagian dari Indonesia, berdasarkan peta Kolonial Belanda. Kleim Indonesia ini ditolak tegas oleh Ketua Delegasi Indonesia Dr. Moh. Hatta (kemudian Wapres NKRI pertama dan Pemimpin Delegasi). Sikap oposisinya seperti inilah yang mendinginkan hubungan dekatnya dengan Sukarno.]

Selanjutnya Hatta menyatakan:
"PERSOONLIJK WENS IK TE VERKLAREN DAT WEST IRIAN MIJ NIETS KAN SCHELEN. IK ERKEN DAT OOK HET PAPOEA-VOLK HET RECHT HEEFT EEN VRIJE NATIE TE WORDEN"

[Artinya: Secara pribadi, saya mau menyatakan bahwa saya tidak punya urusan apa-apa dengan Irian Barat. Saya menyadari bahwa orang Papua sebagai sebuah bangsa mempunyai hak untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka.]

Begitulah sekilas riwayat perundingan menyangkut West Papua, tetapi akhirnya, atas bantuan dalang AS melalui Elsworth Bunker, AS berhasil membawa Belanda dan NKRI ke meja perundingan. Dan perundingan-perundingan yang TIDAK melibatkan satupun orang Papua atau wakil resmi bangsa Papua, yaitu Nieuw Guinea Raad itu menghasilkan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.

·   Mengapa AS mengirim Elsworth Bunker? atau
·   Mengapa AS campur tangan?
·   Mengapa New York Agreement dan bukan Den Haag Agreement atau Bandung Agreement  atau lainnya?

Alasan yang jelas,  waktu itu Sukarno pandai memanfaatkan konflik perang dingin melawan komunisme. Sukarno mendrop pasukan Trikora, yaitu masyarakat sipil dan anggota tentara Indonesia, termasuk kapal-kapal perang buatan Uni Sovyet. Seperti Sukarno tidak enak tidur gara-gara pengakuan negara West Papua 1 Desember 1961 dan mengeluarkan dektrit Trikora, sekarang J. F. Keneddy mendapat giliran mimpi buruk. Poros Jakarta - Pyong Yang – Peking – Moskwa membuat J.F. Keneddy mengambil langkah hidup-mati.

Sukarno telah melanggar prinsip politik luar negeri Indonesia, yaitu politik yang bebas dan aktif dengan poros ini, karena ia jelas-jelas berpihak pada Blok Timur. Tetapi hasilnya jelas, yaitu membuat Kennedy (pemimpin Blok Barat) turun tangan. Dan ia berhasil, yaitu Elsworth Bunker diutus secara khusus menjadi sutradara penyelesaian sengketa dan berhasil membawa NKRI dan Belanda ke New York dan akhirnya jadilah "The New York Agreement" tanggal 15 August 1962.


Perjanjian inilah yang menjadi patokan utama dalam penentuan nasib bangsa Papua selanjutnya. Tetapi pertanyaan orang Papua adalah:
·   Mengapa masalah yang sangat menentukan masa depan sebuah bangsa dan negara ditentukan oleh AS  melalui E. Bunker?
·   Bukankah yang berwenang mengatur masa depan bangsa dan negara yang sudah diakui secara de jure adalah PBB?
·   Mengapa tidak satupun orang Papua atau wakilnya dilibatkan, dikonsultasikan atau diikutsertakan untuk melihat saja, kalau tidak dapat terlibat, dalam semua proses ini?

Persekongkolan ini telah melahirkan malapetaka bagi bangsa Papua dan Negara West Papua.

Ditambah lagi, rupanya AS tidak hanya mau meraih untung secara politis, yaitu menang dalam perang dingin. Ia punya ambisi mengeruk kekayaan Bumi Cenderawasih dengan menendang Belanda keluar. Surat Rahasia J.F. Keneddy yang memaksa Belanda menyelesaikan konflik dengan Indonesia secara damai adalah bukti ada niat lain juga di balik campur tangan AS dalam masalah West Papua.[xvii] Tandatangan Kontrak Karya penambangan Freeport – NKRI  7 April 1967 adalah buktinya.

AS menjamin dukungan dana melalui Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk membangun West Papua, yaitu untuk menggenapi rencana Papua-nisasi Belanda dalam kaitan rencana Belanda mempersiapkan kemerdekaan West Papua. Dengan demikian Belanda percaya bahwa sekutunya dalam perang melawan komunisme itu akan melaksanakan janjinya. Dalam hal ini Sukarno-Keneddy berhasil.

Hasilnya lahirlah The New York Agreement 15 August 1962.[xviii]

TIDAK ADA SATUPUN wakil atau orang dari West Papua yang dilibatkan, atau dikonsultasikan atau diikutsertakan saja dalam segala babak perundingan, rancangan, pembahasan dan penandatanganan The New York Agreement ini. Negara dan bangsa yang menjadi subyek hukum New York Agreement atau yang dipersengketakan secara politik tidak dilibatkan sama sekali. Malahan negara yang mempersengketakan dan negara yang tidak ada sangkut paut dengan sengketa itu yang terlibat menandatangani perjanjian itu.

Karena itulah generasi  baru orang Papua katakan kepada regime Mega-Hamzah:
Masalahnya bukan pada bangsa Papua mau menerima Otsus atau tidak. Dan bukan masalah kalau menerima, maka kita hapus huruf "M" dan kalau menolak berarti kita hapus huruf "O". Masalahnya bukan juga pada regime Orde Baru membunuh banyak orang Papua, bertindak tidak adil dan masa reformasi sekarang lebih demokratis, lebih menghargai HAM dan mau menegakkan hukum, dan karena itu orang Papua harus terima Otsus.

Pokok sengketanya bahwa adalah orang Papua merasa  masih ada masalah yang lebih penting, yang berskala internasional, yaitu menyangkut prinsip demokrasi, prinsip HAM, dan prinsip hukum universal, yang lebih pokok tetapi ditutup begitu saja.

Makanya NKRI tidak bisa menawar nilai Otsus dengan harga dan nilai kebangsaan Papua dan negara West Papua karena keduanya tidak terkait, tidak saling mendukung dan tidak saling menghambat. Aspirasi "M" punya akar berbeda, dan tawaran "O" hal yang tidak dapat dikaitkan dengannya.

6.4 KEEMPAT, The "Secret"  Memmorandum of Rome (30 September 1962) dan The Rome Joint Statement (20 – 21 Mei 1969)

6.4.1 The ‘Secret’ Memorandum of Rome[xix]

Dalam buku WestPaC-AMP[xx] tertulis isi dari Memorandum ini :
Possibility to delay or to cancel The Act of Free Choice set for 1969 by the New York Agreement.
(Artinya : Kemungkinan menunda atau membatalkan Pepera 1969 sesuai Perjanjian New York)
Indonesia to occupy West Papua for 25 (twenty five years only, commencing May 01, 1963)
[Artinya : Indonesia akan menduduki West Papua selaam 25 tahun (duapuluh lima tahun saja, mulai dari 1 Mei, 1963]
The execution of the 1969 Act of Free Choice would be carried out based on the Indonesian parliamentary 'musyawarah' (deliberation) practices.
[Artinya : Pelaksanaan 1969 Penentuan Pendapat akan dijalankan berdasarkan cara Indonesia ‘musyawarah’.]
U.N.'s final report on the implementation of The Act of Free Choice to the UN General Assembly had to be accepted without open debate.
[Artinya : Laporan akhir PBB atas implementasi Pepera kepada SU PBB harus diterima tanpa perdebatan terbuka]
The USA to make investment through Indonesia state-owned companies for the exploitation of Natural Resources in West Papua.
[Artinya : AS membuat investasi melalui BUMN Indonesia untuk eksploitasi sumberdaya alam di West Papua]
USA guaranteed Asian Development Bank US$ 30 Million to UNDP for the development of West Papua for 25 years.
[Artinya : AS menjamin lewat Bank Pembangunan Asia dana sebesar US$20 Juta kepada UNDP untuk pembangunan di West Papua selama 25 tahun].
USA to guarantee the World Bank plan and implement Transmigration of Indonesians to West Papua.
[Artinya : AS menjamin rencana Bank Dunia dan menerapkan Transmigrasi orang Indonesia ke West Papua].

Rancangan ini kemudian menjadi sebuah Pernyataan Bersama, dengan nama The Rome Joint Statement. Menarik untuk dilihat bahwa apa yang dirancang itu akhirnya dimaklumkan kepada dunia dan dengan demikian secara hakiki merobah prinsip-prinsip fundamental dari The New York Agreement.

6.4.2 The Rome Joint Statement[xxi]

Cerita pelanggaran hak sebuah bangsa dan negara tidak hanya sampai di New York, tetapi berlanjut ke Eropa dengan nama The "Secret" Memmorandum of Rome (atau NKRI dokumen itu berjudul The Rome Joint Statement) [xxii], yang kembali dirancang oleh AS lewat E. Bunker, dibicarakan antara NKRI, Belanda dan AS. Sekali lagi, dari permulaan sampai akhir (penandatanganan) memorandum rahasia ini TIDAK MELIBATKAN, tidak dikonsultasikan dan tidak dilakukan bersama, di hadapan seorang Papua atau wakil orang Papua-pun.

Yang mengherankan, isi The Rome Joint Statement (Pernyataan Bersama) ini secara mendasar dan secara sepihak merubah hal yang sangat prinsipil dalam New York Agreement, yaitu tatacara pelaksanaan Pepera.

Dalam Pasal 22 The New York Agreement tentang Hak-Hak Penduduk Setempat dinyatakan:
1. The UNTEA and Indonesia will guarantee fully the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and of assembly, of the inhabitants of the area. …

[Artinya: UNTEA dan Indonesia akan menjamin sepenuhnya hak-hak, termasuk hak untuk kebebasan berbicara, kebebasan bergerak dan berkumpul dari penduduk wilayah setempat.]

Menyangkut hal ini, dalam Disertasi Doktoralnya, seorang akademisi Inggris, Dr. John Saltford mengatakan:
A brief examination of the official November 1969 report is all that is needed to conclude that the Agreement was not fulfilled. Under its terms, the Netherlands, Indonesia and the UN had an obligation to protect the political rights and freedoms of the Papuans, and to ensure that an act of self-determination took place, in accordance with international practice. On both these points, the three parties failed, and they did so deliberately since genuine Papuan self-determination was never seen as an option by any of them once the Agreement was signed.[xxiii]

[Artinya: Hanya kajian singkat terhadap laporan pejabat PBB tahun 1969 sudahlah cukup untuk tiba pada kesimpulan bahwa Agreement itu tidak dipenuhi. Atas persyaratan yang ditandatanganinya sendiri, pihak Belanda, Indonesia dan PBB bertugas untuk melindungi hak politik dan bebebasan orang Papua, dan untuk memastikan bahwa hak penentuan nasib sendiri berjalan, sesuai dengan praktek internasional. Dalam kedua pokok ini, ketiga belah pihak telah gagal, dan mereka gagal dengan sengaja karena mereka tak pernah beranggapan bahwa penentuan pendapat yang sesungguhnya adalah sebuah pilihan setelah mereka membubuhkan tandatangan pada Agreement itu.]

Di bagian lain buku ini sudah dibilang bahwa ada dua babak Otsus di West Papua, yaitu Babak I dan Babak II. Memorandum Roma dan Pernyataan Bersama Roma inilah RUU dan UU Otsus I, yang secara mengherankan tidak melibatkan orang Papua. Otsus I ini berjangka waktu 25 tahun, yaitu 1863-1988. Inilah dasar hukumnya sampai Alm. Dr. Thomas Wapai Wainggai memproklamirkan kemerdekaan lagi 14 Desember 1988. Jadi, Rumkorem-Prai memproklamirkan Papua Merdeka 1 Juli 1971 berdasarkan janji Belanda 1 Juli 1970. Setelah itu Wainggai juga melakukan hal yang sama berdasarkan janji Memorandum/Kesepakatan Roma. Keduanya dalam konteks menggenapi janji-janji pihak asing, walaupun tanpa orang Papua dilibatkan dalam janji-janji itu.

Memorandum/ Kesepakatan Roma ini selain rahasia, isinya penuh dengan skandal. Skandal pertama tidak melibatkan orang Papua. Skandal kedua yang lebih parah yaitu pasal-pasal inti dari The New York Agreement 15 August 1962 dirubah secara sepihak.

·   Di mana skandal itu terjadi?

Di sinilah tempatnya, yaitu di Roma, tanggal 20-21 Mei 1969, sekitar sepulu minggu sebelum Pepera yang dimulai 14 Juli 1969. Dalam pada itu, sistem Pepera disepakati sbb.:
The Netherlands Ministers took careful note of the Indonesian position on these points and of the arguments on which the Indonesian Government based its choice of the "Musyawarah" system. Furthermore Mr. Luns and Mr. Udink noted with great interest the Indonesian Foreign Minister's statement concerning his Government's particular attention to the special requirements of West Irian.[xxiv]

[Artinya: Menteri Luar Negeri memperhatikan dengan saksama posisi Indonesia dalam hal-hal ini dan tentang argumen-argumen yang melandasi pilihan Pemerintah Indonesia atas sistem "Musyawarah". Lebih Lanjut Pak Luns dan Pak Udink memperhatikan dengan perhatian penuh pernyataan Menlu Indonesia tentang perhatian khusus Pemerintah’nya atas kebutuhan-kebutuhan khusus dari Irian Barat.]

Pernyataan ini terjadi tanpa PBB, secara rahasia antara Belanda dan Indonesia. Walaupun dalam teks terdahulunya New York Agreement menyatakan cara Pepera dengan pola one-man, one-vote alias satu orang satu suara, versi  Agreement dimaksud yang sedang beredar di seluruh dunia berbunyi musyawarah sebagai cara menjalankannya. Perubahan mendasar redaksional ini terjadi di The Rome Joint Statement.

Skandal ketiga walaupun isi New York Agreement disiarkan secara terbuka kepada orang Papua, isi Memorandum Roma sama sekali ditutup. Jadi, selain rapatnya rahasia, hasil rapat itu juga dirahasiakan. Sampai hari ini tidak dibukukan dalam dokumen resmi manapun juga.

Jadi, orang Papua sebenarnya sudah bersabar walaupun mereka tahu hubungan West Papua – NKRI sarat dengan dosa-dosa bangsa lain terhadap bangsa dan negara yang sudah diakui tanggal 1 Desember 1961. Otsus I di West Papua dijalankan penuh dengan lumuran darah. Alam West Papua sudah diobrak-abrik, dan kandungannyapun sudah digali keluar. Barang-barang itu bukan dibawa ke Jakarta, tetapi ke luar negeri.

Itulah sebabnya orang Papua bertahan pada posisi yang lebih hakiki, yang berakar pada harga diri sebuah bangsa dan negara daripada sekedar menerima atau menolak Otsus. Itulah sebabnya bangsa Papua mau AS dan Belanda menjelaskan peranan mereka, tidak sekedar mau terima kebijakan NKRI atau tidak. Karena kasus ini tidak hanya menyebabkan malapetaka bagi orang Papua, tetapi juga telah memulai sebuah episode pencatatan nama dan nilai rapport Merah bagi NKRI.

NKRI dipaksa memenuhi janji dalam memorandum Roma ini, dan akibatnya harus memberi jaminan keamanan bagi kegiatan "pembangunan" di West Papua. Akibatnya pelanggaran HAM di West Papua dalam rangka mengamankan aset dan operasi ekspoloitasi perusahan asing di West Papua selalu disoroti dengan keras. Akibatnya bukan diderita oleh negara yang membawa lari kandungan alam West Papua, tetapi orang yang disuruh jaga dapur mereka itu, yaitu NKRI.




Makanya orang Papua bilang:
Mega-Hamzah persoalannya bukan karena orang Papua menerima atau menolak Otsus, tetapi lebih penting lagi kami mau membantu NKRI terlepas dari jerat dan lumpur kapitalisme yang sudah merajalela di segenap wilayah Nusantara. Karena antara West Papua dan NKRI dapat menyelesaikan masalahnya secara ke-Timur-an dan kekeluargaan, tetapi ada pihak lain yang menodong kita berdua. Dan kita bersama harus melawannya.

6.5 KELIMA, Penyerahan West Papua dari UNTEA kepada NKRI (1 Mei 1963)

Salah satu hasil The Joint Rome Agreement itu adalah penyerahan wilayah West Papua dari Belanda kepada NKRI lewat UNTEA, dan dilaksanakan secepat-cepatnya. Peristiwa itu terjadi 1 Mei 1963.[xxv]

Peristiwa ini terjadi lima tahun lebih dulu daripada PEPERA 1969[xxvi] yang akan menentukan keputusan orang Papua apakah mau bergabung dengan NKRI atau mau berdiri sendiri sesuai dengan deklarasi 1 Desember 1961.

Dalam Perjanjian New York dijelaskan dua tahapan pengalihan kekuasaan, seperti dilihat dalam Terjemahan Paper Indonesia di Pasal sebelumnya, yaitu bahwa tahapan pertama dimulai
"dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963. Dalam tahap ini, pegawai Belanda digantikan oleh non-Belanda dan non-Indonesia. Pada tahap kedua, Administrasi UNTEA diimplementasikan dengan mempertimbangkan perkembangan lokal dan waktu pemberlakuan tahap kedua ini tidak dibatasi. PBB menemukan waktu yang tepat, UNTEA akan menjalankan transfer tanggungjawab administrasi kepada Indonesia.[xxvii]

Padahal kalau kita lihat, tanggal 1 Mei 1963 adalah waktu berakhirnya Tahap Pertama tadi. Tetapi sebelum Tahap Kedua dijalankan, wilayah itu sudah diserahkan kepada NKRI.
·   Apakah mereka tidak mengerti redaksi The New York Agreement?
·   Apakah mereka salah menghitung waktu?
·   Ataukah memang ada manuver-manuver politik NKRI yang dikenal kotor itu?

Ini pokok persoalan utama kelima, yang sampai detik ini masih diingat, masih dituntut dan masih disengketakan orang Papua. Karena itu pemaksaan Otsus sebagai pengganti aspirasi "M" dengan jelas-jelas tidak ada korelasi dan tidak ada relevansinya dengan skandal perjanjian rahasia, di luar koridor hukum yang diadakan antara Belanda dan Indonesia.

6.6 KEENAM: Pepera (14 Juli – 2 August 1969)

Inilah jangka waktu pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di West Papua.

Sengketa pertama di sini adalah bahwa Pepera 1969 itu dilaksanakan atas dasar The New York Agreement yang di dalamnya tidak ada konsultasi dalam bentuk apapun dengan orang Papua atau wakil bangsa Papua. Ditambah lagi, pelaksanaan Pepera itu sendiri tidak sesuai dengan seluruh bunyi dan pasal dalam perjanjian yang mereka sendiri tandatangani itu. Contoh yang paling menonjol adalah prinsip satu orang satu suara (one-man one-vote) seperti tertera dalam The New York Agreement (15 Agustus1962), kemudian dirubah menjadi musyawarah (dalam diskusi awal 1962) dan dalam penandatanganan The Rome Joint Statement (20-21 Mei 1969).

Kemudian orang yang dilibatkan dalam Pepera (termasuk Alm. Dortheys H. Eluay sebagai orang kunci Dewan Musyawarah Pepera - DMP) bukanlah Wakil Rakyat Papua yang sudah dipilih secara demokratis, yaitu anggota Nieuw Guinea Raad. NKRI membentuk Dewan sendiri yang bernama DMP (Dewan Musyawarah Pepera) dan menunjuk hanya 1,025 orang untuk secara paksa setuju untuk bergabung dengan NKRI.
Inilah kleim NKRI dalam papernya menyankut Pepera:
The New York Agreement did not specifically stated the procedure and method of the implementation of the act of free choice. Therefore, the appropriate means that was suitable to the level of social, economic, and cultural development and the geography of West Irian needed to be established. This was due to the fact that the New York Agreement did not require the implementation "one man, one vote" system on the act of self determination. There was no engineering involved and no cause for suspicion, for the reason that according to international law, there was no obligation that an act of self determination had to apply a "one man, one vote" system.[xxviii]
[Artinya: Perjanjian New York tidak secara spesifik menyebutkan prosedur dan metode implementasi penentuan pendapat rakyat. Oleh karena itu, cara yang tepat yang cocok mengingat tingkat perkembangan sosial, ekonomi dan budaya dan geografi Irian Barat perlu ditetapkan. Hal ini karena buktinya Perjanjian New York tidak membutuhkan implementasi sistem "one-man, one-vote" dalam Pepera ini. Tidaka ada rekayasa yang dilibatkan dan tidak ada alasan untuk curiga, atas alasan bahwa sesuai dengan aturan internasional, tidak ada keharusan bahwa Pepera harus dijalankan dengan sistem "one man, one vote]

Maka dengan kleim itu, NKRI menganggap Pepera adalah solusi final buat status politik West Papua.

Kita perlu tanya dua hal sekarang:
·   Dapatkah sebuah penentuan pendapat rakyat yang seratus persen  berpihak kepada satu pihak itu disebut sebuah proses demokratis?
·   Dapatkah Suharto menjalankan sebuah proses Pepera yang demokratis? Kalau orang Indonesia sekarang menganggapnya diktator, mengapa mereka tidak bisa mengerti bahwa Pepera 1969 juga penuh dengan kekerasan militer?

Bukan itu saja, nama Pepera itu sendiri tidak pernah ada dalam kamus hukum dan politik manapun juga di dunia ini. Tetapi dalam kasus West Papua, isitilah yang tidak memenuhi syarat hukum ini dipakai.
·   Apakah karena mereka orang kanibal, primitif, di zaman batu dan karena itu tidak perlu menggunakan istilah baku?
·   Apakah istilah yang tidak baku secara hukum ini dapat dijadikan sebagai dasar bagi NKRI untuk menjajah West Papua?
·   Apakah Pepera yang penuh dengan rekayasa itu bisa menjadi dasar untuk membunuh orang Papua  dan menggali kekayaan alamnya?

Oleh karena itulah, orang Papua tidak mau bersoal-jawab kekanak-kanakan tentang
·    “Terima Otsus apa nggak?”
 dan
·   “Kalau terima nggak merdeka ya?
atau
·   "Kalau nolak kamu merdeka ya?”
Ini sama sekali bukan persoalannya. Dan sama sekali tidak ada kaitan dengan pokok sengketa bangsa Papua dengan NKRI.
Pokok sengketanya masalah HAM, hukum dan prinsip-prinsip demokrasi yang universal, bukan sesempit hubungan West Papua di dalam NKRI dan terima atau menolak Otsus.

6.7 KETUJUH: Resolusi SU PBB No. 2504 (XXIV) (19 November 1969)

Pepera 1969 menjadi dasar bagi NKRI untuk mengkleim keputusan bangsa Papua dan negara West Papua ke dalam NKRI, dan Resolusi SU No. 2504  (XXIV) tanggal 19 November 1969 sebagai alasan hukum untuk menduduki, mengeksploitasi, membunuh, memperkosa, menyiksa, menangkap, menghukum dan apa saja atas bangsa dan Tanah Papua.

Proses yang penuh dengan rekayasa dan sarat dengan skandal itu membuahkan skandal selanjutnya, yaitu secara sepihak SU PBB tidak membahas, tidak menanyakan kepada wakil bangsa Papua ataupun kepada bangsa lain dan menerima hasil Pepera 1969 di West Papua. Malahan amandemen 15 negara Afrika yang dipimpin Ghana atas resolusi ini ditolak mentah-mentah.

MAKA JELASLAH DISINI, bahwa: Selain Perjanjian New York, The Rome Joint Statement (Memorandum of Rome), penyerahan West Papua ke tangan NKRI, Trikora yang penuh dengan skandal, resolusi 2504 (XXIV) itupun secara de jure tidak pernah menghapus status West Papua sebagai wilayah dekolonisasi dan mengakuinya sebagai bagian dari NKRI. Walaupun secara de facto NKRI ada sampai hari ini,  secara de jure sama sekali tidak sah. Karena  itu Indonesia sedang menjajah bangsa dan negara yang masih dalam status dekolonisasi.
Itulah sebabnya, orang Papua melihat kasus dan konflik NKRI-West Papua:
bukan konflik antara menerima Otsus atau menolak,
bukan masalah menerima “M” berarti “O” ditolak dan menerima “O” berarti “M” batal.
bukan berarti mereka yang menerima “O” pro-integrasi, yaitu musuh orang Papua dan yang menolak musuh NKRI

Sama sekali tidak. Ini pertentangan yang dangkal, politik yang sempit, dan mandul. Tetapi inilah dasar yang NKRI gunakan untuk menjajah dan mengatur West Papua serta memaksakan Otsus dengan intimidasi, teror dan pembantaian.

Jelaslah bahwa kasus pelanggaran HAM berupa pemerkosaan, penyiksaan, ketidak-adilan, keterbelakangan, kekerasan militer era orde baru BUKAN POKOK SENGKETANYA. Pokoknya jauh lebih parah dan lebih hakiki.

Jadi, pokok persoalannya adalah kasus pelanggaran HAM, pelanggaran prinsip demokrasi dan hukum internasional yang lebih parah, terarah di dunia, yaitu tragedi pembunuhan hak kebangsaan dan hak bernegara bangsa Papua dan negara West Papua.

Jadi apa yang mendasari atau menjadi patokan paksaan Otsus di West Papua adalah limbah politik kotor tahun 1960-an dan politik kotor 2000-2001 sebagai hasil konspirasi internasional yang sarat dengan skandal moral kemanusiaan, demokrasi dan hukum.





















































































































13.05 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman