Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

AS Kecam Vonis Pelaku Video Kekerasan Papua

Written By Unknown on Jumat, 28 Januari 2011 | 00.02

"Kami sangat prihatin dan akan terus mengikuti kasus ini."
Rabu, 26 Januari 2011, 09:11 WIB




<<Video penyiksaan warga Papua Barat (Asian Human Rights Commission)




VIVAnews - Vonis ringan terhadap tiga anggota TNI penganiaya warga Papua, yang terekam dalam video, dikritik keras oleh Pemerintah Amerika Serikat. Vonis masing-masing 8,9, dan 10 bulan yang dijatuhkan hakim dianggap tak layak. Kritik tersebut disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Philip Crowley, dalam akun Twitter-nya, @PJCrowley, Rabu, 26 Januari 2011.

"Vonis yang dikeluarkan pengadilan militer Indonesia tidak merefleksikan keseriusan dalam penanganan kekerasan terhadap dua warga Papua seperti yang dipertontonkan dalam video tahun 2010," kata Crowley.

Ditambahkan Crowley, kondisi itu sangat memprihatinkan. "Indonesia harus memastikan angkatan bersenjatanya bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia. Kami sangat prihatin dan akan terus mengikuti kasus ini," tambah dia.

Pada sidang pembacaan vonis yang digelar Senin lalu, 24 Januari 2011, Majelis hakim Pengadilan Militer Jayapura yang diketuai Letkol Adil Karo-karo dan anggota Letkol Affandi dan Mayor Herry, menjatuhkan vonis penjara 10 bulan kepada Serda Irwan Riskiyanto sebagai Komandan Pos, yang bertanggung jawab penuh saat itu. Adapun Pratu Yakson Agu dijatuhi hukuman sembilan bulan dan Pratu Thamrin Mahangiri delapan bulan. Vonis itu dipotong masa tahanan.

Hakim memutuskan, ketiganya terbukti melakukan kekerasan dan menyiksa dua warga Papua bernama Anggun Pugukiwo dan Telenggen Gire pada 27 Mei 2010. Penyiksaan dilakukan di belakang Pos TNI Gurage Tingginambut Puncak Jaya, sesuai dengan yang terekam di video, yang lalu beredar di dunia maya.
Saat itu ketiga prajurit itu sedang bertugas di kampung Gurage, Distrik Tingginambut, Puncak Jaya. (w)
00.02 | 0 komentar

FRONT PEPERA, Ironis Memang SK Mendagri Itu

Written By Unknown on Kamis, 27 Januari 2011 | 12.08

Kamis, 27 Januari 2011 17:02
JAYAPURA- Elemen  Pergerakan Perjuangan Papua- EKNAS Front PEPERA Papua Barat melalui juru bicaranya Selpius Bobi menyatakan dengan tegas  soal perekrutan anggota MRP yang  tengah berlangsung di beberapa Daerah di Papua, seperti yang terjadi di Biak, menunjukkan polemic antara masyarakat dengan Pemerintah, pun sebaliknya polemik MRP  menjadi konflik horizontal, antara masyarakat sendiri. Eknas Fron  PEPERA  melalui Press Releasenya menegaskan, “ Semua pihak yang tergiur dengan perekrutan anggota MRP dan dikagetkan oleh Surat Mendagri tertanggal 13 Januari 2011 tentang klarifikasi peraturan Daerah Khusus ( PERDASUS) provinsi Papua serta Perdasus No. 4  tentang pemilihan anggota MRP yang disahkan oleh DPRP itu sesungguhnya tak berjalan mulus, buktinya melalui SK Mendagri, Gubernur Provinsi Papua diperintahkan untuk diklarifikasi.
Menurut Fron PEPERA, ada hal krusial yang  termuat dalam SK Mendagri  yang dinilai menyimpang dan semakin membuat proses Pemilihan  MRP dianggap menghancurkan jati diri Orang Asli Papua, Isi SK tersebut adalah  merubah Perdasus menjadi Perdasi,  berikut lembaga MRP kini menjadi dua yang pertama berkedudukan di Ibu Kota Provinsi Papua dengan beranggotakan 42 orang masing masing wakil adat, perempuan dan Agama. Yang kedua berkedudukan di Ibu Kota Povinsi Papua Barat dengan beranggotakan 33 orang masing masing wakil adat, perempuan dan Agama sebanyak 11 orang, selain itu isi SK Mendagri  menyatakan juga bahwa menjadi anggota MRP selain orang asli Papua, juga termasuk orang non Papua yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh Masyarakat Adat Papua.
Terurai lebih lanjut bahwa, yang jadi anggota MRP ialah orang yang tidak pernah terlibat dalam tindakan pidana maKar terhadap NKRI dan berumur 30  hingga 60 Tahun, perpendidikan minimal SD untuk wakil Adat dan SMP untuk wakil Perempuan dan Agama.  Untu menjadi anggota MRP tidak mendapat mandate atau rekomendasi dari  Masyarakat Adat, Perempuan dan Agama,  calon anggota MRP tidak dipilih masyarakt diperuntukkan bagi orang asli Papua, tetapi calon MRP diseleksi oleh Paitia Perekrutan MRP yang dibentuk oleh Pemerintah  dengan bekerjasama dengan dengan Pemerintah, sedangkan PNS yang menjadi anggota MRP, melepaskan sementara jabatan dan status kepegawaiannya.
SK Mendagri yang megklarifikasi  Sembilan hal Pokok tersebut, oleh Elemen Perjuangan Fron PEPERA dianggap sebuah paket Politik semata, termasuk anaknya MRP,   namun Negara Indonesia dianggap terus menerus melakukan berbagai manufer Politik untk mempertahankan Otsus Papua, dimana Undang   undang Otsus yang dianggap kekhususan yang diberikan Jakarta, namun sesungguhnya kekhususan itu diberikan dalam rangka mempertahankan penindasan di Tanah Papua Barat.
Selpius menyatakan,  dalam Undang undang Otsus dinyatakan  MRP dibentuk dalam rangka memperjuangkan hak hak dasar orang asli Papua, namun dalam penerapannya MRP tidak memberikan kewenangan khusus untuk melakukan proteksi dan keberpihakan kepada orang asli Papua. Dalam SK Mendagri yang tersirat  Perdasus diubah menjadi Perdasi, menunjukkan secara jelas Pemerintah Pusat sendiri telah menghancurkan lembaga Khusus bagi orang asli Papua yang dibentuk oleh Negara Indonesia. Diterangkan lebih lanjut, Pemerintah Pusat sedang merancang Tanah Papua dimekarkan menjadi beberapa Provinsi, dan bila diwaktu mendatang terjadi pemekaran Provinsi di Papua,  misalnya Papua dimekarkan jadi lima Provinsi, maka masing masing Provinsi akan membentuk lembaga Khusus MRP. Akan  parah bila MRP makin banyak di Tanah Papua, hal yang jelas menerangkan itu adalah kekhususan makin hilang, makna tugas dan tanggung jawabnyapun  hilang.
Ia menilai dengan pembentukan MRP ditiap Provinsi diPapua  jelas  bertujuan menghancurkan keutuhan dan Kebersamaan dengan memecah belah ideology Papua,  jati diri dan Budaya asli Orang Papua  yang muaranya  memperpanjang  penindasan  serta  mempertahankan Keutuhan NKRI.
Yang melecehkan lagi, dalam SK Mendagri Pemerintah dianggap membuka peluang penghancuran orang Asli Papua dengan memberikan kesempatan bagi orang asli Papua perwakilan adat minimal berijasah SD dan SLTP diberikan peluang untuk  menjadi anggota MRP, ini merupakan pembodohan dan penghinaan bagi orang asli Papua dan tujuan Pemerintah jelas, bahwa  anggota MRP yang berijasah SD dan SMP yang duduk dalam MRP dapat dikendalikan oleh kaki tangan Indonesia yang memiliki kapasitas intelektual yang akan duduk di MRP, jika demikian maka lembaga Khusus ini tak akan melahirkan suatu kebijakan yang melindungi hak hak dasar orang asli Papua, tetapi justru lembaga ini akan mengamankan kepentingan Jakarta.
Hadirnya SK Mendagri dianggap telah mencabut kewenangan lembaga lembaga  adat, perempuan dan Agama untuk memberikan memberikan rekomendasi kepada calon  anggota MRP,  pencabutan kewenangan ini dianggap memberikan peluang seluas luasnya bagi kaki tangan Indonesia untuk mencalonkan diri dalam bursa penyeleksian MRP,   dengan demikian tertutup kemungkinan bagi mereka yang memiliki kapasitas Intelektual dan bermoral yang ada dalam lembaga lembaga adat, Perempuan dan Agama atau non Pemerintah untuk masuk dalam keanggotaan MRP, karena proses menjadi anggota MRP bukan direkomendasikan oleh lembaga non Pemerintah yang dipercaya dan dipilih oleh orang asli Papua, melainkan didaftarkan dengan inisiatif calon MRP sendiri dan diseleksi oleh Pemerintah melalui Panitia yang dibentuk oleh Pemerintah, Ironis memang SK Mendagri itu, “ terang Bobi. ( wp )
12.08 | 0 komentar

Massa Pikul Salib dan Peti Mati ke DPRP

Sebagai Simbol Matinya Otsus dan MRP di Tanah Papua
Kamis, 27 Januari 2011 17:02

Sejumlah Massa saat melakukan longmarch dari Abepura menuju Kantor DPRP dengan membawa kayu berbentuk Salib dan dua pati mati sebagai simbol matinya Otsus dan MRP di tanah Papua.

JAYAPURA—Sebagaimana yang direncanakan sebelumnya, seribuan massa bersama sejumlah tokoh di Tanah Papua menggelar aksi unjukrasa di Kantor DPRP, Jayapura, Rabu (26/1) kemarin. Ribuan massa menuntut  pemerintah segera menghentikan seluruh proses  pemilihan MRP   jilid kedua yang sedang berlangsung  dan menjawab 11 rekomendasi musyawarah MRP beberapa waktu lalu. Menariknya,  massa tersebut memikul salib (maksudnya membawa) serta mengarak dua peti mati  sebagai simbol kematian Otsus dan MRP di Tanah Papua.Dalam kegiatan tersebut  sekaligus dideklarasikan  Teologia gereja gereja Papua tentang kegagalan  pemerintah Indonesia memerintah dan membangun orang asli Papua yang ditandatangani Pdt Socrates Sofyan Yoman MA didampingi Ketua Sinode KINGMI di Tanah Papua Pdt Dr Benny Giay MA serta Wakil Ketua BP-AM Sinode GKI di Tanah Papua Pdt Drs Elly D Doirebo MSi.  Alhasil,  sejak pukul 07. 00 WIT massa yang datang dari  Sentani, Genyem, Taja, Lereh berkumpul di Pemakaman Theys Eluay dan menuju Kantor MRP pada pukul 08.30 WIT. Sedangkan massa  dari Keerom, Kotaraja, Abepura, Jayapura dan sekitarnya berkumpul di Kantor MRP. Lalu pukul 10.00 WIT menuju Jayapura. Seribuan massa itu juga membawa sejumlah spanduk dan  pamflet yang  intinya mendesak DPRP segera menjawab 11 rekomendasi hasil musyawarah MRP pada 9-10 Juni 2010 lalu.
Ketika berlangsung aksi unjukrasa  dua  peti  dan salib tersebut masing masing bertuliskan Almarhum UU Otsus dan Almarhum MRP. Sedangkan pada salib bertuliskan  RIP (Requiescat in Peace) UU Otsus dan MRP.  Dua buah peti mati tersebut kemudian   diserahkan pemimpin Gereja Gereja di Tanah Papua dan diterima Wakil Ketua I DPRP  Yunus Wonda disaksikan sejumlah anggota DPRP.
Kepada pimpinan dan anggota DPRP massa menanyakan sejauhmana DPRP menindaklanjuti 11 rekomendasi musyawarah MRP pada 9-10 Juni 2010 yang telah  dititipkan kepada DPRP untuk diserahkan kepada pemerintah pusat.    
Terhadap hal ini Yunus Wonda secara singkat menjelaskan bahwa pihaknya telah menyerahkan 11 rekomendasi musyawarah MRP kepada pemerintah pusat tapi hingga kini belum  ditanggapi.
Akhirnya,  Wakil Ketua BP-AM Sinode GKI di Tanah Papua Pdt Drs Elly D Doirebo MSi membacakan deklarasi teologia gereja gereja Papua tentang kegagalan pemerintah Indonesia memerintah dan membangun orang asli Papua.
Deklarasi itu antara lain menyatakan.  Pertama, Gereja Gereja makin diyakinkan bahwa proses proses ini  mengulangi bentuk  yang sama dari  proses integrasi  Papua  yang bermasalah secara hukum dan budaya. Proses pelaksanaan Pepera 1969, merupakan akar permasalahan hukum dan demokrasi  bagi  rakyat Papua. Sejak diintegrasikan Papua dalam Indonesia, Papua  telah menjadi wilayah bermasalah dalam kekuaaan pemerintah Indonesia.
Kedua, Bangsa Papua telah menjadi suatu “sejarah sunyi”  yang mengarah  kepada genocide. Wacana genocide  telah disuarakan   oleh berbagai bangsa yang  begitu prihatin  dengan keberlangsungan  hidup bangsa Papua. Mungkin genocide menurut rumusan PBB dan Indonesia atau negara  bangsa lainnya tak memenuhi rumusan rumusan tersebut.
Tapi genocide dari sudut pandang umat kami  sebagai korban memang sedang terjadi melalui  pengkondisian  yang dilakukan oleh Jakarta berwujud ideologi dan kebijakan pembangunan yang tak berpihak kepada Orang Papua. Kebijakan  transmigrasi maupun operasi militer yang tak berujung, merupakan siasat pengkondisian agar lama kelamaan  Papua punah. Orang Papua  telah diposisikan sebagai “yang lain”  yang harus diawasi, dikendalikan dan  dibina, bukan sebagai warga Negara Indonesia yang setara. Kalangan pengamat Jakarta menyebut perlakuan demikian sebagai penjajah internal (internal colonialism) dan perbudakan  terselubunh terhadap Papua. 
Ketiga, kami, Gereja Papua mengakui dosa  kami telah  lama membisu  terhadap unsur unsur demonic (jahat) dan destruktif dari pembangunan terhadap  Orang Asli Papua yang menurut pengamat Jakarta adalah merupakan bentuk  penjajahan internal dan perbudakan terselubung. Sehingga Gereja Papua  telah keliru mengartikulasikan isi  firman Tuhan, “pemerintah adalah wakil  Allah di dunia yang harus dijunjung tinggi”, membuat  Gereja lumpuh dan tak dapat memainkan peran kenabiannya.
Keempat, menjawab  berbagai tantangan yang dihadapi umat Tuhan di Tanah Papua, kami Gereja Gereja  bertekad kembali ke akarnya, kembali ke habitatnya, yakni Alkitab dan Sejarah Gereja.
“Kami bertekat  melihat sejarah umat yang menderita sebagai tanda tanda jaman (Matius 16: 3b) dan tantangan  teologis dan misiologi. Ini berarti Tuhan telah mengirim  Gereja Gereja di Papua  ke tengah umat yang tengah menjalani sejarah kelam itu,” katanya.
Dengan demikian, lanjutnya,  Gereja Gereja  di Papua  harus senantiasa bertanya dan berdialog dengan Tuhan.
Kelima, konsekuensinya, sikap Gereja Gereja di Papua selama ini dalam menyuarakan luka  batin  umat Tuhan di Tanah Papua  adalah merupakan  bagian  integral  dan panggilan sejati Gereja dalam mewartakan firman Tuhan  Allah yang mengutus kami. Alkitab dan sejarah Gereja adalah pijakan kami dalamj bertindak. Dalam misi ini, Gereja bertugas mengembalakan umat Allah, menjaga  gambar dan rupa Allah agar tak boleh  diperlakukan  dengan sewenang wenang (Yoh. 10:11;21:12, 16, 19). Sebagai gembala, kami patut mendengarkan suara domba domba (jemaat)   kami dalam semangat inilah kami mengangkat suara kami karena “Perahu kehidupan kami sedang tenggelam, lilin kehidupan umat kami sedang dipadamkan atas nama pembangunan, integritas teritorial, demi keutuhan negara”.
Keenam, terkait kebijakan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah terkini, dengan ini kami nyatakan : (a) bahwa pemerintah Indonesia telah gagal membangun Orang Asli Papua bertolak dari  Otsus. Oleh karena itu, kami seruhkan agar pemerintah segera menghentikan seluruh proses  pemilihan MRP   jilid kedua yang sedang berlangsung  dan menjawab musyawarah MRP; (b) sebagai solusinya kami menyerukan kepada pemerintah  Indonesia  untuk membuka  diri untuk  berdialog dengan rakyat asli Papua yang dimediasi pihak yang  netral; (c) kami juga  prihatin dengan prilaku  pejabat asli Papua yang tak berpihak  terhadap hak hak  rakyatnya sendiri.
Ketujuh, kami menghimbau umat Tuhan di Tanah Papua untuk bangkit, kerjakan keselamatanmu, nyatakan kebenaranmu di hadapan  penguasa negara yang lalim,  yang sedang melakukan penjajahan  internal (internal colonialism), pembasmian etnis (genocide) dan perbudakan terselubung (disquised slavery) atas bangsamu.
Kedelapan, kepada saudara saudari umat Tuhan di Tanah Papua, di Indonesia dan dimana saja, berdoalah bagi kami dalam solidaritas, agar kami menjadi  teguh di dalam menghargai tantangan jaman Papua masa kini yang penuh dengan penderitaan dan air mata.
Setelah membacakan  deklarasi kemudian menyerahkan kepada Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda. Usai menerima pengujukrasa Yunus Wonda menyampaikan untuk menindaklanjuti aspirasi massa DPRP meminta kepada Kesbang Provinsi Papua untuk menghentikan sementara seluruh proses pemilihan MRP serta direncanakan pada Jumat (28/1) pihaknya akan membahas masalah ini bersama Gubernur, MRP, DPRD, Pemda/Pemkot, lembaga adat, lembaga agama, lembaga perempuan. Selanjutnya bersama  berangkat ke Jakarta untuk menemui pemerintah pusat. Usai menggelar aksi unjukrasa massa membubarkan diri dengan aman dan tertib.
BEM Uncen Sempat Palang Kampus
Aksi demonstrasi yang di DPRP Rabu Siang (26-01-2011), nampaknya dimulai lebih pagi oleh Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) Universitas Cendrawasih. Para mahasiswa yang akan ikut melakukan demo memalang pintu masuk Uncen baru dengan portal dan peti mati yang melambangkan otsus telah mati, mulai pukul 07.00. Kejadian ini sempat membuat para mahasiswa dan para karyawan Uncen yang ingin masuk ke area kampus mengurungkan niatnya.
Sekitar pukul 08.30 para aparat Polisi gabungan antara Polsekta Abepura dan pasukan Brimob tiba dilokasi kejadian. Para aparat dan Pembantu Rektor III Uncen, Drs. Paul Louis Hommers, M.Si mencoba bernegosiasi dengan para mahasiswa supaya tidak menutup jalan masuk ke kampus.
Dalam orasinya, para pendemo menyatakan bahwa mereka menutup jalan masuk ke kampus guna menunggu teman-teman mereka yang akan ikut dalam aksi demonstrasi di gedung DPRD Papua. Baru sekitar pukul 09.30 para mahasiswa yang melakukan aksi demo membuka jalan, dan berjalan kaki menuju gedung MRP guna bergabung dengan para demonstran lainnya.
Tanggapan Kapolres Soal Demo
Kapolres Jayapura Kota, Ajun Komisaris Besar Polisi H.Imam Setiawan SiK, menyampaikan terima kasih atas kerja sama dari masyarakat yang melakukan aksi demo sebab bisa melakukan demo dengan aman, tertib, dan tidak anarkhis.
“Saya berterima kasih kepada masyarakat yang melakukan demo hari ini. Walau jumlah mereka ratusan, tapi mereka bisa menyampaikan aspirasinya dengan tertib, aman, tidak anarkhis. Bahkan seminggu sebelumnya, mereka sudah memberitahukan dan kami siap untuk kawal,” katanya di sela-sela kegiatan demo.
Dia berharap ke depan, masyarakat bisa berdemo seperti ini. Sebab masyarakat adalah mitra Polisi. “Jadi kalau mau sampaikan aspirasi, tolong ada pemberitahuan, maka kami akan siap untuk mengawal hingga aspirasi itu disampaikan kepada yang dituju,” pungkasnya.(wp)
12.05 | 0 komentar

Adat Papua Tidak Kenal Miras

Written By Unknown on Rabu, 26 Januari 2011 | 13.28

Rabu, 26 January 2011 00:00
SEMARANG - Sejumlah tokoh Kabupaten Mimika, mengunjungi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Senin, untuk memberi "wejangan" bagi para mahasiswa asal Papua yang kuliah di Semarang.
Tokoh Mimika yang hadir, antara lain mantan Bupati Mimika, Allo Rafla, tokoh wanita Amungwe Papua, Yosepha Alomang, John Nakiaya (tokoh masyarakat Kamoro), dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika, Yesaya Sombuk.
Di sela "Sosialisasi Tindak Lanjut Mahasiswa Mimika Penerima Beasiswa" itu, Yosepha Alomang, yang akrab disapa Mama Yosepha mengatakan mahasiswa Papua harus berpikir dan bertindak sesuai adat yang diwariskan leluhur. Penerima Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999 dan Anugerah Lingkungan Goldman pada 2001 itu juga menyesalkan peristiwa meninggalnya empat mahasiswa asal Papua pada awal Januari lalu akibat pesta minuman keras di Bandung.
Yosepha mengatakan dalam masyarakat adat Papua tidak dikenal minum-minuman keras hingga menyebabkan kematian pada generasi muda, karena itu mahasiswa Papua diharapkan bisa menjalankan kewajiban belajarnya dengan baik.
Senada dengan itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika, Yesaya Sombuk mengatakan pihaknya mengimbau para mahasiswa Papua untuk menyelesaikan tugas belajarnya di perguruan tinggi di luar daerah dengan baik. "Kami ingin mengingatkan bahwa tugas mereka (mahasiswa, red.) adalah belajar dan menjadi `bintang` sehingga bisa mempersembahkan ilmu yang didapat sekembalinya mereka nanti di bumi Papua," katanya.
Sementara itu, Kepala Humas Unika Soegijapranata Semarang, Antonius Juang Saksono menyebutkan mahasiswa Papua yang tengah menjalani kuliah di perguruan tinggi tersebut saat ini berjumlah 44 orang.
Ia mengatakan kunjungan para tokoh Mimika tersebut sebagai bentuk perhatian terhadap para mahasiswa Papua yang saat ini banyak berkuliah di tiga kota di Jawa, yakni Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang."Kunjungan para tokoh Mimika ini juga sebagai sarana berkomunikasi bagi mahasiswa Papua, termasuk penyediaan beasiswa yang dikelola Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungwe dan Kamoro (LPMAK)," katanya.
Dengan beasiswa tersebut, kata Juang, diharapkan bisa memfasilitasi para mahasiswa Papua yang ingin menempuh kuliah sehingga bisa mempersembahkan ilmu yang didapatnya untuk mengembangkan daerah asalnya.[wp]
13.28 | 0 komentar

Pemda Akan Tetapkan Tarif Angkutan Laut

Rabu, 26 January 2011 00:00
ASMAT - Pemerintah daerah kabupaten asmat dalam hal dinas perhubungan komunikasi dan informatika akan segera melakukan penetapan tarif angkutan laut untuk kendaraan speed boat dan long boat yang beroperasi di kabupaten asmat. Penetapan ini bukan hanya sebatas perencanaan saja, tetapi dinas perhubungan sudah melakukan hitung-hitungan mengenai besarnya biaya angkut dengan melihat mesin, BBM yang dipakai serta jaraknya. Tetapi untuk menetapkan harga perlu adanya sosialisasi bagi semua pihak dan harus duduk bersama untuk menyetujui ini. Karena selama ini biaya angkut yang ada saat ini dibuat oleh pemilik kendaraan dan disepakati oleh dinas. Tetapi kedepannya sudah tidak ada biaya kesepakan bersama lagi.
"Selama ini memang dipakai biaya kesepakatan bersama. Yakni jarak agats ewer yang hanya 15 menit dipatok harga 100 ribu sedangkan agats pelabuhan cemnes yang memakan waktu beberapa menit biayanya 10 ribu. Harga ini dipakai sudah sejak beberapa tahun lalu dan disetujui bersama, tetapi kedepannya kami akan menekan harga tersebut. Karena kami melihat biaya yang dikenakan penyedia jasa sangatlah besar. Sesuai hitung-hitunggan kami, biaya agats ewer tidak sampai 100 ribu tetapi sekitar 50 ribu perorang,"jelas kadis perhubungan N Manurung, S.Sos kemarin di ruang kerjanya.
Dikatakan manurung bahwa, selama ini ketentuan harga yang dipatok oleh penyedia jasa karena mereka memperhitungkan biaya bensin yang dikeluarkan. Di agats sendiri bensin perliternya 10 ribu. Tidak ada minyak subsidi di sini karena yang subsidi hanyalah minyak tanah saja. Ini yang membuat mereka (pemilik speed) mematok harga yang cukup tinggi.
"Kami akan upayakan agar harga tersebut bisa ditekan. Tentu saja dengan berbagai pertimbangan dan kesepakatan bersama. Karena jika masih mematok harga 100 ribu untuk ewer , kasihan masyarakat yang tidak ada uang mereka mau ke ewer juga sangat susah,"pungkasnya.[wp]
13.26 | 0 komentar

Tidak Masuk Kerja, Gaji PNS Ditahan

Rabu, 26 January 2011 00:00
ASMAT - Sesuai surat edaran yang dikeluarkan oleh sekretaris daerah kabupaten Asmat, Elisa Kambu, S.Sos menegaskan bagi PNS dilingkungan pemerintah jabupaten Asmat yang tidak masuk kerja, maka gaji tidak akan dikirim kerekening PNS yang bersangkutan, tetapi harus diambil sendiri oleh PNS.
Penegasan itu disampaikan sekretaris daerah kabupaten Asmat, Elisa Kambu, S.Sos kepada Papua Pos di Asmat, Selasa [25/1] kemarin. ‘’Kita akan menerapkan disiplin disiplin pegawai bahwa gaji pegawai tidak akan dikirim ke rekening PNS,’’ imbuhnya.
Menurutnya, ada beberapa point yang dikeluarkan untuk meningkatkan kedisplinan bagi pegawai sendiri, karena sesuai dengan Perbup Asmat tentang pemberian tambahan penghasilan bagi PNS di lingkup pemda Asmat. Tetapi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi atas kebijakan bupati tersebut yakni menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan yang ada. ‘’Jika tidak maka sanksi akan diterima,’’ tandasnya.
Isi edaran yang dikeluarkan oleh pemda asmat adalah pembayaran gaji PNS bulan februari 2011 untuk tidak dikirim atau dimasukan ke rek gaji PNS tetapi diambil tunai pada bendahara pengeluaran arau gaji SKPD. Pembayaran tambahan penghasilan PNS 2011 tidk dikirim atau dimasukan tetapi diambil tunai pada bendahara pengeluaran gaji SKPD serta tidak menggunakan surat kuasa kecuali sakit atau sedang di rujuk.
Pembayaran gaji guru yang bertugas d distrik dan kampung akan langsung di antarkan oleh skpd yang berkenaan paling lambat tanggal 5 bulan berjalan dan tidak diperkenakan di ambil di agats. Pembayaran honor aparat kampung, honor pengawai tidak tetap yang bertugas di distrik, honor bamuskam serta operasional distrik tahun 2011 akan diantrkan SKPD berkenaan.
Surat edaran tersebut ditunjukkan untuk pimpinan SKPD, para kepala distrik dan selurih PNS di kabupaten asmat. Ini dilakukan karena banyak dari oknum-oknum PNS yang sering meninggalkan tempat tugas sampai berbulan-bulan. Padahal izin cuti yang diberikan hanya beberapa hari saja tetapi pada saat mau pengambilan gaji selalu menanyakan hak mereka sementara kewajiban tidak dilakukan.
"Saya sangat setuju dengan edaran tersebut dan ini merupakan langkah awal untuk melakukan disiplin pegawai yang sering malas. Kalau sudah begini pastilah para pegawai yang malas akan melaksanakan tugas mereka,"ungkap salah satu pegawai disetda asmat.[wp]

13.24 | 0 komentar

Petugas Lapas Merauke Diminta Berperilaku Baik

Rabu, 26 January 2011 00:00
PENJELASAN : Direktur Ritel Bank Muamalat sedang berikan penjelasan kepada Asisten I Setda Kabupaten Merauke bersama beberapa pejabat lain.

MERAUKE —Para petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Merauke harus meningkatkan kedisiplinan baik dalam bekerja maupun melakukan pengawalan serta pengawasan terhadap setiap warga binaan. Tunjukkanlah sikap dan perilaku yang baik sebagai pengayom dan pembimbing terhadap para tahanan maupun nara pidana.

Permintaan itu disampaikan Kepala Divisi Administrasi Hukum dan HAM Kementerian RI, Syamsuddin Karim saat memberikan arahan kepada para petugas Lapas dan Bapas, Selasa (25/1). Menurutnya, belakangan ini banyak sorotan dari berbagai kalangan. Karena ada kekurangan dalam pelaksanaan tugas yang dijalankan. “Untuk itu, saya mengharapkan agar kinerja ditingkatkan lebih baik lagi,” pintanya.
Tugas pokok yang harus dijalankan, demikian Karim adalah pengamanan serta pembinaan. Jika kekondusifan dijaga secara baik, tentunya semua akan berjalan tanpa hambatan. Olehnya, semua aturan harus dipenuhi dan satu lagi yang perlu diperhatikan adalah disiplin dalam jam kerja.
Selain itu juga, tempati pos-pos yang telah dibagikan. Jika hendak meninggalkan tugas untuk sementara waktu, harus disampaikan terlebih dahulu. Maksudnya agar ada yang mengganti sementara. “Saya juga minta agar keamanan harus dijaga. Artinya, tidak sembarang mengeluarkan tahanan maupun napi. Itu yang harus diperhatikan,” pintanya.
Tugas dimaksud, menurut dia, sangat penting guna ikut melakukan penegakan terhadap aturan hokum setelah para napi dijatuhi hukuman oleh majelis hakim. “Ya, beberapa hal penting yang saya sampaikan ini sekiranya bisa dijaga dan diperhatikan dengan baik,” katanya. [wp]
13.22 | 0 komentar

Hari Ini, Demo Bisu Menolak Pemilihan MRP di Biak


Rabu, 26 January 2011 00:00
BIAK – Hari ini akan digelar demo besar-besaran di kantor DPRD Biak. Aksi demo ini dilakukan guna menuntut agar pemilihan MRP segera dihentikan. Aksi demo ini ini disebut aksi demo bisu yang didukung dewan Adat se-Papua serta Sinode Gereja-Gereja se-tanah Papua, bahkan mereka telah sepakat untuk menuntut 11 poin penting terkait penilaian bahwa Otonomi Khusus Papua yang melahirkan MRP telah gagal total.
Hal ini disampaikan tim kerja Komunike atau tim demo bisu penolakan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua [MRP] di Biak, Yotam Wakum,SH, serta surat edaran yang diterima Papua Pos, Selasa [25/1]. Menurut Yotam Wakum, pihak dewan Adat se-Papua serta Sinode Gereja-Gereja se-tanah Papua telah sepakat menuntut 11 poin penting terkait penilaian bahwa Otonomi Khusus Papua yang melahirkan MRP telah gagal total, termasuk dalam merepresentasikan keinginanan orang asli Papua sebagai mana yang di amanatkan pada terbentukanya MRP Lima tahun lalu.
Sebelas Poin yang dituntut diantaranya, undang-undang Otsus Papua agar dikembalikan saja ke pemerintah Pusat serta segera dilakukan dialog untuk orang Papua agar dapat menentukan nasibnya sendiri. Selain itu aksi tersebut juga merencanakan akan menuntut sejumlah pelanggaran HAM di Papua, agar segera dituntaskan.
Demo yang akan digelar tersebut, dimulai dengan berjalan kaki dan menggelar sejumlah spanduk sesuai tuntutan, dan bergerak dari kantor GKI klasis Biak Selatan melalui sejumlah ruas jalan utama di Biak, dan akan berkonsentrasi di kantor DPRD Biak di jalan Majapahit Biak, sebelum kembali ke tempat awal di kantor klasis Biak Selatan di jalan Ahmad Yani Biak. Menurut Yotam Wakum aksi ini juga telah diserukan ke seluruh wilayah di kabupaten Biak Numfor dan juga Supiori. [wp]
13.19 | 0 komentar

Ada Peserta Menolak dan Menuntut Dilakukan Refrendum

PESERTA : Saat sosialisasi anggota MRP di Biak, Selasa [25/1] , Sejumlah peserta mengemukakan penolakan MRP dan malah minta agar pemerintah melakukan Refrendum.

BIAK  – Sosialisasi tentang pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua [MRP] yang dilakukan Panitia Pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua [MRP] di gedung wanita Biak, Selasa [25/1], diwarnai ketegangan. Lantaran sejumlah peserta secara terang-terangan menolak pemilihan anggota MRP, bahkan peserta ada yang menuntut dilakukan Refrendum.

Hal ini mengemuka saat memasuki sesi tanyajawab, sejumlah peserta menyampaikan pertanyaan gemukakan tentang penolakan tentang keberadaan MRP itu sendiri, dan meminta agar panitia segera menghentikan segala bentuk pentahapan terkait memilih anggota MRP periode 2010-2015 itu.
Bahkan, saat memasuki sesi tanyajawab, sejumlah peserta menuntut agar pemerintah segera melakukan referendum menuju pembebasan politik rakyat Papua, karena menilai MRP yang nota bene untuk merepresentasikan aspirasi rakyat rakyat Papua, dan juga lahir dari UU Otsus No 21 tahun 2001 itu, telah gagal total.
Permintaan referendum itu mengemuka saat penanya pertama, Marike Rumbiak yang berasal dari perwakilan perempuan, Dewan adat Byak itu, menyampaikan pandangannya tentang sejumlah pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap Orang Papua selama ini. Menurut Marike, ia memiliki sejumlah bukti dan data, bahwa keberadaan MRP pada periode lalu tidak dapat berbuat apa-apa terkait aspirasi yang disampaikan orang asli Papua untuk menyelesaikan sejumlah pelanggaran yang dinilai melanggar HAM tersebut. “Saya mewakili perempuan dari Dewan adat Byak meminta agar sosialisasi ini dibubarkan, dan tidak ada pemilihan MRP untuk perwakilan Perempuan dari Biak ini,” pinta Marike dengan suara keras
sambil berjalan menuju meja panitia sembari menyerahkan photo-photo kekerasan terhadap orang Papua. Dan sontak seluruh peserta pun bertepuk tangan sambil berdiri.
Demikian penanya kedua, Gerald Kafiar yang mengaku mewakili adat Byak, juga dengan suara lantang ia menyampaikan agar anggota MRP periode lalu dapat dihadirkan pada sosialisasi tersebut, sehingga dapat memberi penjelasan tentang apakah MRP itu perlu dilanjutkan atau tidak. Atau setidaknya kata Gerald, anggota MRP yang lama itu dapat menyampaikan penjelasan tentang apa yang mampu diperbuat oleh MRP pada periode lalu. “Kami dewan adat menolak dengan tegas pemilihan MRP ini. MRP merupakan boneka yang sedang dibentuk untuk memecah-belah persatuan rakyat Papua, jadi sebaiknya dihentikan,” tegasnya.
Namun demikian ada juga peserta menilai bahwa proses yang telah ditentukan pemerintah dalam pemilihan anggota MRP itu, agar tetap dibiarkan berjalan, sedangkan tuntutan politik [Refrendum] yang mengemuka pada sosialisasi itu, hendaknya dapat disampaikan melalui mekanisme lain, dan diluar dari pada acara Sosialisasi MRP yang sedang berlangsung.
Menanggapi sejumlah pertanyaan serta usulan yag disampaikan, anggota tim sosialisasi yang berasal dari akademisi diantaranya, Frans Reumi menyampaikan kepada sekitar 240 orang peserta yang hadir, aspirasi yang disampaikan terkait Refrendum dan sebagainya diluar dari konteks pembahasan anggota MRP, agar disampaikan melalui jalur dan mekanisme lain. “Jangan di campur-aduk urusan Politik dengan peraturan maupun perundang-undangan. Kami datang dari Jayapura untuk melakukan sosialisasi terkait pemilihan anggota MRP, dan diluar dari pada konteks itu, kami tolak untuk berkomentar,” ujar Frans Reumi.
Sementara itu, tim fasilitator sosialisasi, Jimmy Murafer, ketika dikonfirmasi usai kegiatan mengatakan, pihak fasilitator tidak akan terpengaruh terkait dengan penolakan pemilihan MRP dari Dewan adat maupun unsur perempuan dari wilayah IV Biak dan Supiori itu. “ Tahapan tetap jalan. Hingga Tiga hari kedepan, panitia akan membuka pendaftaran bagi lembaga/ kelompok untuk segera diferifikasi hingga pelantikan anggota MRp pada 12 Pebruari 2011 mendatang.’’
Jika ada yang mendaftarkan lembaganya, maka tentunya akan diferifikasi. Dan jika tidak ada yang mengajukan, berarti tidak ada yang diferifikasi. Saya kira itu intinya,” kata Jimmy, yang seharinya menjabat sebagai kepala bidang pengkajian masalah strategis pada Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlidungan masyarakat provinsi Papua.[wp]
13.17 | 0 komentar

Rakyat Papua Bersatu Demo Tolak MRP


Rabu, 26 January 2011 00:00
TIMIKA - Masyarakat Adat yang tergabung dari Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) dan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko), perwakilan Gereja dan utusan organisasi perampuan menggelar aksi demo di Kantor DPRD Mimika, Selasa [25/1] bersatu menolak MRP. Aksi demo masyarakat adat menolak sekaligus meminta panitia tidak melanjutkan rencana pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua [MRP], yang akan mewakili Kabupaten Mimika yang akan dipilih di Hotel Grand Tembaga Timika, Hari ini, Rabu [26/1].
Dalam orasi-orasi peserta demo menilai pelaksanaan UU Otsus No 21 Tahun 2001 telah gagal, bahkan sejak beberapa tahun lalu masyarakat Papua telah mengembalikan UU tersebut kepada pemerintah pusat. Masyarakat Papua juga menilai selama 6 tahun bekerja MRP itu ibarat patung karena tidak ada hasil kerja yang jelas. Anggota MRP periode pertama gagal melaksanakan amanat rakyat Papua, paling tepat lembaga ini dibubarkan saja, dan tidak perlu ada lagi seiring dengan dikembalikannya UU Otsus oleh masyarakat Papua kepada Pemerintah Pusat.
Menurut Sekretaris KNPB wilayah Timika, yang juga koordinator aksi demo, Vinsen Uniyoma mengatakan demo yang digelar di daerah-daerah telah mendapat persetujuan dari lembaga gereja, lembaga adat, dan organisasi perampuan. Satu kata, bagi masyarakat tolak pemilihan anggota MRP, dan hentikan kegiatan pemilihan yang berlangsung di daerah-daerah. Demo ini sebagai bentuk pernyataan sikap bersama seluruh masyarakat Papua untuk menolak rencana pemerintah membentuk keanggotaan lembaga representative cultural masyarakat Papua ini.
“ Masyarakat Papua saat ini beranggapan MRP tidak ada, karena sejak tahun 2006-2007 silam masyarakat Papua telah mengembalikan UU Otsus kepada pempus. Dasar pengembalian UU ini, karena masyarakat menilai pelaksanaan UU Otsus gagal, karena peruntukannya tidak jelas. Kurang lebih 10 tahun Otsus jalan, tidak ada hasil atau bekas pembangunan yang dirasakan masyarakat. Artinya dengan Otsus ada bukti pembangunan yang menjadi kebanggaan masyarakat Papua dan itu tidak dilakukan pemerintah. Masyarakat hanya minta tolong pertanggungjawabkan dana Otsus kepada masyarakat Papua,” terang Uniyoma.
Selain itdak berbekas, dia menilai Otsus sepertinya tidak bertuan, dan yang lebih dominan hanya karena kepentingan para elite di tingkat pemerintah dan politisi yang memanfaatkan fasilitas Otsus. Masyarakat Mimika dengan tegas menolak, tidak ada kegiatan pemilihan dan tidak mengakoodir wakil dari mimika untuk duduk di MRP. Kalaupun dipaksakan ada pemiliha, berarti itu bukan wakil yang diajukan sesuai dengan aspirasi masyarakat adat. Sebagai lembaga representative culture masyarakat Papua yang terdiri dari tiga kategori yaitu usur adat, unsure agama, dan unsure perampuan, mestinya ketiga lembaga harus duduk sama-sama dengan masyarakat untuk mengusulkan siapa wakil merekayang paling tepat. Jangan main tunjuk dan merekomendasikan orang sesturut keinginan sendiri itu yang salah.
Sedangkan tokoh Pemuda lainnya, Dekky Tenauye, SE dengan nada sedikit emosional, menegaskan Otsus gagal, karena tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat asli Papua. Bila Otsus dinilai gagal, maka pemerintah provinsi jangan bicara untuk pembentukan keanggotaan MRP. Masyarakat Papua dari tahun ketahun selalu bergumul, berdiskusi tentang Otsus, tetapi jawaban selalu tidak tepat, tidak pas, karena masing-masing elite mempunyai pandangan sendiri-sendiri tentang Otsus. Tetapi sesungguhnya Otsus untuk masyarakat asli Papua, berarti program dan dana untuk masyarakat asli Papua bukan untuk kelompok tertentu, dan bukan untuk kepentingan pemerintah dan pejabat daerah. “ Kami masyarakat Papua sudah kembalikan Otsus dan jangan lagi ada kegiatan sosialisasi atau pemilihan anggota MRP, karena itu akan membuat masalah tambah panjang di Papua. Pemerintah Provinsi harus jujur untuk mempertanggungjawabkan program dan dana Otsus yangsudah dikucurkan sejak tahun 2001 hingga 2010 sudah berapa triliun rupiah. Masyarakat Papua dan Papua Barat mau dengar pertanggungjawaba dari gubernur dan DPRP Provinsi Papua,” terang Dekky.
Selain itu mewakili denominasi gereja-gereja di Kabupaten Mimika, mengatakan Sinode gereja-Gereja se Papua telah mengeluarkan panduan bersama dengan thema stop pemilihan Anggota MRP. Dalam seruannya gereja-gereja tetap pada tujuan perjuangannya menyerukan seruan kenabian, untuk kesejahteraan, kedamaian, dan kebesaran umat Allah di Tanah Papua. Gereja juga mendorong agar semua elemen masyarakat dan pemerintah dapat menjalankan 11 rekomendasi hasil musyawarah besar (mubes) MRP 2010 lalu, serta tetap menjaga kekristenan di tanah Papua.
Untuk itu, gereja dengan komitmen menyuarakan seruan kenabian tetap meminta pemerintah, DPRP, wakil masyarakat untuk tidak menindaklanjuti proses pemilihan anggota MRP. Seiring dengan perjalanan waktu, Otsus gagal, MRP gagal sehingga tidak perlu pemilihan anggota MRP untuk periode kedua 2011-2016 mendatang.
Atas nama gereja-gereja, Dia juga menyoroti soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM), soal pembunuhan beberapa aktifis masyarakat Papua yang mati dibunuh, beberapa aktifis yang disembuyikan dan dipenjara. Ini bagian dari kegagalan pelaksanaan Otsus di Papua, karena ada sejumlah hak dari pelaksanaan Otsus yang hingga saat ini tidak dikaui oleh pemerintah pusat. Seperti Perdasi dan Perdasus yang sudah dibuat oleh DPRP dan Pemerintah Provinsi Papua, hingga saat ini tidak mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.
Sementara, perwakilan Lemasa, Deikme mengatakan masyarakat adat Amungme belum pernah duduk sama-sama berbicara mengenai MRP yang akan diusung oleh Lemasa. Masyarakat Adat Amungme, dengan tegas menolak pemilihan MRP dan panitia tidak perlu melanjutkan kegiatan pemilihan pada tanggal 26 Januari 2011 di Timika. Masyarakat Timika sudah satu pikiran tidak akan mengirim wakil mereka untuk dudu kdi MRP Jayapura.
Sementara Anggota DPRD Mimika yang menerima masyarakat, Alpius Edoway bersama kedua rekannya Fabianus Jemadu, SH, dan Muslihudin, SPd.I, mengatakan DPRD memberikan apresiasi kepada masyarakat yang menggelar demo dengan damai dan menyampaikan aspirasi penolakan dengan pikiran jernih, tenang tanpa emosional. DPRD berterimakasih dan menerima aspirasi yang disampaikan masyarakat dan menindaklanjuti kepada pimpinan dewan.
“Mohon maaf saat ini pimpinan dan anggota dewan sedang berada di Jayapura untuk mengurus anggaran tahun 2011. Hari ini yang bisa menerima bapak/ibu pendemo hanya kami bertiga tapi itu bukan mengurangi kehadiran bapak ibu, karena kami tetap menerima aspirasi kemudian akan melanjutkannya ke pimpinan dewan,” kata Alpius.
Usai menyampaikan, penjelasan perwakilan masyarakat menerahkan aspirasi tertulis yang diterima anggota DPRD Mimika alpius Edoway, yang selanjutnya diserahkan kepada Sekretaris DPRD untuk ditindaklanjuti.[wp]
13.10 | 0 komentar

Sejumlah Tokoh Gereja Ngotot Pemilihan MRP Distop

Written By Unknown on Selasa, 25 Januari 2011 | 03.54

Senin, 24 Januari 2011 15:38


Ketua Sinode KINGMI di Tanah Papua Pdt Dr Benny Giay MA didampingi Koordinator FORDEM Papua Salmon M Yumame menyampaikan keterangan pers terkait rencana aksi long march damai di Kantor Sinode KINGMI di Tanah Papua, Jayapura, Senin (24/1).

JAYAPURA—Sejumlah tokoh Gereja di Tanah Papua tetap ‘ngotot’ agar pemilihan anggota MRP yang sementara berlangsung di sejumlah daerah dihentikan. Sebagai bentuk ‘kengototan’ tersebut
pihaknya merencanakan menggelar aksi longmarch damai besok, Rabu (26/1) pukul 10.00 WIT dengan rute Kantor MRP, Skyland, Entrop, Polimak, Kota Jayapura, Kantor DPRP. Demikian disampaikan Ketua Sinode KINGMI di Tanah Papua Pdt Dr Benny Giay MA didampingi wakil dari GKI Salmon M Yumame di Kantor Sinode KINGMI di Tanah Papua, Jayapura, Senin (24/1).   Reaksi ini sebagai tindaklanjuti dari pernyataan pers sejumlah pimpinan gereja sebelumnya yang disampaikan, Pdt Socrates Sofyan Yoman MA didampingi Ketua Sinode KINGMI di Tanah Papua Pdt Dr Benny Giay MA serta Wakil Ketua BP-AM Sinode GKI di Tanah Papua Pdt Drs Elly D Doirebo MSi di Kantor Sinode GKI di Tanah Papua, Jayapura, Jumat (21/1) kemarin. Menurut Pdt DR Benny Giay, titik  kumpul I meliputi Sentani, Genyem, Taja, Lereh berkumpul di Pemakaman Theys Eluay dan menuju Kantor MRP pada pukul 08.30 WIT. Titik kumpul II meliputi Keerom, Kotaraja, Abepura, Jayapura dan sekitarnya berkumpul di Kantor MRP. Lalu pukul 10.00 WIT menuju Jayapura.
Dia menjelaskan, pihaknya mengajak seluruh  Orang Asli Papua bergabung dalam aksi  longmarch damai untuk menghentikan pemilihan MRP dan jawab 11 rekomendasi Musyawarah MRP. Pasalnya, tuntutan tersebut amat penting, sebab DPRP selama ini membisu dan tak menjawab  aspirasi rakyat.
Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu SH juga duduk tanpa menyahut sedikitpun. “Papua tanpa seorang nahkoda dan sedang diterpa badai. Marilah ikut  dalam misi penyelamatan perahu Papua dari amukan badai kekerasan dan kejahatan  yang ditiup dari Jakarta,” katanya.  
Dia menjelaskan, Otsus telah gagal dalam  memberikan perlindungan, keberpihakan pemberdayaan dan kesejahteraan hidup bagi  Orang Asli Papua  di atas tanah leluhurnya, dan karena itu dengan  bulat  hati Rakyat Papua sudah mengembalikan Otsus kepada Pemerintah Indonesia melalui  musyawarah MRP pada 9-10 Juni 2010. Otsus juga membuat Orang Asli Papua termarginalisasi dan miskin  melarat di atas tanah airnya sendiri. Otsus hanya memperkaya kaum pendatang.
Karena itu, lanjutnya, apabila Otsus dipaksakan terus  diberlakukan maka orang asli Papua terancam punah. Maka, pihaknya mengajak seluruh Orang Asli Papua untuk menyuarakan perlawanan terhadap kebohongan dan pelecehan, perampasan terhadap hak-hak dasar Orang Asli Papua. Terutama apa  yang direkayasa  pemerintah pusat melalui radiogram  yang ditandatangani Mendagri Nomor: 188.341/110/SJ tertanggal 13 Januari 2011  tentang definisi dan kategori Orang  Asli Papua  dalam Pemilihan MRP bahwa wakil masyarakat perempuan adalah  penduduk berjenis kelamin perempuan di Provinsi dan wakil masyarakat agama adalah semua pemeluk beragama di Provinsi. Itu berarti radiogram Mendagri ini melecehkan hal politik Orang Asli Papua karena mengijinkan orang non Papua alias pendatang pun bisa menjadi anggota MRP. 
“Suatu penghinaan yang harus kita  lawan. Kebijakan Mendagri sekaligus menunjukkan maksud Jakarta menyingkirkan Orang Asli Papua di atas tanahnya airnya sendiri. Bukankah pemerintah Indonesia yang telah menggagalkan Otsus,” tanyanya. 
Sebagaimana dilaporkan, Surat Mendagri Gamawan Fauzi merevisi Perdasus No 4 Tahun 2010 tentang Pemilihan anggota MRP yang disampaikan  tertulis kepada Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu SH melalui surat No 188.341/110/SJ  tertanggal 13 Januari 2011 menuai reaksi keras  dari pimpinan  Gereja Gereja di Tanah Papua. Pasalnya, perubahan Perdasus No 4 Tahun 2010 bertolak belakang dengan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua antara lain  pembentukan MRP di Papua dan Papua Barat sesuai dengan  Pasal 29 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2004 serta penambahan syarat bagi calon anggota MRP yakni tak pernah terlibat  dalam tindakan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan  Pasal 4 huruf  c Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2004.(mdc/don)

03.54 | 0 komentar

11 Kabupaten di Papua Masuk Zona Merah RawanPangan

Senin, 24 Januari 2011 15:38


JAYAPURA – Munculnya statement mengenai akan terjadinya rawan pangan di tahun 2011 dari Menteri Pertanian cukup membuat masyarakat resah, dan penyebab terbesar terjadinya rawan pangan karena faktor cuaca. Papua sendiri sejak tahun 2009 menjadi sebuah daerah yang menjadi fokus untuk terjadinya rawan panganoleh Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) – Indonesia Partnership Development Framework (UNIPDF, 2010-2015). Menurut data yang dikeluarkan oleh World Food Programme (WFP) pada tahun 2009, dari tahun 2003 sampai dengan 2007 total produksi umbi-umbian di Papua menurun hingga 30%,ini adalah angka penurunan terbesar seindonesia. Walaupun terjadi sedikit peningkatan pada tahun 2008 sebesar 3,8%, dan 6,4% pada tahun 2009, namun demikian Papua masih mengalami defisit makanan pokok.Peta Ketahanan Pangan dan Kerentanan Pangan Indonesia (food security & Vulnerability atlas –FSVA) yang dikeluarkan WFP pada tahun 2009, terungkap bahwa 11 Kabupaten di Papua masuk dalam prioritas 1 dalam hal ketahanan pangan atau 11 daerah tersebut dikatakan rentan terjadi rawan pangan. Bahkan dalam peta tersebut terlihat jelas bahwa dari 17 kabupaten/kota yang ada di Papua, hanya satu daerah yang tergolong aman dari kerawanan pangan, daerah tersebut adalah daerah Kotamadya Jayapura.

Kepala Bidang Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Prov Papua, Ir. Wilhelmina Warwe , ketika dikonnfirmasi mengenai kerawanan pangan di Papua menjelaskan, data yang digunakan dari pusat masih data tahun 2009, hal ini disebabkan akses informasi dari kabupaten sulit disesuaikan dengan indikator yang telah ditetapkan, dan dana dari pusat (APBN) sebagai dana bantuan sosial (Bansos) untuk mengatasi ketika terjadi rawan pangan adalah sebesar Rp. 25.000.000 untuk tiap kabupaten/kota , dirinya juga mengungkapkan bahwa dana untuk ketahanan pangan dalam hal ini untuk mengatasi kerawanan pangan sangat minim baik dari APBN maupun APBD.
Tetapi dirinya mengungkapkan bahwa di setiap kabupaten/kota sudah terbentuk kelompok kerja (Pokja) Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) yang bertugas untuk mengumpulkan menganalisa situasi pangan dan gizi di suatu daerah berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dari pusat serta Pokja ini bertugas menyebarkan informasi situasi pangan dan gizi tersebut sehingga pemerintah daerah dan masyarakat dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya rawan pangan . SKPG juga sebagai Instrumen yang berfungsi untuk mendeteksi terjadinya rawanan pangan di daerah sejak dini.
Pada tahun 2011 ini, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua, akan mengadakanpelatihan penyusunan FSVA dan SKPG untuk tingkat provinsi dengan mengundang seluruh aparat kabupaten/kota yang ada di Papua, pelatihan ini akan menyiapkan aparat di kabupeten/kota untuk dapat menyusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) sampai ke tingkat Distrik. (cr 22/don)
03.39 | 0 komentar

Thaha : Revisi Perdasus = Kejahatan Politik

Senin, 24 Januari 2011 14:51


Jayapura– Menyusul turunnya revisi Mendagri, Gamawan Fauzi terkait Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) No.4 Tahun 2010 tentang Pemilihan Anggota MRP periode 2011-2016,  dimana dalam satu pasalnya menegaskan pembentukan MRP di Papua dan Papua Barat yang secara jelas tidak sesuai dengan amanat UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, menuai reaksi keras dari anggota Dewan Pembina Majelis Muslim Papua (MMP), Thaha Al Hamid.   Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Papua terkait  Perdasus ini sebagai suatu kejahatan politik yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat Papua.  “ Dari pusat minta MRP harus ada di dua Provinsi, sementara pemerintah daerah ngotot arahkan untuk satu Provinsi. Ini luar biasa jahatnya, dan kalau terus dipaksakan untuk tahapan ini tetap berjalan, sangat berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat Papua,” ujar Thaha kepada wartawan di Jayapura ini. Sekjen DPD ini mengatakan,  sebaiknya pelantikan anggota MRP ditunda dulu hingga persoalan Perdasus ini selesai. Sementara keanggotaan MRP yang dahulu diperpanjang. Meskipun, pemerintah Provinsi Papua harus bermuka tebal dihadapan pemerintah pusat. “Kalau harus pelantikan akhir bulan ini, saya rasa itu suatu hal yang mustahil. Harus ada perpanjangan waktu lagi meskipun itu menunjukkan pemerintah daerah tidak punya wibawa, tapi ini konsekuensi yang harus dijalani,” katanya. Sementara itu yang membuatnya tidak habis pikir, mengapa pembuatan Perdasus dilakukan menjelang pergantian keanggotaan MRP sehingga menimbulkan kesan terburu-buru. Padahal banyak kesempatan selama jangka waktu lima tahun lalu untuk membuatnya.  “Seharusnya Perdasus dibuat dari lima tahun lalu, bukan sekarang sudah mau pergantian baru sibuk buat Perdasus, ada apa? Tapi setiap momentum memang bisa dijadikan kesempatan politik,” akunya heran.
Disinggung soal sinyalemen kuat Pemilihan Gubernur Papua mendatang akan melalui DPR Papua, Thaha mengaku sangat setuju. Pasalnya menurut dia, saat ini demokrasi di Negara kita sudah berjalan baik namun sayangnya manajemen demokrasi dan institusi pelaksananya yang lemah. Selain itu, orang yang dipilih secara langsung oleh masyarakat belum tentu memberi jaminan bahwa orang itu baik. “Kita lihat sekarang banyak pelaksana KPU yang di proses hukum, kalau dulu Nabi Yusuf dipenjara dulu baru bisa jadi Menteri, sekarang terbalik jadi Bupati dulu baru dipenjara,” pungkasnya.
Surat Pusat melalui Mendagri Gamawan Fauzi merevisi Perdasus No 4 Tahun 2010 tentang Pemilihan anggota MRP yang disampaikan  tertulis kepada Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu SH melalui surat No 188.341/110/SJ  tertanggal 13 Januari 2011 dengan tembusan masing  masing kepada Presiden, Wapres, Menko Polhukam, Gubernur Papua Barat, Ketua DPRP serta  Ketua DPR Papua Barat. Dalam perubahan Perdasus No 4 Tahun 2010 bertolak belakang dengan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua antara lain  pembentukan MRP di Papua dan Papua Barat sesuai Pasal 29 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2004 serta penambahan syarat bagi calon anggota MRP, yakni tak pernah terlibat  dalam tindakan makar terhadap NKRI sesuai Pasal 4 huruf  c Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2004. (ar/don/03)
03.36 | 0 komentar

Freeport Dapat Penghargaan Penanganan Kemanusiaan



Cetak E-mail
Senin, 24 Januari 2011 14:51

JAYAPURA - Tim Tanggap Darurat atau Emergency Response Team (ERG) PT Freeport Indonesia  (PTFI) menerima penghargaan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia dalam bidang kemanusiaan. Juru Bicara PTFI, Ramdani Sirait melalui telepon selular di Jakarta, Minggu menjelaskan, penghargaan itu diberikan atas dedikasi, kerja keras, dan pengabdian dalam melakukan kegiatan kemanusiaan pada kejadian bencana alam gempa bumi dan tsunami di Mentawai, Gunung Merapi di DIY, dan banjir di Wasior. Penghargaan diserahkan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno di Jakarta  pada Kamis (20/1) lalu. Pada kesempatan itu, hadir  Direktur Jenderal Mineral, Baturabara dan Panas Bumi ESDM, Bambang Setiawan, kepala perwakilan Tim ERG dari perusahaan-perusahan sektor pertambangan di bawah panji-panji ESDM Siaga Bencana, di aula Kementerian ESDM Jakarta.  Sedangkan dari pihak PTFI,  hadir  Wawa Sungkawa (Manager Dept.Hubungan Pemerintah) didampingi Syahrir Muin dari Tim ERG-PTFI. “Menteri ESDM menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Tim ERG ESDM Siaga Bencana yang dengan cepat, tepat dan akurasi tinggi memberikan bantuan kepada yang membutuhkannya di ketiga wilayah yang dilanda bencana tersebut,” ujar  Ramdani Sirait mengutip pernyataan Sekjen ESDM,Waryono Karno.
Sepanjang tahun 2010, PTFI telah berpartisipasi aktif meringankan beban para korban bencana alam di Indonesia dengan mengirimkan Tim Tanggap Darurat ke wilayah-wilayah yang terkena dampak paling parah dari bencana tersebut.
Pada  awal bulan Oktober 2010, PTFI mengirimkan tim Tim Tanggap Darurat ke daerah bencana di Wasior, Kab.Teluk Wondama, Papua Barat, yang dilanda banjir bandang yang melumpuhkan sebagian besar infrastruktur yang ada dan menelan banyak korban jiwa.
Operasi evakuasi korban banjir di Wasior dilaksanakan di bawah koordinasi Posko Induk Penanggulanggan Bencana Wasior, yang dikelola oleh pemerintah kabupaten setempat.
Pada  penghujung Oktober 2010, PTFI mengirimkan Tim Tanggap Darurat ke daerah bencana di Mentawai, Sumatera Barat yang dilanda gempa bumi berkekuatan 7,2 SR serta tsunami yang memakan korban jiwa dan menghancurkan berbagai infrastruktur di wilayah kepulauan tersebut.
Dibawah koordinasi Badan SAR Nasional (Basarnas) di Mentawai, tim melakukan beberapa tugas penyisiran korban di lokasi-lokasi yang tersebar di Mentawai serta membantu  pendistribusian bantuan logistik ke titik-titik pengungsian.
Pada saat yang hampir bersamaan, lanjut Ramdani,  pada  November 2010, PTFI mengirimkan Tim Tanggap Darurat yang beranggotakan satu tim pemadam pembakaran sukarelawan yang telah dilatih secara khusus dari Mill Volunteer Fire Brigade ke area bencana Gunung Merapi di Jogjakarta untuk mendukung kegiatan evakuasi yang berjalan pada saat itu.
Sejalan dengan kebijakan sosial  PT Freeport Indonesia, tim Tanggap Darurat/Emergency Response Team (ERG)-PTFI, dengan beranggotakan personil terlatih serta dukungan peralatan memadai di bawah koordinasi Departemen Keselamatan Kerja perusahaan, kerap berkontribusi bersama Pemerintah, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk meringankan beban para korban bencana alam di Indonesia. (*/mdc/don/03)
03.33 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman