Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Kapolda Baru Diminta Tuntaskan Sejumlah Kasus di Papua

Written By Unknown on Jumat, 15 Juli 2011 | 03.53

Kamis, 14 Juli 2011

Kepala kepolisian daerah (Kapolda) Papua baru, Inspektur Jenderal Polisi Bigman Lumban Tobing diminta membuka ruang bagi warga. Kapolda juga diminta mengungkap pelaku dibalik segudang kasus yang terjadi di Papua.

Demikian disampaikan Ketua Jaringan Advokasi Hukum dan HAM Pegunungan Tengah, Theo Hesegem saat dikonfirmasi di Abepura, Kamis (14/7) malam. Menurutnya, hingga kini sejumlah kasus di Papua terkesan tertutup. Ruang bagi masyarakat untuk mengetahuinya juga demikian.

Selain itu, lanjut Theo, sejumlah pelaku dibalik kekerasan yang selama ini terjadi tak terungkap. Banyak kasus tenggelam dimakan waktu. Kepolisian juga terkesan tidak mampu menuntaskan segudang gejolak itu. “Kalau begini kan, polisi bisa dikatakan tidak berhasil. Mereka juga boleh dibilang tidak mampu,” ujar Theo.

Seharusnya, menurut dia, semua kasus harus diusut hingga tuntas. Lantaran, kepolisian sudah dilatih dan dilengkapi peralatan untuk menyelidiki sebuah kejadian. Tak hanya itu, Kapolda baru ini juga diminta menyelesaikan pekerjaa rumah (PR) yang ditinggalkan Kapolda lama, Irjen. Pol. Bekto Suprapto. Terutama, masalah pelanggran Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih menimpa Papua.

Sementara itu, koordinator divisi Demokrasi Aliansi Demokrasi Untuk Papua di Jayapura, Cory Silpa mengatakan, Kapolda baru diharapkan membuat perubahan besar dalam menangani sejumlah masalah yang selama ini masih terjadi di kawasan paling timur Indonesia ini. “Kapolda baru harus selesaikan PR yang belum terungkap. Masalah-masalah yang belum selesai harus diusut,” tandasnya.

Cory menuturkan, proses terhadap masalah harus cepat diselesaikan. Dengan demikian, ada efek jera bagi masyarakat. “Memang harus ada proses tapi cepat. Proses itu jangan terlalu lama,” cetusnya. Cory berharap, kedepan, dengan pimpinan baru polisi ini, aparat kepolisian diharapkan bekerja secara profesional. “Polisi harus mainkan peranannya. Jelas masyarakat ingin ada gambaran nyata tentang sebuah kasus,” imbuhnya.

Dia menambahkan, dengan begitu, ada kenyataan bahwa korps berbaju cokelat ini sedang bekerja. Namun, sebaliknya, jika setumpuk kasus-kasus itu tak terungkap, maka masyarakat akan menilai tak ada tindakan nyata dari polisi dalam mengungkap kasus. (wp)
03.53 | 0 komentar

PH Sesali Penundaan Sidang Makar di Wamena

Kamis, 14 Juli 2011

Pengacara hukum (PH) sembilan warga, terdakwa kasus makar di Wamena, Papua, menyesali penundaan persidangan tersebut oleh Jaksa. Penundaan tersebut juga dinilai menghambat proses peradilan. Tapi juga, waktu, tenaga dan biaya. 

Hal ini dikemukakan Cory Silpa, salah satu pegacara hukum 9 warga itu saat dikonfirmasi di Abepura, Kamis (14/7) sore. Menurutnya, sidang terakhir digelar pada Kamis, 24 Juni 2011. Seharusnya sidang selanjutnya pada Kamis lalu. Namun, hingga kini, sidang lanjutan belum terlaksana. “Sudah dua kali penundaan sidang,” ujar Cory.

Lanjut Cory, dipersidangan terakhir itu, jaksa meminta waktu untuk pembacaan tuntutan. Jaksa meminta hakim memberi waktu  selama dua minggu, untuk menyiapkan tunutan untuk dibacakan. Tapi, waktu yang ditentukan sudah lewat. Setelah konfirmasi, Jaksa mengatakan ketua masih berada di Jakarta. “Mereka bilang  kami tunggu informasi balik. Tapi, sampai sekarang, kami belum dapat penetapan sidang selanjutnya,” imbuhnya.

Bagi dia, tindakan itu tak adil. Ada proses penghambatan dalam hal ini waktu, biaya, dan tenaga. Seharusnya jaksa mempercepat persidangan tersebut. “Kalau ditunda maka harus ada kejelasan. Harus ada alasan, kenapa penundaan terus menerus,” paparnya.

Cory menambahkan, sebagai pengacara hukum, mereka tak mau kliennya ditelantarkan. Meskipun, sementara ini diproses hukum. “Kami tidak mau klien kami ditelantarkan. Mereka kan masih diduga. Memang betul mereka sementara diproses secara hukum. Tapi, proses peradilan itu harus ada. Mekanisme harus terbuka. Hak-hak tersangka harus dihargai,” cetusnya.

Sembilan warga itu ditunding melakukan makar lantaran membawa bendera bintang kejora, berbaju loreng dan membawa alat tajam  ketika dalam perjalan ke rumah salah satu kerabantnya, ketika itu. Mereka adalah Obed Kasay, Temboga Iluga, Yahya Kilunga, Wombi Tabuni, Wiki Meage, Pdt. Ali Jikwa dan Alias Alikwenda. Peralatan yang diboyong itu diketahui saat dicegat oleh anggota tentara di perjalanan. (wp)
03.50 | 0 komentar

Komunike Bersama Tolak Pengesahan RUU Intelejen

Kami, 14 Juli 2011

Pembahasan RUU Intelijen saat ini sedang berlangsung di parlemen. Penentuan akan disahkan atau ditunda pengesahan RUU Intelijen kemungkinan akan dilakukan pada rapat paripurna penutupan masa sidang DPR, Jumat 15 Juli 2011, besok.

Melalui press realess yang diterima dari Lembaga The Indonesian Human Right Monitor yang juga tergabung dalam komunike bersama, Kamis (14/7) menyebut,  pengaturan intelijen negara dalam undang-undang memang dibutuhkan dengan tujuan menjadi pintu masuk dalam melakukan reformasi intelijen dan dalam memastikan akuntabilitas intelijen. Namun, pengaturan intelijen melalui undang-undang intelijen tidak boleh dilakukan sembarangan dan harus menjadikan prinsip dan tata nilai demokrasi dan HAM sebagai pijakan dasar di dalamnya.

RUU Intelijen yang dibahas oleh pemerintah dan parlemen saat ini mengandung banyak kelemahan dan permasalahan substansial yang dapat mengancam penegakan hukum dan HAM, serta demokrasi itu sendiri. Setidaknya ada lebih dari 30 pasal bermasalah dalam RUU Intelijen. Apalagi pembahasan RUU Intelijen yang dilakukan oleh Panja RUU Intelijen parlemen belakangan ini justru terkesan tertutup.

Imparsial juga menyebutkan, sikap pemerintah dan sebagian besar anggota parlemen, yang tetap bersikukuh memberikan kewenangan pemeriksaan intensif alias penangkapan kepada Badan Intelijen Negara (BIN), yang di dalamnya juga terdapat intelijen militer (Pasal 15 ayat (1) dan 3 DIM Pemerintah atas RUU Intelijen), tentu akan merusak mekanisme criminal justice system dan dapat membajak sistem penegakan hukum. Pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen tersebut sama saja melegalisasi kewenangan penculikan di dalam undang-undang intelijen, mengingat kerja intelijen yang rahasia dan tertutup. 

Mereka menegaskan, kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum, diantaranya Polisi, Jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya, seperti KPK, sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan lainnya. Dalam konteks itu, badan  intelijen negara maupun intelijen militer bukanlah bagian dari aparat penegak hukum, sehingga adalah salah dan keliru apabila mereka diberikan kewenangan menangkap.

Pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen, menurut komunike, adalah langkah mundur dalam proses reformasi sektor keamanan. Pemberian kewenangan itu juga akan mengembalikan format dan posisi lembaga intelijen seperti pada masa orde baru dimana lembaga intelijen negara maupun lembaga intelijen militer dapat melakukan kerja-kerja untuk penangkapan yang pada praktiknya di masa lalu telah berakibat pada terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM.

Selain itu, terdapatnya Pasal dalam RUU Intelijen yang mengatur bahwa intelijen memiliki kewenangan dan tugas untuk melakukan pengamanan dan penyelidikan, tanpa ada penjelasan yang lebih lanjut dan rinci tentang peristilahan itu, sehingga jelas ketentuan ini bersifat karet dan multitafsir. Hal itu dapat membuka ruang tafsir sepihak bagi penguasa maupun aparat intelijen, bahwa kewenangan itu juga termasuk kewenangan menangkap dan kewenangan upaya paksa lainnya. Hal itu tak jauh bedanya dengan istilah pemeriksaan intensif yang didesakkan oleh pemerintah, untuk di masukkan dalam undang-undang Intelijen. Dengan demikian, keberadaan pasal itu juga akan menimbulkan persoalan tersendiri bagi proses penegakan hukum.

“Kami menilai penolakan mekanisme penyadapan melalui ijin pengadilan oleh intelijen sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 31 RUU Intelijen, telah mengancam hak privasi warganegara dan rentan untuk disalahgunakan oleh kekuasaan (abuse of power), kata direktur eksekutif Imparsial Jakarta, Poengky Indarti. Menurut dia, mengacu kepada keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2011 maka mekanisme penyadapan oleh lembaga negara harus diatur melalui undang-undang tentang penyadapan secara tersendiri.

Lanjut dia, pengaturan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 jo Pasal 39 RUU Intelijen juga masih melahirkan banyak tafsir, yang potensial mengancam kebebasan informasi dan kebebasan pers. RUU Intelijen juga belum mengatur tentang perlindungan hak-hak korban, padahal pengalaman di masa lalu, praktik intelijen hitam, kerap menimbulkan banyak korban, yang tak mendapat rehabilitasi apapun.

Catatan lain dalam rilis itu menyatakan, roh dan jiwa RUU Intelijen saat ini lebih meletakkan posisi intelijen sebagai alat kepentingan penguasa (pemerintah) dan bukan alat negara yang mengabdikan dirinya untuk  kepentingan rakyat. RUU Intelijen juga tidak selaras dengan dengan norma-norma legal konstitusi sehingga berpotensi berbenturan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. RUU Intelijen jauh dari harapan yang seharusnya berlandaskan kepada norma hukum dan Hak Asasi Manusia tetapi malah berpeluang menabrak rambu-rambu Hak Asasi Manusia.

Masih terkait dengan reformasi sektor keamanan, kami juga menilai bahwa RUU Keamanan nasional yang saat ini juga sedang dibahas di DPR, materinya setali tiga uang dengan RUU Intelijen, sebagaimana terlihat dari pemberian kuasa khusus kepada Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI untuk melakukan pemeriksaan, penangkapan dan penyadapan (penjelasan Pasal 54 huruf e jo pasal 20).

Penjelasan tentang Pasal 17 ayat 3 dan 4 dalam RUU Keamanan Nasional tentang ancaman aktual dan potensial sebagai ancaman keamanan nasional bersifat multitafsir dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), mengingat penentuan ancaman aktual dan potensial itu ditetapkan secara sepihak oleh Presiden melalui keputusan Presiden (Pasal 17 ayat (4)). Dengan demikian Presiden dapat menentukan secara sepihak semua hal yang menurutnya mengancam kekuasaannya sebagai ancaman yang potensial dan aktual yang mengancam keamanan nasional. “Itu artinya, bisa saja kelompok yang kritis terhadap negara, aksi mahasiswa, aksi buruh, aksi petani, pers yang kritis, dll dapat dianggap sebagai ancaman aktual dan potensial oleh presiden,” ujar salah anggota komunike.

Data lain dalam siaran pers itu menyebut, lebih dari itu penjelasan tentang bentuk ancaman tidak bersenjata dalam penjelasan Pasal 17 yang mengkategorikan pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, ideologi, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi, kebodohan, ketidakadilan,  kemiskinan, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi dll sebagai bentuk ancaman keamanan nasional bersifat multitafsir, karet dan dapat mengancam kebebasan dan demokrasi. Kurang lebih terdapat 20 Pasal bermasalah yang terdapat dalam RUU Keamanan nasional.

Bertolak dari itu, komike bersama mendesak dua hal kepada pemerintah Jakarta. Pertama, Kepada DPR untuk menunda pengesahan RUU Intelijen dalam pekan ini. Sudah seharusnya DPR dan pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang lebih luas kepada masyarakat sambil secara bersamaan mengakomodasi masukan dan pandangan masyarakat itu dalam kerangka penyempurnaan draft RUU intelijen. Dengan demikian, undang-undang intelijen benar-benar dapat menjadi pintu masuk dalam melakukan reformasi intelijen.

Dua, kepada DPR dan pemerintah untuk merombak total RUU Keamanan Nasional mengingat masih terdapat permasalahan substansial yang dapat mengancam kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan demokrasi.(wp)
03.47 | 0 komentar

TNI Angkatan Udara Jayapura Kesulitan Mendapat Putra Asli Papua

Kamis 14 juli 2011

Pangkalan Udara Jayapura mengaku kesulitan mendapatkan putra asli Papua untuk dididik sebagai tentara angkatan udara.

Komandan Lanud Jayapura, Andi Heru mengatakan setiap tahunnya jumlah putra asli Papua yang mendaftar ke Lanud Jayapura menurun. Tahun ini, hanya ada 30 putra asli Papua yang mendaftar di Lanud Jayapura. Rata-rata putra asli Papua gugur dalam tes kesehatan yang dilakukan TNI AU.

“Ya sekarang animonya kecil. Mungkin terlalu tinggi persyaratan yang dibuat, sehingga tuntutannya tinggi akhirnya orang dikiranya susah masuk kan gitu, padahal kan belum dicoba,” kata Andi saat dikonfirmasi di Jayapura, belum lama ini.   

Andi menuturkan, saat ini tak ada satu orang pun yang berpangkat perwira di Lanud Jayapura. Sementara ada lebih dari 20 prajurit berpangkat tantama dan bintara di Pangkalan Udara tersebut. “Sampia sekarang belum ada putra asli Papua yang berpangkat perwira di Lanud,” tandasnya.(wp)
03.44 | 0 komentar

Jaringan Damai Papua Menegaskan Bahwa Posisinya Di ' Tengah - Tengah ?'

Kamis, 14 juli 2011

Jaringan Damai Papua(JDP) baru saja menyelenggarakan Konferensi Perdamaian tanah Papua (KPP) tanggal 5,6 dan 7 Juli 2011.  KPP sempat mengalami penundaan selama 2 kali dari yang direncanakan akhir Mei dan pertengahan Juni 2011. Konferensi ini diharapkan menghasilkan rumusan mengenai  Permasalahan, konsep, ciri dan indikator Papua tanah Damai. Setiap harinya Konferensi tidak kurang dihadiri 600-800 orang terdiri dari sekitar 200 peserta yang datang dari wilayah – wilayah se Papua. Mereka terutama yang telah mengikuti Konsultasi Publik Dialog Jakarta Papua JDP di 19 kabupaten kota sebelumnya dengan komposisi perwakilan adat, perempuan, agama dan pemuda.

Selain itu dihadiri oleh para undangan dan pengamat yang berasal dari komponen paguyuban, akademisi, mahasiswa, lembaga keagamaan, pebisnis, investor serta jurnalis, petugas medis dan keamanan dari Dewan Adat Papua. Ada juga pengamat yang datang dari luar Papua, terlihat Letjen(Purn)Bambang Darmono, Prof Ikrar Nusa Bhakti, Prof.Indria Samego, Dr.Elga Sarpaung dan Dr.Richard Chauvel dari Victoria University, para peneliti dan DPD RI dengan setia mengikuti setiap sesi. Pihak DPRP dan DPR PB juga hadir. Secara khusus panitia juga memberikan undangan sebagai pengamat dari pihak KODAM XVII Cenderawasih dan Polda Papua.

Sebelum melaksanakan KPP, panitia yang semuanya merupakan anggota JDP telah melakukan berbagai persiapan. Meski awalnya terasa sulit terutama untuk melakukan komunikasi dengan pihak pemerintah terutama pemerintah daerah. Namun akhirnya panitia bertemu dengan Pangdam, Kapolda dan Gubernur.
Hal yang paling menarik adalah dengan kehadiran Menkopolhukam RI yang datang secara khusus sebagai keynote speaker pada pembukaan KPP. Dalam undangan JDP menyebutkan bahwa keynote speakernya adalah wakil presiden RI,”kita tahu,wapres yang diberikan tugas khusus mengenai masalah Papua,entah siapa yang mau ditunjuk Wapres,yang penting mewakili pemerintah,’ demikian penjelasan Koordinator JDP,Pastor Dr. Neles Tebay,Pr. Beberapa “friends of dialogue” demikian Dr. Muridan Satrio Widjojo ,koordinator JDP Jakarta menyebut orang – orang di Jakarta yang turut mendukung dialog, nampaknya turut menyakinkan pemerintah melalui Menkopolhukam untuk menghadiri KPP.

Dialog diawali dengan ibadah singkat, tidak ada laporan dari Panitia, kedua koordinator JDP : Pator Dr.Neles Tebay,Pr dan Dr.Muridan Satrio Widjojo hadir di mimbar, menyampaikan ucapan terima kasih dan maksud diselenggarakannya KPP ,kemudian membuka KPP dengan memukul tifa. Setelah itu, Menkopolhukam menyampaikan pidatonya. Kemudian Gubernur,Pangdam dan Kapolda menyampaikan konsep Papua tanah Damai dalam perspektif pemerintah daerah.Sesi selanjutnya pandangan Papua tanah damai dalam perspektif agama dan budaya. Sesi hari pertama, diakhiri dengan presentasi JDP mengenai hasil konsultasi publik yang telah dilakukan baik di kalangan papua pada 19 wilayah maupun untuk kalangan komunitas strategis(pendatang) di 6 wilayah.

Kehadiran Menkopolhukam RI, gubernur, pangdam dan kapolda di forum rakyat papua seperti di KPP merupakan moment yang sangat langka sebab dibanyak peristiwa yang melibatkan orang Papua,  para petinggi dari Jakarta maupun Papua seringkali menyampaikan alasan untuk tidak hadir. Maka dibagian ini, JDP telah melakukan satu langkah maju untuk membangun komunikasi diantara berbagai pihak. ”Ketika Menkopolhukam berpidato maupun penjabat pemerintah daerah, peserta mendengarkan dengan tenang, tidak ada interupsi ataupun teriakan -teriakan, semua berlangsung dengan baik,ini suatu langkah baik,’ ujar Dr.Muridan Satrio Widjojo. Meski saat pembukaan sempat diwarnai demo di luar gedung dan sebelumnya sempat muncul selebaran- selebaran maupun konferensi pers yang tidak setuju dengan pelaksanaan KPP.
Pada hari kedua, diawali dengan ibadah kemudian pembagian komisi-komisi untuk melakukan pembahasan dalam 6 isu : Komisi I membahas bidang politik, Komisi II bidang ekonomi dan lingkungan,Komisi III bidang Sosial dan Budaya,Komisi IV bidang keamanan,Komisi V bidang Hukum dan HAM dan Komisi VI  mengenai Dialog.Diskusi di komisi difasilitasi oleh anggota JDP baik anggota JDP dari Papua maupun dari Jakarta dan fasilitator lainnya. Berlangsung hingga siang hari hingga pleno hasil komisi pada hari kedua hanya berhasil menyelesaikan presentasi dari 2 Komisi yakni Komisi Politik dan Komisi Keamanan. Sebagian besar peserta menerima presentasi Komisi, di bagian Komisi politik yang mencuat seperti perkiraan banyak orang yakni masalah penyelesaian status politik Papua.Di komisi Keamanan yang mendapat sorotan besar adalah masalah reformasi sektor keamanan.

Setelah dibuka dengan ibadah pada hari ketiga,presentasi komisi dilanjutkan,diawali dengan Komisi III Sosial budaya,Komisi II Ekonomi dan Lingkungan,Komisi V Hukum dan HAM dan Komisi VI Mengenai Dialog.Tidak banyak catatan yang ditambahkan selain mengenai Konservasi hutan, politisasi lembaga adat dan lembaga keagamaan oleh pemerintah. Di bagian hukum dan HAM peserta menyoroti  sikap represif negara serta pentingnya pemerintah meminta maaf atas kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi.

Yang paling menarik adalah ketika Komisi VI mengenai dialog menyampaikan presentasinya.Untuk mendiator individu yang diusulkan adalah Coffi Annan dan Eni Faleomavega, sedangkan sebagai badan Internasional diusulkan PBB, Melanesian Spearhead Group dan Crisis Management International. Kemudian atas nama negara ada Amerika Serikat, Vanuatu, Ghana, Cina, Inggris, Belgia, Swiss dan China dengan ciri-ciri : Netral, Imparsial dan pihak luar (luar Papua dan Luar Indonesia).Untuk fasilitator diusulkan lembaga internasional dan negara  Australia,Afrika Selatan,Inggris,Amerika Serikat,New Zealand dan China. Sedangkan untuk lokasi disebutkan lokasi netral di luar Indonesia.

Juru runding disebut 5 orang dengan menyebutkan 17 kriteria,antara lain : memiliki hati nurani dan ideologi Papua merdeka ;  memahami proses dan sejarah Papua,berasal dari salah satu organisasi politik perlawanan rakyat bangsa Papua dan atau individu yang direkomendasikan oleh organisasi tersebut ; diterima oleh sebagian besar organisasi politik perlawanan Papua Barat dan rakyat bangsa Papua barat ; memiliki jiwa nasionalisme Papua ; memiliki integritas dan loyalitas terhadap upaya-upaya rekonsiliasai dan konsolidasi revolusi Papua Barat ; mampu dan bersedia bekerjasama dalam tim negosiasi Papua Barat dan tim juru runding terdiri atas laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang seimbang.Kriteria lainnya adalah juru runding bukan pemimpin tapi mendapat mandat dari pempimpin.

Selanjutnya pada Rekomendasi Komisi VI menyebutkan 1).Forum atau Komisi ini hanya memberikan input kepada pihak pelaksana konferensi untuk memperkaya. Selanjutnya tim pelaksana konferensi(JDP) akan melakukan assesment yang lebih intensif dalam membuat penentuan dan keputusan.2). Dalam membuat assesment, paling tidak ada pertimbangan tentang keberpihakan kepada rakyat bangsa Papua dan 3).Sebelum pelaksanaan dialog, rakyat Papua dan komponen-komponen perjuangan dihimbau agar segera bersatu memilih pempimpin nasional bangsa Papua.

Beberapa peserta kemudian memberikan tanggapan terhadap hasil kerja Komisi VI.Misalnya seorang perempuan dari pengunungan maju ke depan dengan memegang selembar kertas, perempuan tersebut berniat akan membacakan nama-nama juru runding yang sudah ada dalam genggamannya namun dicegah oleh beberapa orang. Di sisi yang lain ada pertanyaan –pertanyaan substantif yang muncul seperti : Jika juru runding bukan pempimpin, maka siapa pemimpin orang Papua?, Kita perlu melakukan antisipasi jika dialog gagal dan bagaimana kita mendesak pemerintah untuk segera melakukan dialog dengan rakyat Papua?. “itu menjadi pekerjaan kita bersama untuk merumuskannya  di tempat yang lain”, ujar Markus Haluk dari meja pimpinan sidang. Markus Haluk, Anum Siregar, Dominggus Pigay,Pendeta Ketrina Yabansabra dan Haji Ahmad Waros Gebze adalah 5 orang pimpinan sidang KPP.

Agenda selanjutnya adalah Penyampaian hasil kerja dari tim perumus. Hasil ini dirumuskan dari hasil kerja Komisi I,II,III,IV dan V.Rumusan ini diharapkan menawarkan satu langkah maju untuk mulai keluar dari hasil – hasil diskusi yang cenderung berfokus pada mengidentifikasikan masalah saja. Dalam rumusan disampaikan sejumlah indikator Papua tanah damai dari bidang politik, Ekonomi dan Lingkungan,Sosial Budaya,Keamanan dan Hukum dan HAM. Di bidang politik : Orang asli Papua merasa aman,tentram dan sejahtera hidup diatas tanahnya serta mempunyai hubungan yang baik dengan sesama,alamnya dan tuhannya ; Tidak ada lagi stigma separatis; perbedaan pandangan politik tentang status politik papua telah diselesaikan ; orang asli Papua selalu dilibatkan dalam kesepakatan yang berkaitan dengan kepentingan dan masa depan rakyat Papua.

Di bidang ekonomi dan lingkungan antara lain menyebutkan  : Seluruh tanah ulayat oang asli Papua telah dipetakan dengan baik ;pengelolaan SDA dilakukan dengan cara – cara yang memperhatikan kelestarian alam ; menghargai kearifan lokal dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk orang asli Papua ;  perusahaan yang merusak lingkungan dan merugikan pemilik tanah ulayat diberikan sanksi hukum dan administratif  dan Pemberdayaan orang asli Papua diberbagai sektor ekonomi dapat dilakukan melalui regulasi yang berpihak ada orang asli Papua.

Di bidang sosial budaya,antara lain berisi  :Hak – hak dasar orang asli Ppaua termasuk adat istiadat dan norma-norma diakui dan dihargai ; kebijakan yang mengarah pada depopulasi orang asli Papua seperti program KB yang membatasi kelahiran ahrus dihentikan ; kualitas pendidikan terus ditingkatkan dengan kurikulum yang kontekstual serta pengelolaan dana pendidikan yang sesuai sasaran dan tujuan , diskriminasi terhadap penderita HIV dan Aids diakhiri.

Di bidang  keamanan ,antara lain menyebutkan : Aparat keamanan dalam menjalankan tugasnya secara profesional dan menghormati HAM demi menjamin rasa aman bagi orang asli Papua ; pos-pos militer hanya didirikan di daerah perbatasan antara negara yang bukan merupakan pemukiman penduduk ; pengurangan pasukan non organik TNI dan Polri di seluruh tanah Papua ;Operasi intelejen yang intimidatif dan tidak memberikan rasa aman dihentikan ; TNI dan POLRI dilarang berbisnis dan berpolitik serta diberikan sanksi hukum yang tegas bagi yang melanggar  dan pelarangan aparat keamanan yang bekerja sebagai ajudan atau tenaga keamanan bagi pejabat sipil.

Di bidang Hukum dan HAM, antara lain menyebutkan : Orang asli Papua bebas berekspresi,berpendapat dan berkumpul ; kebijakan yang menghambat kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul sudah diakhiri , kekerasan negara terhadap orang asliPapua termasuk perempuan dan anak sudah diakhiri ; pelaku kekerasan negara diadili dan dihukum sesuai dengan rasa keadilan orang asli Papua dan korban dan  pengadilan HAM didirikan di Papua.

Setelah penyampaian Indikator Papua Tanah Damai,acara dilanjutkan dengan pembacaaan deklarasi yang dilakukan oleh koordinator JDP di Papua ,Dr.Pastor Neles Tebay yang didampingi oleh koordinator JDP Jakarta Dr. Muridan Satrio Widjojo  dan pimpinan sidang.
Reaksi berbagai pihak terhadap Deklarasi tersebut sangat beragam : Mengejutkan ; seperti per yang melonjak tinggi; diskriminatif ; berbeda dengan kampanye JDP sebelumnya dan ada juga yang mengatakan hal itu biasa saja dan sudah dapat diduga sebelumnya hanya ada beberapa yang sepertinya tidak taktis dan lain sebagainya. Sesungguhnya mengejutkan, sebab pertama sebagai suatu deklarasi terlalu diisi dengan hal – hal tehnis yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari hasil  komisi dan menjadi bagian lain dari laporan pelaksanaan kegiatan.

Kedua, terasa aneh sebab deklarasi tersebut tidak ditandatangani oleh pimpinan sidang, koordinator JDP ataupun bagian lain dari pelaksana KPP. Bahkan yang menandatangi seolah orang-orang tertentu yang sudah dipilih. Majelis Muslim Papua (MMP) meski organisasinya disebutkan dalam Deklarasi tersebut, menyatakan tidak turut di dalam Deklarasi. Timbul pertanyaan sebenarnya siapa pemilik deklarasi tersebut? Sebab Deklarasi semestinya mengakomodir pandangan berbagai pihak yang merupakan peserta KPP dan dilakukan secara terbuka.

Ketiga, ada beberapa kriteria dari Juru runding yang kesannya tidak taktis apalagi dengan secara tegas menyebutkan 5 orang sebagai juru runding.Jika saja isi Deklarasi hanya sampai pada kriteria juru runding tanpa menyebut nama – nama hal ini akan menjadi ruang konsolidasi dan refleksi tajam dari berbagai komponen faksi di Papua untuk saling membaca dan menentukan posisi dan kesediaan diantara mereka. Akan tetapi dengan menyebut 5 nama, dikhawatirkan akan memunculkan reaksi negatif dari faksi-faksi atau tokoh Papua lainnya. Di bagian lain, ada pertanyaan apakah 5 orang yang disebutkan itu memang sudah menyetujui sebelumnya?.Setuju bahwa posisi mereka hanya sebagai Juru runding dan bukan pemimpin?.Apakah  amanat ini dapat dijalankan secara tepat dan aman diantara mereka? sementara kita tidak tahu kapan dialog dilakukan?.

Keempat, fungsi JDP yang selama ini sebagai fasilitator kemudian dipertanyakan. Bukankah selama ini JDP menyebut dirinya sebagai ‘ditengah-tengah’ dan hanya bertugas ‘buka kebun’, membangun pemahaman dan dukungan mengenai tawaran konsep dialog Jakarta Papua. JDP tidak boleh mengeluarkan pandangan dan bertindak yang memberi kesan seolah sebagai penentu hal – hal yang sifatnya subtantif untuk pelaksanaan dialog ataupun membawa pesan pihak –pihak tertentu saja.

”JDP sebagai jembatan untuk berbagai pihak agar dapat membangun komunikasi, sebagai jembatan maka JDP siap untuk diinjak-injak”, penjelasan Dr.Muridan Satrio Widjojo. Menurutnya ini merupakan langkah yang masih sangat awal namun sudah cukup baik karena di forum yang sama pemerintah Indonesia telah menyampaikan pandangannya demikian juga dari rakyat Papua. ”Sekarang semua pihak masih bicara soal posisi, Deklarasi tersebut adalah posisi yang ditunjukan oleh orang Papua, dalam dialog memang diawali dengan bicara posisi setelah itu orang akan bicara kepentingan, selalu ada agenda yang sangat kuat tapi juga ada yang ‘soft’. Pemerintah bicara NKRI harga mati dan Orang Papua akan bicara ‘merdeka’ harga mati, sama-sama harga mati, tapi mari kita cari yang harga hidup”.tambahnya.

Dalam kata sambutan penutupan KPP, Koordinator JDP mengatakan : untuk menemukan jalan keluar dari persoalan di papua ada 5 kelompok  yang harus dilibatkan yakni Orang Papua di Indonesia ; Penduduk Papua di tanah Papua(rakyat, pemerintah dan swasta) ; Orang Papua yang hidup di luar negeri , Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka(TPN/OPM) dan Pemerintah Pusat di Jakarta.Ke lima kelompok ini mesti terlibat dan dilibatkan hanya dengan melibatkan lima kelompok ini maka perjuangan Papua Tanah damai akan menjadi perjuangan bersama.

Maka dengan penjelasan tersebut JDP harus tetap berjalan sesuai komitmen awalnya, membuka ruang untuk memfasilitasi berbagai pihak agar tidak muncul kecurigaan terhadap JDP bahwa JDP hanya berdiri mewakili kepentingan pihak tertentu. Jika Deklarasi dalam KPP kali ini menunjukkan posisi orang asli Papua, sejalan dengan itu JDP semestinya juga membuka ruang untuk memfasilitasi berbagai kepentingan pihak lain yang ada di Papua termasuk pihak non Papua.

KPP dan Deklarasi seolah menunjukkan dialog Jakarta Papua sudah dekat, ekspektasi yang ditunjukan karena kehadiran berbagai komponen rakyat Papua serta pemerintah pusat dan daerah. KPP dan Deklarasi bisa juga menjadikan titik balik yang membuat gagasan dialog menjadi jauh kembali. Meminjam istilah Sekjend PDP Thaha Alhamid ‘ jendela – jendela kecil yang bisa dirombak menjadi pintu’ ,mungkin akan tertutup dan akan ada tambahan gembok dimana –  mana. Kini, semua pihak diajak untuk merekonstruksi ulang posisi dan kepentingannya di dalam dialog Jakarta Papua. Siapa saja termasuk berbagai negara dan lembaga internasional.

Sebagai gagasan, dialog telah lahir dalam keputusan Konggress Papua tahun 2000 dan Ketetapan MPR RI tahun 2000. Gagasan dialog bergulir kembali dalam buku Papua Road Map dan Buku pastor Neles Tebay kemudian melahirkan JDP. Yang terpenting dialog mesti dipandang sebagai misi bersama untuk menyelesaikan konflik di tanah Papua menjadi Papua tanah damai . Dimana saja dengan payung organisasi atau institusi apa saja atau mungkin secara individu. Dialog semestinya terus dikampanyekan, dialog dalam arti luas : terus berdialog untuk kepentingan apa saja;  mulailah sesuatu dengan berdialog untuk kepentingan apa saja :  dialog yang sejajar, bermartabat dan mengakomodir kepentingan semua orang.  
Adapun pertanyaan – pertanyaan kunci seperti : siapa pemimpin Papua, bagaimana jika dialog gagal dilaksanakan, bagaimana cara mendesak pemerintah untuk mendukung dialog dan bagaimana untuk memfasilitasi kepentingan semua orang di Papua tentulah mesti dijawab bersama.(wp)
03.39 | 0 komentar

Aparat Keamanan di Papua Diminta Profesional


kamis,14 juli 2011
WP-Aparat keamanan diminta menjalankan tugasnya secara profesional dan menghormati hak asai manusia demi menjamin rasa aman bagi orang asli Papua. Pos-pos militer hanya didirikan didaerah perbatasan antara negara yang bukan pemukiman penduduk. 

Demikian hasil kesepakatan dalam bidang keamanan yang dibacakan diakhir konferensi, Kamis (7/7) kemarin. Kesepakatan lain dalam bidang ini yaitu pengurangan pasukan non organik dan organik diseluruh tanah Papua. Pengembangan institusi militer dibuat berdasarkan pemekaran wilayah, pemerintah sipil (kampun, kabupaten/kota dan provinsi). 

Selanjutnya, operasi intelijen yang intimidasi dan tidak memberikan rasa aman ditiadakan. TNI dan Polri dilarang berbisnis dan berpolitik serta diberikan sangsi hukum tegas bagi pelanggarnya. Aparat keamanan dilarang bekerja sebagai ajudan atau tenaga keamanan bagi pejabat sipil. 

Dari informasi yang diperoleh, sebanyak enam kelompok yang dibagi dalam bidang untuk membahas soal indikator-indikator masalah di Papua. Diantaranya, bidang keamanan, bidang politik, bidang keamanan, bidang ekonomi dan lingkungan hidup, dan bidang sosial budaya. Konferensi Perdamaian Tanah Papua berlangsuang selama 3 hari yakni sejak, Selasa – Kamis,  5-7 Juli 2011. Kegiatan ini ditutup oleh koordinator jaringan damai Papua, pater Neles Tebay. (wp)
03.33 | 0 komentar

Hentikan Praktek Konservasi Alam di Papua

kamis, 14 juli 2011

WP-Bidang ekonomi dan lingkungan yang dibagi dalam konferensi perdamaian tanah Papua memminta, praktek-praktek konservasi alam yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global di Papua dihentikan. Kelompok ini juga menyatakan, hutan dan lahan yang menjadi sumber-sumber produksi orang asli Papua direhabilitasi. Hasil itu dibacakan diakhir konferensi kemarin, Kamis (7/7).

Kesepakatan lain dalam kelompok itu adalah seluruh tanah ulayat orang asli Papua dipetakan secara baik. Hak ulayat orang asli Papua diakui secara legal. Pengalihan dan penguasaan tanah hak ulayat tidak menghapuskan hak kepemilikan orang asli Papua. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan cara-cara yang memperhatikan kelestrarian alam, menghargai kearifan lokal dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk orang asli Papua.

Perusahaan yang merusak lingkungan dan merugikan pemilik tanah hak ulayat, diberikan sangsi hukum dan administrasi. Pimpinan-pimpinan adat bersama masyarakat dilibatkan dalam proses penyusunan investasi pengelolaan sumber daya alam. Praktek-praktek bisnis perikanan, pertambangan, penebangan kayu secara ilegal dihentikan dan pelakunya dihukum.

Selanjutnya, pemberdayaan orang asli Papua diberbagai sektor ekonomi dapat dilakukan melalui regulasi yang berpihak pada orang asli Papua berupa pelatihan, pemberian modal usaha dan pendampinga. Diakhir kesepakatan mereka meminta, pemerintah dan swasta wajib mempersiapkan dan memberikan prioritas bagi orang asli Papua agar mampu mengisi peluang kerja diberbagai sektor. (wp)
03.26 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman