Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Dialog Tidak Menyelesaikan Persoalan Papua

Written By Unknown on Jumat, 26 April 2013 | 04.00


Oleh : Rinto Kogoya

Rinto Kogoya, Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat AMP
“Tulisan ini untuk mempertegas sikap  Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] yang menolak adanya gagasan untuk menyelesaikan persoalan Papua dengan jalan Dialog, sehingga dasar kita menolak memiliki alasan yang logis dan rasional”

Saya lansung saja menguraikan kenapa secara organisasi, AMP dengan tegas menolak gagasan Dialog yang sedang didorong oleh Jaringan Damai Papua (JDP) maupun yang akhirnya diikuti oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe yang juga mengharapkan adanya dialog dengan pemerintah Pusat. Tapi menurut Lukas, kata dialog sebaiknya diubah dengan kata yang lebih halus.

Pertama, kenapa AMP menolak gagasan dialog yang didorong oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dibawah kordinator Pater DR. Neles Tebay, Pr. Gagasan dialog ini muncul setelah sekian lama rakyat Papua berjuang untuk menuntut Kemerdekaan. Dan dianggap sebagai salah satu solusi penyelesaian persoalan Papua. Selain solusi demokratis lain yang diperjuangkan oleh organisasi-organisasi perlawanan di Papua seperti Hak Menentukan Nasib Sendiri melalui mekanisme Referendum dan Pengakuan Kedaulatan oleh Indonesia.

Menurut JDP, konflik di Papua yang berkepanjangan disebabkan karena beberapa faktor  persoalan mendasar, diantaranya; Sejarah Politik Papua yang Belum Tuntas tentang PEPERA 1969, Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Ketidakadilan Pembangun dan Marginalisasi. Berbeda dengan AMP yang melihat persoalan mendasar di Papua karena adanya ; Kolonialisme Indonesia, Imperialisme dan Militerisme. Tentu berbeda pula solusi yang diperjuangkan bagi penyelesaian persoalan Papua.

Menurut kami, apa yang dikemukan oleh JDP merupakan sebuah tesis atau disertasi doktoral yang coba dijadikan panduan penyelesaian persoalan, bukan merupakan sebuah hasil analisa yang tajam dan mendalam tentang Papua. Kenapa demikian? Hal ini dikarenakan JDP dalam melihat sejarah Papua hanya berpijak dari pelaksanaan PEPERA 1969 dan tidak secara menyeluruh dari tahun 1960an awal atau pertengahan atau tahun-tahun sebelumnya dimana proses awal Identitas Nasional Bangsa Papua itu lahir.

Selain sejarah politik Papua, pelanggaran HAM menjadi fokus persoalan bagi JDP. Sehingga persoalan HAM harus menjadi satu bagian yang didialogkan. Sebenarnya apa yang diharapkan oleh JDP? Untuk memperjuangkan HAM rakyat Papua? Saya ajukan satu pertanyaan, sudah berapa banyak para pelaku pelanggar HAM yang diadili oleh Pengadilan Indonesia dan hasilnya benar-benar memberikan rasa keadilan untuk rakyat Papua? Apalagi bagi Indonesia, mereka yang melakukan pelangaran HAM dianggap “Pahlawan”. Semua pengadilan terhadap pelaku pelanggar HAM di Papua hanya formalitas belaka diatas meja sidang, untuk menunjukan kalau Indonesai menghargai HAM rakyat Papua. Menurut kami, pelanggaran HAM merupakan efek dari sebuah pendudukan atau penjajahan yang dilakukan oleh Indonesia untuk mempertahankan hegemoninya atas Papua. Sehingga, untuk menghentikan terjadinya pelanggaran HAM, rakyat Papua harus hidup merdeka dan bebas dari dari sebuah penjajahan yang sedang dilakukan oleh Indonesia.

Dua soal lain yaitu ketidakadilan pembangunan dan marjinalisasi juga menjadi fokus JDP dalam konsep dialog yang ditawarkan. Kembali kami pertegas, bahwa kolonial akan selalu mendominasi wilayah yang dikoloni baik secara ekonomi politik maupun sosial kebudayaan. Kolonial selalu menghambat laju perkembangan kemajuan disemua aspek kehidupan rakyat di wilayah yang dikoloni. Mengharapkan adanya kemajuan dalam pembangunan dan rakyat Papua tidak termarjinalkan adalah mengharapkan sesuatu yang mustahil.

Sehingga kembali ke penafsiran masing-masing, yaitu Papua itu bagian dari Indonesai atau wilayah yang dikoloni atau dijajah oleh Indonesia? Jika Papua bagian dari Indonesia, dan mengharapkan adanya perbaikan kesejahteraan, maka yang harus diperjuangkan adalah transformasi industri manufaktur kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) rakyat yang berpusat diwilayah lain di Indonesia seperti Jawa, Sumatera dan Sulawesi ke Papua. Lahir pertanyaan baru, apa hal itu mau dilakukan oleh Indonesia terutama kaum pemilik modalnya? Jelas itu sesuatu yang mustahil karena industri selalu membutuhkan pasar dan tenaga kerja, dan Papua bukan pasar yang menguntungkan dari sisi jumlah penduduk yang ada saat ini dibanding daerah lain di Indonesia apalagi kesediaan tenaga kerja.

Penjelasan diatas terkait konsep dialog yang ditawarkan oleh JDP yang dengan tegas ditolak oleh AMP. Selain penolakan atas konsep dialog, tidak adanya kesepahaman bersama antar organisasi perlawanan di Papua yang pro dialog dan kontra dialog akan menjadi bumerang bagi rakyat Papua. Bagaiman dengan sayap militer gerakan Kemerdekaan Papua TPN-PB yang dengan tegas menolak bentuk-bentuk kompromi seperti dialog? Saya kira Tim 100 pada tahun 1999 juga telah melakukan tahapan dialog dengan Indonesia, menghasilkan OTSUS yang oleh Indonesia dianggap sebagai solusi dan tidak bagi rakyat Papua yang menghendaki Kemerdekaan.

Kedua, kenapa AMP menolak dengan tegas gagasan dialog yang diusung oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe? Dari apa yang diutarakan oleh Lukas Enembe bahwa bukan kata dialog tapi diubah dengan kata yang lebih halus, maksudnya? Dan dialog yang dilakukan berkaitan dengan kesejahteraan. Hal ini menandakan bahwa Lukas ingin hadir sebagai sosok “Pahlawan Kesiangan” bagi rakyat Papua. Selain itu, menunjukan kalau Lukas tidak memahami mekanisme dalam birokrasi yang ia pimpin. Apa tidak ada cara lain untuk mengurus masalah kesejahteraan rakyat Papua? Seperti ; rapat konsultasi atau rapat kerja atau dengan kata yang lebih halus “diskusi” dengan birokrasi diatasnya yaitu pemerintah pusat untuk membahas bagaimana mengatasi masalah kesejahteraan di Papua.

Menurut kami, ada tidaknya dialog antara pemerintah provinsi Papua dan pemerintah pusat tidak akan mengubah eskalasi perlawanan rakyat di Papua. Karena, baik pemerintah provinsi Papua maupun pemerintah pusat adalah satu rangkaian birokrasi yang saat ini sedang menjajah Papua.

Saya merasa penting untuk menjelaskan bagaimana kolonialisme Indonesia tetap berlangsung dan terjadi di Papua. Kolonialisme adalah “kebijakan dan praktek kekuatan dalam memperluas kontrol atas masyarakat lemah atau daerah”. Kolonialisme selalu memiliki sifat yang arogan dan ekspansionis. Tujuan utama kolonialisme adalah menguras sumber kekayaan, sedangkan kesejahteraan dan pendidikan rakyat daerah koloni, tidak diutamakanDari pengertian dan tujuannya jelas bahwa Papua sedang di jajah oleh Indonesia. Kolonialisme Indonesia berlangsung di Papua melalui mesin birokrasi, sistem politik yaitu pemilu dan penempatan militer (TNI-Polri). Birokrasi yang ada di Papua saat ini merupakan perpanjangan tangan atau pelaksana dari birokrasi pemerintah penjajah Indonesia. Birokrasi dan sistem politik seperti pemilu tujuannya untuk memperkuat legitimasi kekuasaan politik Indonesia atas Papua. Sehingga, penting untuk memajukan kesadaran rakyat Papua tentang bagaimana Kolonialisme Indonesia itu berlangsung di Papua, untuk kemudian rakyat Papua dapat menentukan sikap politiknya.

Tentu AMP tidak hanya menolak, Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determination) bagi rakyat Papua merupakan solusi demokratis yang menurut kami dapat menyelesaikan persoalan Papua. Seperti apa yang dikatakan oleh Pdt. I.S. Kijne pada 25 Oktober 1925 di Wasior-Manokwari ”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”. AMP juga memiliki keyakinan bahwa rakyat Papua dapat memimpin dirinya sendiri dan dapat menjalani hidup dengan  sejahtera, adil, demokratis dan bermartabat jika Papua Merdeka.

Akhirnya, kami menyerukan kepada seluruh organisasi perlawanan Papua untuk menghilangkan ego dan faksisme dan bersama-sama memperjuangkan Kemerdekaan Sejati Rakyat Papua untuk hari depan Papua yang lebih baik. Salam!

Penulis adalah Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat AMP [Ketum KPP AMP]



04.00 | 0 komentar

Yona Wenda Nyatakan Mendukung Dialog Jakarta - Papua

Written By Unknown on Rabu, 24 April 2013 | 23.30

Yona Wenda (Jubi/Mawel)
Jayapura - Menurut Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), Yona Wenda, masukanya wilayah Papua Barat melalui Pepera 1969 ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi akar masalah di Papua.
“Cara Papua masuk ke dalam wilayah NKRI menjadi persoalan besar. Tahun 2013 ini genap aneksasi dan kekerasan RI di Papua yang ke 50 tahun,” ujar Yona Wenda di Abepura, Kota Jayapura, Papua, Selasa (23/4).
Konflik yang sudah menelan 50 tahun ini, belum pernah ada solusi yang tepat. Solusi yang diambil malah menambah masalah yang hendak diselesaikan. Solusi pendekatan keamanan melahirkan korban berjatuhan. Penegakan hukum mengiring banyak orang ke penjara. Situasi ini berlangsung di masa pemerintahan orde baru.
Di jaman reformasi, pemerintah Jakarta berbenah diri atas desakan keinginan orang Papua keluar dari NKRI dengan menerapkan UU Otonomu Khusus (Otsus) Papua. Otsus Papua belum mampu menjawab persoalan. Penolakan pun terjadi pada tahun 2005 dan kemudian pada tahun 2011 melalui musyawarah MRP dengan masyarakat adat Papua.
Secara tersirat, pemerintah Indonesia mengakui kegagalan itu dengan menggulirkan UP4B. UU ini kemudian mendapat sorotan banyak orang. Banyak orang kuatir sama nasibnya dengan Otsus. “Implemtasi UP4B pasti sama dengan Otsus,” kata ujar almarhum Mako Tabuni dalam satu orasi di halaman kantor MRP.
Sambil menolak dengan satu kekuatiran, banyak orang Papua bertanya-tanya solusi selanjutnya. “Apa solusi kalau semua ini gagal?” tanya drg. Aloisius Giay, Ketua LMA Pengunungan Tengah Papua dalam acara peluncuran buku berjudul Mati atau Hidup karya Markus Haluk, Senin (23/4) lalu.
Namun ada satu solusi yang ditawarkan, yakni ada yang menginginkan ruang dialog antara Jakarta dan Papua. Keinginan dialog itu makin jelas dengan menunjuk lima juru ruding orang Papua melalui Konfersi Dialog Jakarta-Papua yang dimotori Jaringan Damai Papua di Auditorium Uncen di Tahun 2012 lalu. Kini lima juru ruding itu mendapat dukungan penuh dari TPN-OPM. “Kami sudah sepakati dan kami dukung,” tegas Yona.
Menurut Yona, pihak TPN-OPM mendukung penuh karya Jaringan Damai Papua untuk terselenggarakannya dialog Jakarta Papua. “Kita mau perudingan atau dialog itu pegertian dalam bahasa Inggris. Bedanya istilah saja. Kalau dialog yang diperjuangkan itu demi adanya ruang dialog, kami mendukung. Sehingga harap pemerintah Indonesia buka ruang dialog. Jakarta perlu membuka ruang dialog  dengan lima juru ruding yang ditunjuk orang Papua,” katanya.
Tapi kata Yona, jika pemerintah Indonesia membuka ruang dialog, pihak TPN-OPM tidak akan pernah terlibat. “TPN-OPM menyerahkan semua itu kepada lima juru ruding. Kami ini keamanan sifatnya hanya pemantau saja. Saya juga menolak dialog yang diwacanakan Gubenur Papua, Lukas Enembe. Mau dialog dengan OPM ini harus jelas, OPM yang mana? OPM ini kan bisa diciptakan,” tegasnya.(Jubi/Mawel)
23.30 | 0 komentar

KNPB Serukan Peringatan 1 Mei Sebagai Pendudukan Ilegal Indonesia Di Tanah Papua

Victor Yeimo (abc.net.au)
Jayapura – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyerukan kepada seluruh rakyat Papua, baik diluar maupun yang ada diatas tanah Papua agar mengenang dan memperingati 50 tahun pendudukan kolonial Indonesia di Papua dalam bentuk Aksi Damai, Ibadah dan atau Mimbar Bebas di Gereja atau di Lapangan Terbuka, pada tanggal 1 Mei 2013 mendatang.
Dilansir dari website resmi KNPB, tanggal 1 Mei 1963 disebutkan bahwa Indonesia secara ilegal menduduki wilayah Papua. Dengan demikian, pada 1 Mei 2013 nanti, tepat sudah 50 tahun atau setengah abad lamanya Indonesia menganeksasi Papua kedalam NKRI. Hari itu Rakyat Papua mengenangnya sebagai hari awal penderitaan bangsa Papua.
Ketua Umum KNPB, Victor Yeimo dalam seruan KNPB tersebut mengatakan selama 50 tahun ini, bangsa Papua meratapi hidup penuh penderitaan dalam kekuasaan penjajah Indonesia. Diatas negeri emas, anak negeri mati terkurap busung lapar. Migran luar (pendatang) seakan-akan menjadi penghuni, penguasa dan pemilik tanah Papua, sedang kami yang hitam keriting terpinggir, terpojok, terkucil, tertindas, terperangkap dalam rantai penguasa dan pendatang diatas tanah pusaka milik bangsa Papua.
“Cukup sudah! Kami bukan bangsa budak, kami bangsa bermartabat. Kami tidak butuh Indonesia di Papua. Orang Papua tidak pernah mengundang apalagi menghendaki Indonesia untuk menginjakan kakinya diatas tanah Papua pada 1 Mei 1961. Kami tidak pernah berintegrasi dalam Indonesia, tetapi Indonesia menganeksasi bangsa Papua dengan paksa dibawah todongan senjata. Karena itu, pendudukan Indonesia diatas tanah Papua adalah ilegal sesuai hukum internasional dan berstatus PENJAJAH diatas tanah Papua.” kata Yeimo. (Jubi/Victor Mambor)

23.07 | 0 komentar

Buku Mati Hidup Orang Papua Diluncurkan

Suasana Peluncuran Buku Mati Atau Hidup
 karya Markus Haluk (Jubi/Mawel)
Jayapura - Buku berjudul ‘Mati atau Hidup: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua’ karya Markus Haluk diluncurkan. Buku ini merupakan rekaman kekerasan negara di Papua sejak 2008-2012.
Markus Haluk mencatat 12 jenis kekerasan Negara di Papua. “Saya catat ada 12 jenis kekerasan. Pembunuhan, penagkapan, Pemenjarahan, penolakan suaat izin aksi, penghadangan aksi, pembubaran demontrasi, pembatasan jurnalis asing masuk ke Papua,” kata Markus dalam sambutannya dalam pembukaan peluncuran buku yang berlangsung di Auditorium Universitas Cendrawasih Jayapura, Selasa (23/4).
Empat orang membedah buku Mati atau Hidup ini. Keempat orang tersebut masing-masing  Yorris Raweyai anggota DPR RI, Benny Giyai intelektual Papua, Yosepha Alomang aktivis HAM Perempuan Papua dan Victor Mambor ketua Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Biro Kota Jayapura.
Para pembedah buku melihat isi buku dari prepektif masing-masing. Yoris Raweyai melihat dari sisi sejarah perjalanan kekerasan di Papua. “Kekerasan yang terekam di dalam buku ini adalah persoalan klasik yang menjadi keprihatinan orang Papua,” ujarnya.
Benny Giyai lebih menyoroti petingya sikap optimism orang Papua untuk keluar dari kekerasan yang tak berujung ini. “Kita harus optimis membangun Papua baru,” tuturnya.
Aktivis perempuan Papua, Mama Yosepha Alomang berharap,  kekerasan yang terekam dalam buku ini memperlihatkan pemerintah Indonesia tidak mempunyai hati untuk orang Papua. “Pemerintah tidak punya hati,” tegasnya. Peresiden, Kapolri serta Panglima diharap membangun Papua dengan hati.
Semntara itu, ketua Aliansi Jurnalis Independen Biro Kota Jayapura, Victor Mambor mengatakan, peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah tugas jurnalis untuk medorong. Namun, media di Papua tidak murni. “Banyak media di Papua yang memberikan ruang yang bukan jurnalis. Ini menjadi persoalan,” katanya.
Bukan hanya jurnalis lokal, lanjut dia, jurnalis asing pun tidak mendaptkan izin masuk meliput di Papua tanpa alasan. ”Tidak ada hukum jurnalis Asing masuk ke Papua namun faktanya mereka sulit ke Papua,” ujarnya. Sekalipun yang ke Papua dideportasi,  liputanya diawasi pihak lain. (Jubi/Mawel)

06.00 | 0 komentar

Seruan KNPB Menuju 1 Mei 2013

50TH Indonesia di Papua, Cukup Sudah!!

Foto Doc : KNPB
1 Mei 1963, Indonesia secara ilegal menduduki wilayah Papua. Pada 1 Mei 2013 nanti, tepat sudah 50 tahun atau setengah abad lamanya Indonesia menganeksasi Papua kedalam NKRI. Pada tanggal itu, Indonesia akan berpesta pora merayakan kejayaannya membunuh, memperkosah, merampas, mencuri, dan menguasai tanah dan manusia Papua. Sedangkan rakyat Papua akan memperingatinya sebagai hari kedukaan nasional. Hari dimana Rakyat Papua mengenangnya sebagai hari awal penderitaan bangsa Papua.

Selama 50 tahun, bangsa Papua meratapi hidup penuh penderitaan dalam kekuasaan penjajah Indonesia. Diatas negeri emas, anak negeri mati terkurap busung lapar. Migran luar (pendatang) seakan-akan menjadi penghuni, penguasa dan pemilik tanah Papua, sedang kami yang hitam keriting terpinggir, terpojok, terkucil, tertindas, terperangkap dalam rantai penguasa dan pendatang diatas tanah pusaka milik bangsa Papua.

Cukup sudah! Kami bukan bangsa budak, kami bangsa bermartabat. Kami tidak butuh Indonesia di Papua. Orang Papua tidak pernah mengundang apalagi menghendaki Indonesia untuk menginjakan kakinya diatas tanah Papua pada 1 Mei 1961. Kami tidak pernah berintegrasi dalam Indonesia, tetapi Indonesia menganeksasi bangsa Papua dengan paksa dibawah todongan senjata. Karena itu, pendudukan Indonesia diatas tanah Papua adalah ilegal sesuai hukum internasional dan berstatus PENJAJAH diatas tanah Papua.

Komite Nasional Papua Barat [KNPB] menyeruhkan kepada seluruh rakyat Papua, baik diluar maupun yang ada diatas tanah Papua agar segera mobilisasi massa rakyat Papua untuk mengenang dan memperingati 50 tahun pendudukan kolonial Indonesia di Papua dalam bentuk Aksi Damai, Ibadah dan atau Mimbar Bebas di Gereja atau di Lapangan Terbuka, pada tanggal 1 Mei 2013, dengan Thema Central :

“ 50th Indonesian Illegal Occupation in West Papua”.
Indonesia Annexed West Papua Illegally; We Need the Right of Self-Determination
Demikian seruan ini dibuat dengan penuh bertangung jawab, demi kepentingan kemanusiaan bangsa Papua, keadilan bangsa Papua, Martabat,  dan harga diri bangsa Papua.

“Kita Harus Mengakhiri”

 Numbay, 23 April 2013

Badan Pengurus Pusat

KOMITE NASIONAL PAPUA BARAT [KNPB]

Victor F. Yeimo

Ketua Umum

Sumber : www.knpbnews.com

05.26 | 0 komentar

Jelang 1 Mei Polda Papua Perketat Penjagaan

Kapolresta Jayapura AKBP Alfred Papare (Jubi/Levi)
Jayapura - Kapolresta Jayapura, AKBP Alfred Papare megatakan, dalam rangka peringatan kembalinya Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei mendatang, pihak Kepolisian telah mempersiapkan sebanyak kurang lebih 1000 personil untuk pengamanan.
“Mereka akan disiagakan di beberapa titik, seperti Expo Waena, Perumnas Tiga Waena dan daerah Yapis Dok Lima Jayapura, serta Lingkaran Abepura,” ungkap Alfred ke tabloidjubi.com di Kantor Walikota Jayapura, Selasa (23/4).
Selain pengamanan, kata Alfred, aparat keamanan baik dari TNI/Polri di Kota Jayapura akan melaksanakan pengamanan terhadap kegiatan- kegiatan yang akan dilakukan seperti razia siang dan malam. “Pada prinsipnya kita tak memberikan ijin ke siapapun masyarakat untuk menggelar acara dalam peringatan 1 Mei itu,” jelasnya.
Kegiatan sosial yang lain  seperti  Parade di Taman Imbi dan pawai Walikota Jayapura. Sampai hari ini, Kota Jayapura sejuah ini aman. Peringatan hari kembalinya NKRI ini juga memperlihatkan kepada masyrakat Papua siapa yang menjadi pahlawan nasional asal Papua. (Jubi/Sindung)

Sumber : www.tabloidjubi.com
04.39 | 0 komentar

Pangdam Coba Redam Isu Penyerangan 1 Mei

Written By Unknown on Senin, 22 April 2013 | 22.35

Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Christian Zebua   (Jubi/Levi)
Jayapura-Pangdam XVII/Cenderawasih akan terus mencoba meredam isu yang beredar, pada 1 Mei mendatang akan ada penyerangan yang dilakukan kelompok bersenjata.

“Ada isu yang mengatakan, 1 Mei nanti mereka akan melakukan suatu gerakan dan penyerangan, tapi kita coba redam itu. Masa sih sesama saudara saling menyerang, tapi kalau mereka ganggu kita pasti akan merespon dengan keras bersama polisi. Tak akan saya biarkan rakyat atau prajurit terganggu, itu sudah pasti,” kata Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Christian Zebua kepada wartawan usai melakukan pertermuan dengan Komisi I DPR RI, Sasana Karya Kantor Gubernur Papua-Jayapura, Senin (22/4).

Menurut dia, dengan adanya isu penyerangan itu, pihaknya sudah coba komunikasikan, kalau memang ada beda paham silahkan, namun jangan sampai harus saling membunuh. “Kalau mereka dengan bersenjata, pasti saya hantam dan tumpas. Saya tidak akan biarkan rakyat atau prajurit terganggu,” tambahnya.

Saat ditanya dari kelompok mana yang akan melakukan penyerangan, ujar Pangdam, media lebih banyak tahu, karena ada ditulis. “Saya sebenarnya tidak terlalu serius menanggapi itu, biasalah saudara-saudara kita mungkin tidak merasa puas, tapi intinya kita siap mengantisipasi itu,” tegasnya.

Menyinggung soal Kasus Sinak, jelas Pangdam, masalah ini sudah ditangani oleh pihak Kepolisian dan pelakunya sudah kami tangkap, karena memang negara kita ini adalah negara hukum.

“Siapapun tidak boleh melanggar hukum. Jangankan mereka bersenjata, panglimapun tidak boleh melanggar hukum, ada konsekuensinya kalau melanggar hukum dan itu harus tegas. Saya dan Kapolda tegas menangani itu, tidak akan bermain-main,” ujarnya.

Pada kesempatan itu juga, Pangdam menyampaikan, dengan adanya pertemuan dengan DPR RI, dirinya berharap Komisi I bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Papua. “Soal Papua, sebenarnya tidak seperti apa yang kadang-kadang disuarakan di Jakarta. Pasalnya masyarakat kita tidak ada kok yang menyatakan diri mau merdeka dan sebagainya. Inikan hanya elit-elit tertentu saja. Masyarakat kita pada dasarnya senang kok dengan kesejahteraanya meningkat. Jadi mulai tingkat kabupaten/kota kerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan, sementara TNI menciptakan kondisi aman,” katanya.

Sekadar untuk diketahui, perayaan 1 Mei atau hari kembalinya Papua ke pangkuan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) rencananya akan dipusatkan di wilayah Sorong, Papua Barat. Dimana perayaan itu akan dilakukan oleh Gubernur Papua Barat beserta perangkatnya dibantu oleh jajaran TNI. (Jubi/Alex)

Sumber : www.tabloidjubi.com
22.35 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman