Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Aku dan Realita (Bagian IV)

Written By Unknown on Kamis, 29 Agustus 2013 | 17.00

Demonstrasi mahasiswa Papua di UGM
 menuntut penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Foto: BT.
Fani membangunkanku. Sepertinya aku terlambat ke sekolah. Dengan segera aku bersiap kemballi berangkat ke sekolah. Setelah sarapan, bergegas aku ke jalan besar. Istriku hanya tersenyum kecil mengantarku pergi ke sekolah sampai di pintu rumah dengan senyuman.
Di jalan besar, kendaraan ramai. Aku tidak berjalan kaki seperti biasa. Aku berhenti di sisi kanan jalan, menunggu taksi. Sebentar kemudian, datang taksi kuning dari arah Wonorejo, daerah yang kini populer hanya karena menjadi penghasil jeruk yang manisnya telah terkenal bahkan sampai ke ibukota, Jayapura. Aku naiki taksi itu.
"Philip.... Heii.. ko kenal saya ka tidak?" tanya sopir itu.
Saya bingung. Saya tidak mengenal dia.
"Philip, ini Ignatius ini, ko pu teman angkatan dulu baru."
"Oh iya... Ah, bagimana kabar, Ignas... ko bawa taksi kha? Sory kawan sa tidak kenal ko tadi.  Habis ko pu rambut dan jenggot juga panjang jadi," kataku padanya.
Tidak kusangka, aku bertemu seorang teman angkatan ketika bersekolah di Adhi Luhur. Kami sekelas. Saya tahu, dia adalah anak paling kaco di kelas kami. Selalu mengganggu kami, terutama yang perempuan. Tetapi  ia tetap adalah temanku sekelas. 7 tahun tak bertemu, saya menemukannya secara kebetulan di atas taksi.
"Kawan, ini taksi ko punya ka?" tanyaku.
"Bukan nogei.. itu kaka lakilaki punya. Saya bawa dia pu mobil cari uang saja, habis tinggal di rumah juga tidak ada pekerjaan jadi."
"Oo... baru kawan lalu itu tidak kuliah? Saya dengar kawan kuliah di Universitas Negeri Papua  baro."
"Iya, betul. Saya sempat kuliah di Unipa. Tapi Cuma sampai di semester 7. Saya keluar. Akh, nogei, ceritanya panjangkalo sa cerita sekarang. Nanti kalau ada waktu baru sa cerita nogei."
Saya hanya menganggukmemberinya secarik kertas berisi alamat rumahku. Kemudian saya beritahu dia bahwa sayasaat ini mengajar di SMAP YPPK Adhi Luhur sebagai tenaga guru honorer untuk pelajaran bahasa Inggris.
Ia hanya mengangguk mengiyakan. Sampai di depan Adhi Luhur, ia menghentikan taksi. Aku memberinya uang sepuluh ribu. Ignas hanya tersenyum padaku. Ia tidak menerima  tawaranku.
"Kawan.. jang ko bayar sudah. Bikin malu saja.Ia kemudian tertawa.
Ia kembali menancap gas. Taksi melaju. Ia kembali melambaikan tangannya dari kejauhan. Saya hanya melihat taksinya itu menghilang di balik keramaian pagi kota kecil di bibir pantai teluk Cenderawasih ini.
Aku memasuki sekolah. Setelah mengisi daftar hadir guru di meja piket, aku bergegas ke kantor. Hery kelihatan di kantor sendirian, sedang asyik membaca sesuatu. Aku menghampirinya.
Ia meletakkan koran yang ia baca dan menarik nafas panjang, dan tanpa kata, ia menyodori aku koran itu. Saya membacanya. Ada berita yang menarik. Mereka mengeposkan sebuah berita berjudul; Otsus Gagal, UP4B Bukan Solusi: Segera Gelar Refrendum.
Penulisnya berusaha mengungkapkan realita akan bobroknya sistem pelaksanaan Otsus di Papua. Ia berusaha mengungkapkan sisi-sisi negatif yang muncul akibat kurang seriusnya pemerintah pusat dan daerah melaksanakan Otsus.
Di antaranya, ia menyebut budaya kerja, atau etos kerja rakyat Papua menurun. Kemudian masyarakat jadi tergantung kepada pemerintah, dengan banyaknya uang Otsus yang diberi kepada mereka dalam bentuk uang. Sementara di satu sisi, penulis itu juga menjelaskan bagaimana orang Papua hanya menjadi perantara uang Otsus. Ia menggambarkan dinamika jalannya Otsus, yakni pertama dari pemerintah pusat. Setelah menalami penyusutan sedikit, sampai ke masyarakat. Namun, karena kurangnya pengetahuan masyarakat, bagaimana layaknya uang sebesar yang mereka terima itu digunakan, maka sebentar kemudian, uang tersebut mereka bawa ke kios.
Di kios kios milik pendatang itulah, mereka membelanjakan seluruh kebutuhan dan keinginan mereka. Artinya, secara tidak langsung, orang Papua menjadi perantara uang Otsus dari pemerintah kepada pendatang di Papua, yakni para pedagang. Kreativitas untuk melipatgandakan uang yang kita punyai hari ini, agar berlipatganda di hari mendatang tidak ada.
Penulis itu menjelaskan, di satu sisi, pemerintahan daerah di  zaman Otsus menjadi muka uang. Semua mengenal kata korupsi dalam pemerintahan mereka. "Mereka berkuasa pada zaman ini, tidak semata-mata untuk membangun rakyatnya, tetapi untuk memeperkaya diri,"  tulisnya antara lain dalam tulisannya itu.
Katanya lagi, UP4B bukan sebuah solusi yang pas. selesaikan dulu dan tuntuaskan dulu jalannya Otsus, baru berpikir tentang UP4B. Jangan kita diombang-ambingkan dalam berbagai kebijakan yang membingungkan itu, tegasnya.
Mataku cepat-cepat ke akhir tulisan, mencari nama penulisnya. Socratez ,  "Ooo, pendeta itu lagi," pikirku dalam hati. Ia direktur Persekutuan Gereja-Gereja Babtis di tanah Papua, penulis buku, dan seorang pembela hak-hak asasi orang Papua. Saya kenal dia melalui tulisan-tulisannya dan buku bukunya. Bertatap muka? Hm, belum pernah.
Longceng berbunyi. Aku segera menyiapkan buku untuk masuk ke kelas XII IPS. Aku mengajar 2 jam. Setelah lonceng pergantian jam, aku mendapat jam mengajar di kelas X. Setelah itu istirahat.
Di waktu istirahat, aku membeli gorengan dengan uang seribu di kantin sekolah. Kulihat Hengky, seorang anak Oksibil sedang duduk sendirian di koridor sekolah.
"Hengki, ko kemari dulu."
"Kenapa pak guru?"
"Akh, tarada.. ko pigi beli gorengan sudah, baru bawa datang kesini. Kita akan makan bersama."
"Iyo pak guru."
Ia berlari keci menuju kantin. Sesaat kemudian, ia kembali dengan gorengan di tangannya.
"Hengki, kenapa gorengannya banyak. Ko mencuri ka?" Memang yang dibawa di dalam plastik oleh Hengky banyak.Padahal, hanya Rp1.000 yang kuberi.
"Ah, tarada pak guru. Tadi tu ada teman lihat sa pu gorengan cuma pake seribu itu yang, da kasi tambahan uang  dua ribu untuk beli gorengan lagi."
"Pak guru. Saya mau minta maaf sebelumnya. Saya ingin tanya sama pak guru tentang Pepera 1969 itu pak guru," kata Hengki.
"Kenapa jadi?"
"Akh, pak guru. Di Oksibil sana, di saya pu kampung itu, dulu, bapa saya yang su meninggal sekarang ini biasa bilang, kalau ia dengan ayahnya sempat disiksa tentara Nasional Indonesia. Mereka tuduh saya pu Bapa dengan orang-orang di situ sebagai separatis, karena mereka ada simpan bendera Bintang Kejora. Padahal, saya pu bapa bilang waktu itu, justru bendera Bintang Kejora itulah bendera saya."
Saya hanya mengangguk-angguk.
"Trus, saya juga mau tanya, mengapa harus ada Bintang Kejora? Mengapa orang Papua biasa demo untuk Papua merdeka? Mengapa TNI dulu begitu kejam sekali?" tanyanya padaku.
Saya memahami kegundahan hatinya. Bukan hanya dia, banyak orang Papua juga sering melontarkan pertanyaan serupa. Ini mungkin akibat kurang pemahaman akan sejarah. Yah, bagaimana mau memahami sejarah sendiri bila yang diajari sejah Sekolah Dasar adalah sejarah Jawa, Candi dan kerajaan, yang sama sekali jauh bahkan di imaji anak Papua? Mungkin ini yang disebut  usaha Meng-indonesia-kan orang Papua, seperti disebutkan beberapa penulis asal tanah Papua dalam tulisan mereka.
Dulu, sebelum Reformasi bergulir, pendidikan di Papua dipakai Indonesia sebagai sarana Meng-indonesia-kan orang Papua. Anak Papua dididik untuk menjadi Papua (dan ini semakin menguatkan pendapat banyak orang, bahwa sebenarnya Papua bukan bagian dari Indonesia, sehingga perlu ada upaya meng-indonesia-kan orang Papua dari RI).
Dalam buku pendidikan sejarah, dari SD hingga SMA, yang ada hanya  pelaksanaan PEPERA tahun 1969, dan kegembiraan orang Papua bergabung dengan Indonesia. Tentang bagaimana Frans Kaisepo, Marten Indey berusaha agar Papua menjadi bagian RI, dan diberi gelar Pahlawan Nasional RI.
Jangan tanya lagi, lagu kebangsaan RI, Indonesia Raya sudah sejak SD diajari. Aku ingat kata seorang anak didikku di kelas X. Ia berkisah, untuk pelajaran Kesenian pada ujian, ia dan teman-temannya diminta menyanyikan sebuah lagu pilihan bertema semangat kebangsaan Indonesia, dengan  lagu wajib, Indonesia Raya, lagu kebangsaan Indonesia. UUD 1945, Pancasila, arti warna Merah dan Putih untuk bendera negara, semua kami pelajari, katanya berkisah, diiyakan teman-temannya sekelas. Aku hanya diam ketika itu, tak mampu berkata-kata.
Mengenai Mengapa harus lagi berbau Nasionalisme Indonesia, mengapa Indonesia Raya menajdi lagu wajib, ini jadi renungan tersendiri bagiku.
Saya memahami mereka, anak didikku. Mereka, oleh system pendidikan seperti itu, dibuat buta akan sejarah bangsa Papuanya sendiri. Aku kemudian bertanya, Siapa yang menemukan pulau Papua, dan tidak ada seorang pun yang menjawab. Juga ketika kutanya, Pernakah terengar oleh kamu, bahwa Papua pernah mendeklarasikan diri membentuk negara sendiri seperti bangsa Indonesia yang merdeka, mereka tampak ragu-ragu menyahut. Juga ketika kutanya, apakah mereka mengenal tokoh-tokoh Papua, missal; Zeth Rumkorem, Eliaser Bonay, Feri Fermenas Awom, Dr. Thomas Wanggai, Dortheys Hiyo Eluay, mereka tidak tahu siapa mereka. Ini terbalik bila kutanya, Siapa Ir. Soekarno? Atau, siapa Drs. Moh. Hatta? Atau Sayuti Melik, yang katanya sejarah, adalah orang yang mengetik naskah proklamasi RI.
Sayang. Ketika itu lonceng masuk berbunyi.
"Hengki, saya akan kasih tahu gambarannya nanti. Ko juga bisa tanya sama guru Sejarah to. Tapi trapapaSekarang ko pigi masuk kelas sana sudah,"  
Aku pun segera mempersiapkan diri untuk megajar di kelas berikutnya. Saya berencana untuk mengobrol lagi dengan Hengki, muridku dari Oksibil itu. Tetapi di istirahat kedua, kami guru-guru sibuk. Kami menerima gaji. Rp600.000 per bulan. Akh, semua pantas disyukuri, bukan?
Akhirnya, sampai pulang, beberapa pertanyaan Hengki itu belum sempat aku jawab. Pulang sekolah, Hengki menantiku di depan sekolah.
Pak guru, kita pulang sama-sama sudah. Rumahnya di Kodim. Berarti kami sejalur. Inilah kesempatannya aku menjawab rentetan pertanyaannya. Aku menuruti saja kemauannya. Sambil jalan, mulailah kujelaskan apa yang aku ketahui tentang pertanyaannya itu padaku tadi pagi ketika istirahat pertama.
Topilus B. Tebai, mahasiswa Papua, kuliah di Yogyakarta.

17.00 | 0 komentar

Pangdam Hotma Marbun: Papua Tak Akan Merdeka

JAYAPURA - Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Hotma Marbun, menegaskan, tanah Papua tidak akan lepas dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selama TNI masih ada, Papua tidak mungkin merdeka. Kecuali Presiden memerintahkan TNI/Polri keluar dari Papua.
Menurutnya, Papua sudah sangat jelas dan diakui sah berada dalam bingkai NKRI. “Jadi tentang Papua Merdeka adalah sesuatu hal yang tidak mungkin terwujud,” ujar Pangdam kepada wartawan seusai menghadiri rapat LKPJ Gubernur Barnabas Suebu, di DPR Papua Jayapura, Selasa (20/7) siang.
Ditegaskan, masalah seringnya terjadi penembakan di Kabupaten Puncak Jaya, Pangdam Marbun mengatakan, di daerah tersebut sangat aman. Pembangunan juga berjalan dengan aman. Bahkan dari kunjungan kerjanya bersama Kapolda Papua di daerah Tingginambut, daerahnya sangat aman terkendali. 
Pangdam menandaskan, penembakan yang terjadi di daerah Puncak Jaya, itu dilakukan sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka pegang senjata tanpa izin. “Jadi, orang yang melakukan pembunuhan, kemudian memiliki senjata tidak resmi itu melanggar hukum. Sehingga dikatakan tindakan kriminal, maka polisi yang akan dikedepankan,” ujarnya.
Menurutnya, daerah Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya juga masih daerah operasional polisi. Sementara pihak TNI hanya akan mem-back up saja dari belakang.(berbagai sumber).

Sumber : www.tanahpapua.com
16.59 | 0 komentar

Maaf Aku dari Papua Sampai Obrolan Soal Persipura

Ternyata, nyatanya, perubahan nama Irian jadi Papua masih belum diketahui oleh banyak orang di beberapa daerah. Padahal, hal tersebut sudah dilakukan sejak 13 tahun silam. Perubahan ini saja tidak diketahui, apalagi dengan seluruh permasalahan yang selama ini sudah dan sedang terjadi di seantero Tanah Papua. Kekwatiran tersebut muncul di dalam pikiran saya, ketika saya bertemu dengan beberapa orang di luar Papua.
"Maaf Aku dari Papua, Bukan dari Irian". Adalah ungkapan yang saya utarakan kepada tiga orang yang berbeda. Ketiga saya bertemu pada waktu dan tempat yang berbeda pula. Akan tetapi, aneh bagi saya adalah mereka bertanya dengan jenis pertanyaan yang sama persis. Pertanyaan mereka itupun muncul karena dengan melihat saya mengenakan Baju Persipura Mania.  
Lalu, mereka mendekati aku, dan bertanya; "Mas dari IRIAN ya?" Mendengar pertanyaan itu, sesungguhnya saya sangat marah. Namun, saya mencoba untuk meredam perasaan emosional dan menjawabnya  dengan tenang. Kemarahan dalam hati saya tersebut muncul, karena mendengar dua hal yang tidak layak di telinga saya. Kedua hal tersebut adalah; pertama; kata 'Mas' dan kedua; kata 'IRIAN'.
Pada hakekatnya, sebuah nama sangat berarti. Hal inilah yang akan membentuk konsep atau pengertian yang sesungguhnya. Salah nama maka tentu akan salah objek atau subjek yang hendak kita maksudkan. Sebagai contoh, nama yang kita miliki. Apa artinya namamu? Apa reaksimu jika berbagai macam orang datang dan memanggil namamu dengan nama yang berlainan? Hal yang demikian juga yang dialami oleh penulis yang dirangkum dalam tiga kasus yang berbeda.
Kasus Pertama; Tepatnya Malam Minggu Tanggal 8 Juni 2013 lalu, sekitar pukul 20:00 Waktu Bali, saya mampir di sebuah Warung Makan Babi Guling. Sesaat saya memasuki warung tersebut, ibu yang menjaganya menatap saya agak lama karena saya sedang mengenakan Baju Kaos Persipura Mania.
Lalu,  ibu itu bertanya pada saya tentang menu makanan yang saya hendak santap saat itu. Tidak lain tentunya, Daging Babi Guling. Saya pun menghabiskan waktu untuk makan malam sekitar 20 menit. Setelah selesai, saya datang ke ibu untuk membayarnya.
Setelah saya membayar, ibu itu pun bertanya; "Mas dari IRIAN ya?" Jawaban saya sangat singkat yakni; "Maaf Aku dari Papua, Bukan IRIAN". Lalu, saya dengan segera meninggalkan tempat tersebut.
Kasus Kedua; Suatu ketika, tepatnya pada Tanggal 20 Juli 2013, lalu saya beserta teman-teman seperjuanganku dari Pantai Sanur Bali. Sementara kami sedang menikmati indahnya pantai, kami dihampiri oleh seorang bapak. Katanya Pak Made namanya. Ia adalah seorang pekerja di Pelabulan Benoa Bali. Ia menyapa kami dengan sangat ramah sambil melihat satu persatu.
Ketika ia melihat saya sedang mengenakan Baju Kaos Persipura Mania, ia pun bertanya; Mas dari IRIAN ya?. Saya menjawab dengan jawaban yang sangat singkat yakni; "Maaf Aku dari Papua, Bukan IRIAN".
Mendengar jawaban saya tersebut, temanku menjelaskan "Bli (sapaan untuk laki-laki-Bahasa Bali) nama IRIAN itu sudah diganti oleh Almarhum Abdul Rahman Wahid (Gusdur) ketika ia sebagai Presiden RI. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 2000." Ia pun menyadari akan kekeliruannya, lalu berkata; "Maaf ya, pak, jujur saja karena saya tidak tahu bahwa namanya sudah diganti dari IRIAN menjadi Papua."
Kasus Ketiga; Tepatnya, Hari Sabtu 17 Agustus 2013, lalu saya beserta salah seorang kakak senior saya, pergi bertamu di rumah dari temannya. Rumah temannya di Bukit Jimbaran bagian belakang Kampus 2 Udayana. Karena, kakak saya telah lebih dulu janji, maka kami pun dilayani dengan baik. Temannya, mengajak kami duduk di para-para yang ada di belakang rumah tepatnya di belantara taman bunga yang sangat indah.
Sementara kami sedang duduk di para-para tersebut, ayah dari temanya tersebut datang lalu berjabat tangan dengan kemi berdua. Ketika itu, bapak tersebut melihat baju yang saya kenakan yakni Kaos Persipura Manusia, lalu ia pun bertanya; "Mas dari IRIAN ya?". Setelah mendengar pernyataan tersebut saya pun merasa semacam luka lama yang tergores kembali di benakku.
Kendati pun marah, saya mencoba untuk menahan kemarahan. Lalu, saya menjawab; "Maaf Aku dari Papua, Bukan IRIAN". Ia pun berdiam sejenak lalu berkata, "Oh iya, sudah digantikah namanya? Jujur saja, saya salah satu penggemar Tim Mutiara Hitam Persipura," ujarnya dengan wajah sangat apresiatif.
Setelah itu, pembicaraan kami pun, berubah topik tentang Tim Kebanggaan Masyarakat Papua Persipura Jayapura. Ia pun, bertanya tentang daerah asal dari Sang Kapten Tim Persipura Jayapura Boaz Teofilus Erwin Salosa. Ia adalah Putra Asli Tanah Papua dari Daerah Kepala Burung, Sorong.Adalah jawaban saya atas pertanyaannya.
"Saya selama ini berpikir bahwa ia adalah pemain asing karena kemampuannya sangat di atas rata-rata. Bukan ia saja sebenarnya masih banyak pemain dari Papua bukan IRIAN yang saya banggakan". Nama lain yang ia sempat sebutkan saat itu adalah Elly Aiboy dan Okto Maniani. "Timnas Indonesia akan menang lawan klub-klub dari luar, apabila pertandingannya  diwakili  seutuhnya oleh Tim Persipura," ujarnya dengan penuh percaya diri.
Sedikit ulasan tentang perubahan nama IRIAN jadi Papua. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 2000 silam, Papua yang dahulu disebut IRIAN mengalami perubahan. Perubahan nama tersebut diberikan oleh Presiden RI K.H. Abdul Rahmman Wahid (Gusdur). Atas tuntutan pengembalian jati diri masyarakat di Papua pada saat itu. Keputusan tersebut kemudian ditetapkan melalui Keputusan DPR.D Irian Jaya Nomor 7 Tahun 2000. Selanjutnya, tepat pada tanggal 16 Agustus 2001 yang mengatur tentang pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua.
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis hanya mau mengajak kepada kita semua bahwa apa pun alasannya, pelurusan nama adalah hal yang sangat penting. Kejelasan akan suatu benda atau orang akan terwujud nyata, jika disertai dengan nama yang tidak keliru. Prinsipnya, salah nama dan alamat maka salah pula maksud dan tujuan kita sesungguhnya.
Selain itu, kita juga tidak tahu maksud hati sesungguhnya di balik nama yang orang lain sebutkan. Entah itu, nama yang sesungguhnya, berupa ejekan, atau pun karena sedang membanggakannya.
Mengklarifikasi nama dengan baik dan benar berarti ada upaya untuk mengetahui dan mempertahankan keasliaannya.
Felix Minggus Degei adalah Anak Muda Papua yang Menaru Perhatian pada Masalah Pendidikan dan Kebudayaan di Tanah Papua.

15.23 | 0 komentar

Freedom Flotilla Bakal Masuk Papua

Konvoi kapal Freedom Flotilla yang berlayar menuju Papua
AUSTRALIA – Kelompok aktivis Australia Freedom Flotilla bulan depan akan masuk ke Papua. Juru Bicara Freedom Flotilla Ruben Blake menyatakan telah mendapatkan izin masuk ke perairan Indonesia, namun ditarik kembali oleh Indonesia.
Freedom Flotilla akan berlayar dari Australia menuju perairan Indonesia. Kelompok ini akan konvoi dengan tiga perahu yang membawa sekira 20 aktivis. Freedom Flotilla beberapa minggu ke depan rencananya akan sampai di perairan Papua Bagian Selatan, Merauke.  
Ruben Blake kepada Radio Selandia Baru Internasional pada Selasa (27/8) menyatakan sudah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia tetapi izin itu ditarik kembali. Otorisasi pemerintahan di Papua juga telah mengeluarkan visa masuk. Ia juga sudah mendapatkan paspor yang dikeluarkan orang asli Australia Aborigin untuk mengunjungi negara-negara suku asli mereka.
Blake khawatir dengan sikap (militer) Indonesia yang akan mencegat dan menolak kedatangan mereka. Pekan lalu pemerintah Indonesia mengingatkan kedatangan para aktivis Freedom Flotilla adalah ilegal.
Dalam wawancara dengan wartawan Radio Selandia Baru Internasional Mary Baines, yang disiarkan dalam situs rnzi.com pada Selasa (27/8), Ruben Blake menyatakan tetap tak mengubah rencana perjalananya meski keselamatan dirinya dan para aktivis terancam. Ia sangat khawatir dengan tindakan Angkatan Laut dan Angkatan Udara Indonesia yang akan menangkap kapal dan aktivis Freedom Flotilla.
Menurut Ruben Blake ia terkejut dengan respon yang ditunjukkan pemerintah Indonesia. “Indonesia telah berusaha keras menghindari wartawan asing, LSM dan pengamat hak asasi manusia masuk ke provinsi itu secara bebas,” kata Blake.
Menurut Blake, kedatangan aktivis Freedom Flotilla ke Papua untuk melihat secara dekat tentang situasi dan persoalan yang dialami oleh orang-orang di Papua. Baginya, sikap pemerintah Indonesia itu memprihatinkan.
Ruben meminta dukungan Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr untuk memperhatikan keselamatan dan ancaman yang diperoleh para kelompok aktivis itu. “Ancaman senjata atau kekuatan (militer) benar-benar menjadi perhatian. Orang-orang di seluruh dunia harus peduli pada keselamatan orang-orang di dalam kapal tersebu,” kata Blake.
Menurutnya, Indonesia tak perlu malu membuka akses bagi konvoi misi damai ini. Ia sudah menerima laporan bahwa militer Indonesia akan menghadang konvoi perdamaian tersebut.
Tiga armada kapal akan berlayar ke perairan Indonesia melalui selat Torres, Australia. Saat akan mendekati perairan Indonesia, Blake mengatakan mengajukan izin berlayar masuk ke perairan Indonesia. Awalnya mereka diberikan izin, namun belakang izin itu ditarik lagi.
Blake menyerukan kepada Australia, Indonesia, dan Papua Nugini untuk memberikan akses perjalanan dan misi kebudayaan mereka. Namun, rencana Blake dan 20 aktivis Australia ini akan mendapatkan rintangan besar karena ini menyoal kedaulatan Indonesia. Presiden SBY beberapa waktu lalu meminta negara-negara asing untuk tak mengganggu kedaulatan Indonesia.
Freedom Flotilla adalah koalisi internasional untuk gerakan solidaritas masalah hak asasi manusia. Organisasi yang dibentuk pada 2010 ini pernah melakukan misi perjalanan ke jalur Gaza di Palestina.(Kabar24.com)
Editor:Basilius Triharyanto
Sumber : www.kabar24.com
10.53 | 0 komentar

Dukung Freedom Flotilla, Warga Papua Kibarkan Bintang Kejora

Written By Unknown on Rabu, 28 Agustus 2013 | 22.10

Demontrasi warga Papua di Manokwari dukung
 kedatangan Freedom Flotilla. Foto: Kompas
Manokwari --  Masyarakat Papua di Manokwari di bawah koordinasi  West Papua Nasional Autority ( WPNA) siang tadi, Selasa (27/08/2013) melakukan aksi demontrasi untuk mendukung  perjalanan  para  aktivis Australia, Freedom Flotilla.

Mereka direncanakan tiba di Merauke Papua awal bulan depan, September 2013. 

Pantauan koresponden majalahselangkah.com di Manokwai,  dalam aksi demontrasi ini warga Papua membentangkan sejumlah bendera Papua, Bintang Kejora. "Kami dukung kedatangan  para aktivis dan jurnalis  asing dalam kapal ini," kata, Benny warga Manokwari.  


"Kenapa Indonesia larang-larang. SBY harus hentukan penurunan pasukan untuk halangi mereka. Biarkan mereka dating dan lihat langsung. Kalau mereka ditahan, dunia akan Tanya, kenapa mereka dirtahan. Ada apa dengan Papua jadi TNI dan Polri sudah takut," lanjut Benny.

Aksi yang memacetkan sejumlah jalan di Manokwari ini digelar dengan damai dan berakhir dengan damai. Aparat keamanan setempat tidak bias berbuat banyak atas demontasi dan pembentangan bendera Papua, bintang kejora.(ED/MS)

Sumber : www.majalahselangkah.com
22.10 | 0 komentar

6 Aktivis KNPB Dibebaskan dari LP Abepura

Denny Hisage cs. Foto: Ist
Jayapura -- Enam aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), hari ini, Selasa, (27/08/13) dibebaskan dari Lembaga Pemasyaratan (LP) Kelas II A Abepura Jayapura setelah menjalani persidangan 8 bulan.
Para aktivis itu adalah Denny Imanuel Hisage (26), Anike Kogoya (23), Jhon Pekey (27), Rendy Wetapo (27), Jimmy Wea (26) dan Oliken Giay (27).
Mereka ditangkap Polda Papua dengan tuduhan  menyimpan dan membeli amunisi. Mereka  diancam dengan Pasal 1 Ayat 1 UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 Pasal 56 ke I  KUHP.
Denny Hisage menilai Polda Papua asal  tangkap dan mengurung mereka tanpa bukti pidana yang jelas. Karena, kata dia, semua itu akhirnya tidak terbukti.
Saat ini,  puluhan aktivis KNPB, termasuk Ketua KNPB  Victor Yeimo masih berada di penjara di tanah Papua.(GE/MS)

Sumber : www.majalahselangkah.com
22.04 | 0 komentar

Sekjen WPNCL: Indonesia Tidak Hormati Janjinya

Mantan MP Fiji, Ema Tagicakibau;
 Sekretaris Jenderal Koalisi Papua Barat
untuk Pembebasan, Rex Rumakiek;
 dan Joe Collins, Sekretaris Asosiasi Australia
 Papua Barat Sydney. Foto: Nigel Moffiet /PMC.
Vanuatu --  Sekretaris Jenderal KoalisiNasional Papua Barat untuk Pembebasan atau West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Rex Rumakiek mengatakanIndonesia berbohong dan tidak menghormati janjinya kepada para pemimpin Grup ujung tombak Melanesia.
"Indonesia kini mendikte pemimpin MSG tentang apa yang harusmereka lakukan," kata Rex Rumakiek dalam Release yang diterima redaksi majalahselangkah.com, Senin, (26/08/13).

Selama KTT MSG di Kaledonia Barukata dia,  disepakati bahwa semua menteri luar dari negeri di wilayah Pasifik mengunjungi Indonesia dan Papua Barat untuk melihat sendiri situasi di sana.Tetapi, saat ini, Indonesia mengundang para pemimpin MSG satu per satu.



"Perdana Menteri KepulauaSolomon adalah pemimpin MSG pertama yang mengunjungi Indonesia bulan ini(Agustus:red)," katanya. 

Menurut Rumakiek, kunjungan secara individual ini menimbulkan risiko penyuapan. Dan, itu taktik lain Indonesiauntuk membagi pandangan pemimpin MSG dan memaksakan agendanya. (MS)

21.59 | 0 komentar

Indonesia threatens West Papua 'Freedom Flotilla'

Written By Unknown on Senin, 26 Agustus 2013 | 09.45

A three-vessel Freedom Flotilla carrying some 50 West Papuan and indigenous Australian protesters bound for the restive Indonesian territory of West Papua began its voyage from Queensland, Australia, this past week—to the dismay of both Austrailian and Indonesian authorities. The protestors, who hope "to reconnect two ancient cultures and to reveal the barriers that keep human rights abuses in West Papua from the attention of the international community," expect to make landfall in early September. "The initiative of Indigenous Elders of Australia and West Papua will build global solidarity and highlight the abuses of human rights and land rights carried out under the occupations of their lands on an international stage," the statement on the Flotilla's website reads.

Official reaction to the Flotilla has ranged from dismissive to threatening. "This is just a publicity stunt by some elements trying to get attention," Michael Tene, a spokesman for Indonesia's Foreign Ministry, told the Jakarta Globe. "It will not affect Indonesia or any other country, and it will not affect our work in the Papua provinces." More ominously, Indonesia's deputy minister for security affairs, Agus Barnas, told The Guardian by phone from Jakarta that "the use of weaponry may not be necessary. We won't threaten them with guns, but we want to send them away from Indonesian territory."

Jakarta has also warned Canberra over the Flotilla. Indonesia's President Susilo Bambang Yudhoyono’s spokesman Teuku Faizasyah said that any help Australia provided to the flotilla "won't be good for our bilateral relationships." Australian Foreign Minister Bob Carr  quickly disavowed the protester. The Flotilla's "action is not supported by Australia, it's extremely ill advised, he told Radio National. "I think this activity by a fringe group of Australians offers a cruel hope to the people of the two Indonesian Papuan provinces; that is, a hope that, somehow, independence for the Papuan provinces is on the international agenda, when it’s not. The world recognizes Indonesian sovereignty as we do."

After Indonesian independence in 1949, West Papua remained a Dutch overseas territory until 1962, when Indonesia and the Netherlands signed the New York Agreement at the UN headquarters, formally ending the last Dutch colonial presence in the archipelago. In 1969, the Papua provinces agreed to join Indonesia in a referendum of elders—the legitimacy of which has been questioned ever since by an independence movement. Human rights abuses have been growing in recent years, and the Jakarta government effectively bars journalists from covering the independence struggle. (The Guardian, Aug. 20; Jakarta Globe, Aug. 19)

Sumber : www.ww4report.com
09.45 | 0 komentar

Indonesia Mengundang satu per Satu Pimpinan MSG ke Indonesia dan Papua

PM Kepulauan Solomon  dan SBY in Indonesia
"Indonesia berbohong dan  tidak menempati janjinya, untuk semua menteri-menteri  luar negeri kawasan pasifik yang tergabung dalam MSG untuk berkunjung ke Indonesia dan papua "Barat aktivis Papua  (WPNC) Rex Rumakiek"

Seperti di kutip dari Radio Newzeland "Seorang aktivisPapua Barat dalam WPNCL   mengatakan Indonesia berbohong dan tidak menghormati janjinya kepada para pemimpin Grup ujung tombak Melanesia bahwa akan mengundang semua merlu MSG untuk melihat situasi dan kondisi Politik dan HAM di Papua barat."

Sambung," Sekretaris Jenderal Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan Rex Rumakiek mengatakan Indonesia kini mendikte pemimpin MSG apa yang harus mereka lakukan.

Dia juga mengatakan selama KTT MSG di Kaledonia Baru, disepakati bahwa semua menteri luar negeri mengunjungi Indonesia dan Papua Barat untuk melihat situasi sendiri.

Mr Rumakiek juga menunduh Indonesia mengundang para pemimpin MSG satu per satu merupakan suatu kebohongan dan kelicikan jakarta untuk mempengaruhi pimpinan MSG dengan tipuan dan kebohongan atas situasi ril di papua barat.

Lanjutnya Dia mengatakan Kepulauan Perdana Menteri Solomon adalah pemimpin MSG pertama yang mengunjungi Indonesia bulan ini.

Mr Rumakiek mengatakan berurusan dengan para pemimpin secara individual menimbulkan risiko penyuapan, dan itu taktik lain dengan Indonesia untuk membagi MSG dan memaksakan agendanya.*tw'



09.40 | 0 komentar

Gubernur Tuding Jubi Media KNPB, Ini Komentar Public

Written By Unknown on Minggu, 25 Agustus 2013 | 02.58

Gubernur Papua, Lukas Enembe (Jubi/Aprilla)
Jayapura – Terkait pemberitaan tudingan Gubernur Papua, Lukas Enembe yang tiba-tiba menyebut media online tabloidjubi.com dan Majalah Jubi sebagai media Komite Nasional Papua Barat (KNPB) saat berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA di Abepura, Kota Jayapura, Sabtu, 17 Agustus 2013 lalu, menuai beragam komentar dari warga.
Pantauan tabloidjubi.com terhadap pemberitaan Gubernur Papua : JUBI Itu Media KNPB hingga Sabtu, 24 Agustus 2013, jumlah pembaca berita itu sudah mencapai ribuan lebih.Tak hanya itu, sebanyak 47 komentar warga pembaca terpampang di bawah berita tersebut. Sebagian warga mengulangi komentarnya. Komentar yang ditulis di dinding website online tabloidjubi.com, tepatnya di bawah berita tudingan ini, beragam. Kebanyakan komentar bernada emosi dan sindirian. Lainnya lagi, bernada memojokan, nasihat dan memuji media JUBI.
Komentar dibuka oleh Pimpinan Redaksi online tabloidjubi.com dan Majalah Jubi, Victor Mambor. Victor menulis, menjadi jujur terkadang menyakitkan bagi sebagian orang. Komentar Victor ditanggapi dengan nada sindiran oleh Sabaruddin A Paembonan. Sabaruddin menulis, awas jagan sampai terbalik. Dari komentar Sabaruddin, Yander Rumaropen Jenures malah emosi. Yander menulis komentarnya dengan nada emosi menyebut Sabaruddin A Paembonan. Komentar sindiran tak henti-hentinya menyerang Victor Mambor. BJ Kammi Wondei menyindir komentar Victor dengan menulis, lebih menyakitkan apabila sudah tergoda.
Komentar emosi dan tertawa serta salut untukJUBI, datang dari Komite Pusat Amp. Komite ini menulis, coba periksa pace gub di dokter spesialis saraf, jangan sampe dia kena kangker saraf tu. hehehe. Setelah emosi dan tertawa, komite ini salut kepada JUBI. “Salut untuk smua crew Jubi. Jabat erat selalu. Salju!,” tulis Komite Amp lagi. Wenas Denny Gimbal Kobogau menanggapi komentar Amp dengan menyatakan, betul kom. kasihan objek NKRI ini.
Komentar berbeda datang dari Aston Situmorang. Aston membuka komentarnya dengan tertawa panjang, selanjutnya mengkritik Gubernur Lukas. “Hahahahha. besok-besok kalo JUBI muat tentang pencurian, pemerkosaan, dinggap JUBI pencuri dan pemerkosa. xixixixixi. Aneh tuh kesimpulannya BOS. Saya yakin Gub tidak cukup waktu untuk baca JUBI ONLINE sehingga penasihatnya atau karena tekanan yang membisik aneh-aneh buat Gub statementnya malah kabuuuurrrrr.Tapi, semoga hal ini menjadikan JUBI terpacu untuk makin giat memberitakan apa yang benar dan seharusnya. Ini makna Kebebasan Pers yang mesti dihargai siapapun sekalipun oleh Gubernur,” tulis Aston.
Kritikan tajam lainnya terhadap Gubernur Lukas Enembe, terkuak dalam komentar Dommy Rumere Simyapen. “Terbentuk Jubi di Papua dan siapa yang membentuk harusnya , Pa Gub Harus Tau,” tulis Dommy. Meski BJ Kammi Wondei sudah berkomentar, namun ia kembali lagi mengkritik dan menertawakan Gubernur. “Hahahahhaa sudah tra jelas nih. Seorang publik figur. Jadi kedodoran tanpa, sudah parah informannya gubernur terlalu mempengaruhi pola pandang gubernur????,” tulis BJ Kammi.
Ada satu komentar yang menilai wajar Gubernur berkomentar demikian. “Karena media cetak dan elektronik punya kepentingan bisnis dan poltik. media cetak/elektronik, punya kepentingan (bisnis dan politik). Dan itu ada pada pemiliknya (sponsornya). Wajar saja. Orang/institusi yang dikritik itu merespons/reaksi. itu juga wajar. no problem,” tulis Untung Muhdiarto. Tak hanya sejumlah komentar ini, sederet komentar lainnya bervariasi antre dibawah diding berita.
Diantaranya, dari Aby Yohame. Aby menulis, sebenarnya pa gubernur sampaikan langsung ke personil media atau secara resmi dan tertulis sebagai bntuk pembinaan, kalau berbisik kepada Pangdam, orang Papua menilai seakan mengadu, sebelum semua kebijkan berpihak yang baik terwujud jangan sampai orang Papua merasa ditampar. “Sekarang semua saluran akspresi seakan disumbat kecuali media online, harap pa Gub. Sebgai anak daerah yang pernah menyaksikan penderitaan karena orang Papua berekspresi, mohon dengan sabar merangkul sebagai gubernur. Jangan pernah berbisik ke Pangdam atau Kapolda, bisa saja orang Papua menilai pa Gub lebih banyak dengar bisikan disekitarnya, wa noe,” tulis Aby dalam lanjutan komentarnya.
Puluhan komentar itu ditutup oleh Turius Wenda. “Malu aku tunjukan dan menjual kebodohan. Coba cek baik-baik, mungkin dia salah sebut atau salah dengar ngalah seorang Gubernur bicara demikian,” tulis Turius Wenda menutup 47 komentar yang tertapampang di bawah pemberitaan berjudul Gubernur Papua : JUBI Itu Media KNPB. (Jubi/Beny)

Sumber : http://tabloidjubi.com
02.58 | 0 komentar

Kesaksian Seorang Pamongpraja Papua Di Era Otsus

Buku Ironi Papua di antara buku Bakti Pamongpraja Papua dan Belanda di Irian Jaya, Amtenar Di Masa Penuh Gejolak, 1945-1962 (Jubi/dam)
Jayapura — Pamongpraja atau jaman Belanda disebut ambtenar terkadang dilupakan atas jerih payahnya selama mengabdi sebagai pelayan rakyat mulai dari daerah terpencil hingga masuk ke perkotaan. Bahkan tidak sedikit para amtenar jaman Belanda mampu menghubungkan pengembangan antropologi di Papua Barat dengan ilmu-ilmu pemerintahan yang diajarkan di universitas-universitas di Negeri Belanda.
Tak heran kalau ada beberapa amtenar yang pernah menjadi Gubernur Nederlands Nieuw Guinea sangat terkenal sebagai pakar antropolog yaitu, Prof Dr Jan Van Baal. Antropolog Jan Van Baal dianggap sebagai tokoh pembaharu ilmu antropologi  dengan teorinya tentang modernisasi yang keliru (erring acculturation) dalam sebuah perencanaan pembangunan di negara-negara berkembang.
Begitupula dengan buku tentang pengalaman para pamongpraja Papua yang dihimpun dalam buku berjudul Bakti Pamong Praja Papua, Di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia, penerbit Kompas, Jakarta Oktober 2008.
Dr Leontine E Visser menyebut buku ini adalah kumpulan sejarah keperintahan dari pamongpraja orang Papua yang mulai tugas pada era 1950-1962 di Nederlands Nieuw Guinea dan pensiun pada masa pemerintahan Indonesia di jaman modern.
Buku ini juga menggambarkan pengalaman pamongpraja Papua dalam melaksanakan tugas pemerintahan di jaman United Nations Temporary Executive Authority(UNTEA). Kemudian mereka dikirim ke Jawa untuk ikut pendidikan kepemerintahan negara Indonesia kemudian mereka bertugas di Irian Jaya/Papua sampai mereka pensiun sebagai Pembantu Gubernur Wilayah I dan Wilayah II, Walikota Jayapura dan Bupati.
Salah satu buku terbaru berjudul Ironi Papua yang ditulis oleh Alex Rumaseb, salah seorang pamongpraja Papua yang mengawali kariernya sebagai Camat atau Kepala Distrik Kurima, Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya  sekitar 1970 an setelah menyelesaikan kuliah di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri(APDN) di Kampung Yoka, Kota Jayapura.
Buku ini mungkin bisa disebut sebagai kesaksian seorang Pamongpraja Papua yang mulai bekerja di era Orde Baru hingga pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Ketua Bappeda Provinsi Papua. Alex Rumaseb termasuk pamongpraja adik kelas alumni APDN Irian Jaya dari pamongpraja Papua lainnya seperti Michael Manufandu, mantan Dubes  Kolombia, mendiang JRG Djopari, mantan Dubes PNG dan Eduard Fonataba mantan Bupati Sarmi.
Buku berjudul Ironi Papua ini oleh penulisnya mengangkat  tiga soal yang menjadi kendala dalam pembangunan di Papua. Pertama kita sedang bekerja dengan data-data yang tidak akurat, sehingga keputusan dan kebijakan yang diambil bagi Papua juga tidak akurat karena menggunakan data yang tidak akurat tadi. Data yang tak akurat menyangkut data penduduk yang berbeda antara instansi, misalnya BPS, KPU, Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja, Dinas Kesehatan juga Biro Pemerintahan dan Pemerintahan Desa.
Kedua dalam mencari solusi  bagi hambatan pembangunan di Papua semua orang yang memberikan masukan benar dan bagus, tapi benar dan bagus itu tidak bisa dipersatukan menjadi satu kekuatan, malah dalam koordinasi masing-masing mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri. “Atau lazim disebut ego sektoral masih kuat,”tutur Alex Rumaseb yang pernah menjadi Sekda Kabupaten Paniai. Bahkan yang benar bagus itu sering bertentangan antara satu dengan lainnya. Ketiga, yang disebut kapasitas versus mutasi. PNS yang berkompeten dan mampu sering tidak ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan kemampuannya (the right man on the right place/job), karena mutasi itu ada pada pimpinan politik,sehingga keputusan mutasi sarat dengan muatan politik.
Dalam bab pertama penulis mengangkat tema tentang UU Otsus yang buram alias KJ kurang jelas. Menurutnya tidak pernah ada kejelasan tentang grand design Otsus Papua. Kebijakan yang muncul setelah Otsus justru membuat jalan pencapaian Otsus semakin jauh. Selanjutnya Pemerintah di Jakarta membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang diklaim sebagai upaya pendekatan kesejahteraan bagi penyelesaian persoalan Papua. Jika benar demikian, mengapa Kepala UP4B seorang jenderal? Bahkan Rumaseb heran karena setiap ada persoalan di Papua, mengapa pemerintah mengapa Menkopolkam, Kapolri, Badan Intelejen Negara(BIN) yang dikirm ke Papua? Mengapa bukan Menkokesra, Mendikbud atau Menkes?
Persoalan ini bagi Rumaseb jelas menandakan ketidakseirusan pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan “Kesesatan pikir ini muncul di semua elemen di tingkat pemerintahan. Belum ada upaya serius menciptakan kesejahteraan di Papua.
Bahkan kewenangan yang mengatur tentang Papua justru menimbulkan masalah baru terkait perebutan kewenangan.”Saling lempar tanggungjawab,”tulis Rumaseb. Pembentukan Peraturan Pemerintah(PP) sebagai tindak lanjut UU Otsus sangat lambat. Selain itu, Perdasus dan perdasi penting juga gagal dibuat. Jakarta menunjuk Papua karena tak becus memanfaatkan kelimpahan kewenangan, Papua balik menunjukan Jakarta karena tak serius menerbitkan aturan pelaksanaan.
Di Jakarta tidak bisa ditemukan pemerintah pusat. Ketika masalah Papua muncul, tidak jelas pembagian kewenangan antara UP4B,Kemendagri, Desk Papua di Menkopolhukam, staf Khusus Felix wanggai atau utusan khsus Farid Husain.
Lebih parah lagi seluruh lembaga ini tidak saling sapa dan duduk bersama mendiskusikan persoalan di Papua.”Ujung-ujungnya aparat keamanan juga yang dikirim ke Papua.” Bukan hanya itu saja yang ditulis Rumaseb tetapi kata “orang asli Papua” akan selalu menimbulkan persoalan. Padahal tindakan afirmative ras melanesi justru bertentangan dengan semangat kewarganegaraan yang seharusnya menjadi dasar pembentukan negara modern.
Kesaksian dari seorang Pamongpraja Papua ini jelas mengungkapkan kalau selama 10 tahun Otsus Papua berjalan tak memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Indeks pembangunan Manusia(IPM) tetap berada pada peringkat bawah.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) tentang penyelenggaraan dana Otsus sebesar Rp 380 milyard tidak pernah diusut tuntas. Ironinya dana Otsus tetap saja disalurkan. Di tingkat pemerintah pusat tidak ada keseriusan menelisik dana Otsus.
Salah satu kritikan Rumaseb terhadap Otsus yang dinikmati oleh pejabat dan bukan rakyat sehingga ada sebuah sindiran terhadap pejabat orang Papua dengan singkatan “6B” yang artinya bos, bar, bir, bon dan bui. Artinya menuntut jabatan untuk jadi bos, hanya demi uang, setelah punya uang masuk bar, cari minuman bir untuk mabuk cari perempuan untuk kencan bor, uang habis tinggalkan utang bon dan terakhir masuk penjara, bui.(Jubi/Dominggus A Mampioper)

02.48 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman