Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

NGO claims mixed results on Jakarta's Papua media policy

Written By Unknown on Selasa, 17 November 2015 | 21.33

The Governor of Papua Province,Lukas Enembe, (far left), 
welcomes the Indonesian President Joko Widodo.
Human Rights Watch says Indonesia's new policy on foreign media access to West Papua has had mixed results.
It's six months since President Joko Widodo announced that restrictions on foreign journalists visiting Papua were being lifted.
While a handful of foreign journalists have visited, HRW says there is extremely uneven implementation of Jokowi's policy.
HRW Asia's deputy director Phelim Kine says that within elements of Indonesia's government and security forces, there remains severe resistance to allowing access to Papua.
"It's going to be a long-term process to bring those elements of the government and security agencies who have implemented these restrictions over more than a quarter of a century to step back and to allow foreign media to actually allow foreign media to actually have that unimpeded access that President Joko Widodo - to his credit - has announced should be the case."
Phelim Kine says foreign NGOs, UN rights experts and academics remain restricted from visiting Papua.
HRW is today releasing a new report, "Something to Hide? Indonesia's Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua", which also documents regular self-censorship by journalists based in Papua and the security forces' manipulation of local media outlets.
Mr Phelim Kine says the president's announcement in May was welcome but has been very unevenly applied.
He says it's important that president Widodo send an explicit directive on the policy for all Indonesian security agencies and ministries to follow.
"The absense of that document in a bureaucratic system provides wide wiggle room for bureaucrats to not let people go to Papua. The second thing - and this is hugely important - the government needs to lift its restrictions on access to Papua by international non-government organisations, UN experts and foreign academics."


Sumber : http://www.radionz.co.nz

21.33 | 0 komentar

Two Indonesian soldiers convicted for Papuan deaths

Two Indonesian soldiers have been convicted and imprisoned for their role in the deaths of two Papuans in Mimika in August.

Jayapura port, Papua 
The Jakarta Post reports that the court sentenced Makher Rehatta and Gregorius R. Geta to prison terms of 12 years and three years respectively for murder and aggravated assault.
Two other soldiers are still on trial for their role in the incident in which the four soldiers, who were allegedly drunk, opened fire with assault rifles on a group of Papuans who were holding a local Thanksgiving ceremony in front of a church in Mimika regency.
Human Rights Watch has welcomed the conviction as a rare example of accountability over military abuses in Papua.
However the NGO says it's only a start, since there are many other military abuses which have not been investigated.
In the rare cases where soldiers have been convicted by a military court, the sentences have been extremely lenient.

Sumber : http://www.radionz.co.nz
21.26 | 0 komentar

Pacific News Minute: Unrest in West Papua After Police Shooting

Written By Unknown on Jumat, 02 Oktober 2015 | 11.21

Credit Wikipedia Commons
Protests in West Papua this week, after Indonesian Police shot two 17 year old boys - one of whom died. This is the fifth time this year that civilians have been fired on by soldiers or police in the restive province, with now eight reported killed.  We have more from Neal Conan in the Pacific News Minute.
According to reports, Indonesian police pursued two seventeen year old high school students near a market on Monday and opened fire.  Kaleb Bogau was hit in the chest and died on the scene.  Efrando Sabarofek was wounded in the chest and leg and was reported in critical condition.  As yet, there's been no public statement by police, but Kaleb Bogau's family described the shooting as a political assassination and reportedly refused an apology sent by text message from Paulus Waterpau, the regional chief of police.

The dead boy's father, the Reverend Obed Bogau, is active in a West Papuan independence group. Reports say he asked police to investigate both this case and an incident last month in the same area:  Timika, when soldiers fired into a group of ethnic Kamoros at a traditional celebration and killed two.  Shortly afterwards, an Indonesian Military Spokesman said the soldiers had been attacked by a mob and fired in self-defense, but the Regional commander, Brigadier General Supartidi, told the Jakarta Post that two officers were drunk when they fired into the crowd and had been arrested.

Last month, West Papuan activists appealed to the Pacific Islands Forum to send a team into West Papua to investigate human rights abuses.  The Indonesian representative bluntly told the Forum to "stay out of our business, and not to meddle in the internal affairs of a sovereign state".  There was no move to establish a fact finding mission.

Sumber : http://hpr2.org

11.21 | 0 komentar

O’Neill : PNG akan Bicara Soal Papua Barat di PIF

Written By Unknown on Rabu, 09 September 2015 | 15.10

Perdana Menteri PNG, Peter O'Neill berfoto bersama perwakilan CSO Pasifik usai pertemuan dengan CSO Pasifik - Jubi
Jayapura, Jubi – Isu Papua Barat terus berdengung di Pasific Islands Forum (PIF). Papua Nugini (PNG) sebagai tuan rumah, tak bisa menghindar dari isu ini. Peter O’Neill, Perdana Menteri Papua Nugini yang akan menjadi Ketua PIF berikutnya, menegaskan lagi posisi PNG dalam isu Papua.
Sebagaimana tradisi di PIF, Troika Leaders PIF yang terdiri dari ketua sebelumnya (Kepulauan Marshall), ketua saat ini (Palau) dan ketua selanjutnya (PNG) yang akan menjabat Ketua PIF selama beberapa tahun kedepan, diagendakan untuk bertemu Perwakilan Masyarakat Sipil Pasifik (CSO). Pertemuan Troika Leaders dengan CSO ini dilaksanakan Selasa (8/9/2015) pagi, usai jamuan makan pagi untuk delegasi PIF.
Menjawab pertanyaan CSO tentang isu Papua Barat yang menjadi satu dari lima isu yang diagendakan untuk para pemimpin PIF, O’Neill kembali menegaskan bahwa pemerintahnya akan berbicara soal Papua Barat dalam pertemuan para pemimpin PIF nanti.
“PNG akan Bicara Soal Papua Barat di PIF. Pemerintah PNG secara positif terlibat dengan Pemerintah Indonesia untuk masalah Papua Barat. Pasifik tidak bisa bicara tentang Papua Barat dalam isolasi. Pasifik harus bicara soal tentang Papua dengan Indonesia dalam satu meja yang sama,” ujar O’Neill.
Ia menambahkan, Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua sudah berada dalam forum yang sama, yakni Melanesian Spearhead Group (MSG). Dua pihak ini bisa secara langsung bertatap muka untuk menyelesaikan persoalan Papua. O’Neill menegaskan, ia berpegang pada asas kebudayaan Melanesia yang menghendaki masalah Papua diselesaikan di “para-para adat” Melanesia karena issue Papua Barat sudah tidak dapat disembunyikan lagi dan telah merupakan masalah regional.
O’Neill sangat berharap, hal ini bisa menjadi keputusan PIF dalam beberapa hari kedepan. Harapan O’Neill ini didukung oleh dua anggota Troika Leaders lainnya. Ketiganya juga berjanji pada perwakilan CSO, akan membawa lima isu yang diusulkan oleh Sekretariat PIF dan masyarakat sipil Pasifik dalam pertemuan para pemimpin PIF dalam beberapa hari ke depan. Kelima isu tersebut adalah perikanan di Pasifik, perubahan iklim, dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)di Papua Barat, kanker serviks dan Informasi, Komunikasi dan Teknologi.
Apa yang disampaikan oleh O’Neill ini tak berbeda jauh dengan sikap PNG dan Fiji dalam pertemuan pemimpin Melanesia Spearhead Group (MSG) bulan Juni lalu di Honiara. Saat itu, dua negara ini berpandangan masalah Papua Barat harus diselesaikan dengan melibatkan Indonesia. Perdana Menteri Fiji, Veroqe Bainimarama jelas menyebutkan United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) yang diterima sebagai observer di MSG merupakan badan yang signifikan mewakili pandangan orang-orang Papua Barat di luar Papua. Ia juga percaya bahwa ULMWP memiliki pandangan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk rakyat Melanesia di Papua Barat.
Keputusan MSG menerima ULMWP sebagai observer, kata Bainimarama adalah untuk kepentingan semua orang.
“ULMWP harus dibawa ke dalam proses perubahan bangsa Melanesia di Papua. Ini kesempatan untuk ULMWP. ULMWP harus menggunakan hak istimewa ini untuk bekerja sama dengan MSG membawa perubahan untuk rakyat Papua Barat,” kata Bainimarama.
Saat itu, Bainimarama juga mengatakan semua pihak dalam MSG harus melangkah menuju era baru, kerjasama semua pihak untuk mencapai hasil terbaik bagi bangsa Papua Barat. Indonesia dan Papua yang diwakili oleh ULMWP, kata Bainimarama, bisa berdiskusi tentang rakyat Papua Barat di rumah yang sama, MSG.
Setelah pertemuan dengan CSO ini, O’Neill menyampaikan kepada wartawan bahwa United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) telah mendaftarkan aplikasi keanggotaan di PIF. Namun O’Neill berpandangan, aplikasi tersebut akan ditolak oleh para pemimpin PIF.
“Itu butuh waktu. Saya pikir para pemimpin belum akan menerima aplikasi itu,” ujar O’Neill.
Kenn Mondiai, Ketua PNG Union for West Papua (PNGUWP) yang menghadiri pertemuan CSO dengan Troika Leaders PIF mengatakan CSO di Pasifik menyampaikan kepada Troika Leaders bahwa isu penentuan nasib sendiri termasuk dengan Papua Barat telah diangkat di berbagai forum pemimpin Pasifik selama bertahun-tahun. Tapi sangat sedikit yang dilakukan untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat yang berkembang dan terus membanjiri media.
“Sekarang waktunya. Dan pemimpin Pasifik saat ini harus bertindak untuk menyelesaikan masalah ini secara adil dan damai. PNG memiliki peran penting untuk bermain di forum ini. Dan sebagai tuan rumah serta ketua PIF untuk periode berikut, kami menyerukan Perdana Menteri Peter O’Neill dan rekan-rekan Pasifik untuk bertindak secara moral dan sadar ketika berunding tentang Papua Barat,” kata Mondiai. (Victor Mambor)

Sumber : http://tabloidjubi.com

15.10 | 0 komentar

Sekian Lama Bungkam untuk Papua, Masyarakat Pasifik Minta Maaf

Written By Unknown on Selasa, 08 September 2015 | 02.30

Emele Duituturaga, Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO) - Jubi
Jayapura, Jubi – Pada tahun 1965, sedianya pertemuan konferensi Komisi Pasifik Selatan (SPC) keenam dilakukan di Hollandia (sekarang Jayapura). Saksi bisunya masih ada. Pemerintah Belanda membangun Gedung DPRD Papua untuk pelaksanaan Konferensi Pasifik Selatan ini. Namun pelaksanaan Konferensi SPC ini tidak terwujud. Papua Barat saat itu berada dalam status sengketa dan menunggu pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Sejak saat itulah, hubungan antara Papua dan negara-negara Pasifik seakan putus.
“Sejak tahun 70 an, hubungan Papua dengan Pasifik putus. Sejak itulah kami tidak tahu apa yang terjadi di Papua Barat. Padahal, Papua Barat sebelumnya adalah bagian dari Komisi Pasifik Selatan,” kata Emele Duituturaga, Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO) kepada Jubi, Senin (7/9/2015).
Emele menambahkan, sejak media sosial hadir, masyarakat sipil di Pasifik mendapatkan akses untuk tahu apa yang terjadi di Papua Barat. Media sosial, memberikan informasi tentang kekerasan di Papua Barat, selain pembangunan yang terjadi selama hubungan antara Papua Barat dengan Pasifik terputus.
“Media mainstream dan media sosial, memungkinkan kami mendapatkan informasi langsung dari Papua Barat tentang kekejaman pelanggaran HAM, sehingga kami bisa mengkonfirmasinya. Karena itulah kami bisa mendesak misi pencari fakta atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia,” kata Emele.
Sejak konferensi Komisi Pasifik Selatan (SPC) keenam gagal dilakukan di Jayapura, Papua Barat memang tak memiliki akses dengan Pasifik. Hubungan dengan Pasifik dalam segala lini putus dan beralih ke Jakarta. Demikian juga sebaliknya, negara-negara Pasifik seakan tak memiliki sejarah dengan Papua Barat. Sama halnya dengan masyarakat sipil di Pasifik. Segala peristiwa yang terjadi di Papua Barat, luput dari perhatian mereka. Kekerasan, pembunuhan, perampasan tanah, hingga “pembunuhan” budaya orang asli Papua, melintas begitu saja di atas Pasifik. Mereka bungkam.
Namun lima tahun terakhir, solidaritas Pasifik untuk Papua muncul. Seperti dikatakan Emele, solidaritas ini muncul seiring eksisnya media sosial di Pasifik sebagaimana di belahan dunia lain.
“Pasifik tidak bisa diam lagi. Terutama masyarakat sipilnya. Masyarakat sipil di pasifik berkewajiban membuat pemerintah mereka peduli pada apa yang terjadi di Papua Barat,” kata Emele.
Masyarakat Sipil di Pasifik, lanjut Emele, sepakat untuk mendesak pemimpin negara-negara Pasifik yang akan bertemu minggu ini dalam Pasific Islands Forum (PIF) di Port Moresby untuk membicarakan masalah Papua Barat, selain perubahan iklim.
“Dua hal yang kami dorong untuk pemimpin-pemimpin di Pasifik, perubahan iklim dan dugaan pelanggran HAM di Papua Barat,” ujar Emele.
Perempuan Fiji ini juga mengatakan masyarakat sipil di Pasifik meminta maaf karena telah bungkam sekian lama atas penderitaan saudara-saudara mereka di Papua Barat.
“Dalam pertemuan Pacific’s Civil Society Organisations di Port Moresby 1-3 September lalu, kami telah menyampaikan pada publik permintaan maaf kepada rakyat Papua Barat atas ketidakpedulian kami dan sekian lamanya kami bungkam, tidak bereaksi atas penderitaan saudara-saudara kami di Papua Barat,” jelas Emele.
Ia menambahkan, dua rekomendasi dari pertemuan Pacific’s Civil Society Organisations ini akan disampaikan dalam Civil Society Organisation Regional Forum di Port Moresby, yang dimulai hari Senin (7/9/2015) .
Perempuan Pemimpin Masyarakat Sipil Pasifik lainnya, Pefi Kingi QSM yang mewakili Pacificwin-Vagahau Niue Trust, mengatakan masyarakat sipil di Pasifik sepakat untuk mendesak negara-negara Pasifik yang hadir dalam PIF untuk mengirimkan misi pencari fakta ke Papua Barat yang terdiri dari delegasi PIF, masyarakat sipil dan pemimpin gereja. Pertemuan masyarakat sipil se Pasifik ini juga sepakat untuk mendorong Papua Barat dikembalikan dalam daftar dekolonisasi PBB sebagai langkah penting untuk kemerdekaan Papua Barat.
“Kami kembali mengingatkan kepada para pemimpin negara-negara Pasifik, Pasifik belum bebas sampai Papua Barat merdeka,” ujar perempuan Maori ini.
Terpisah, Sekretaris Jenderal PIF, Dame Meg Taylor mengatakan suara masyarakat sipil menjadi prioritas utama dari sekretariat Forum Kepulauan Pasifik (PIFs). Suara masyarakat sipil, kata Meg taylor, sangat penting dalam mengembangkan kebijakan daerah, terutama informasi untuk para pemimpin negara-negara anggota PIF.
“Saya seorang pendukung utama masyarakat sipil, dan saya percaya bahwa masyarakat sipil yang kuat dan bersemangat sangat penting untuk wilayah kita,” ujar Meg Taylor saat membuka forum regional Organisai Masyarakat Sipil Pasifik di Port Moresby, Senin (7/9/2015).
Meg Taylor yakin, forum ini sangat penting karena menyediakan ruang bagi masyarakat sipil untuk memberikan masukan tentang beberapa isu kunci yang akan disampaikan pada forum pemimpin Kepulauan Pasifik. (Victor Mambor)

Sumber : www.tabloidjubi.com

02.30 | 0 komentar

Pembukaan PIF, KNPB Turun Jalan Teriak Merdeka

Aksi demo damai yang dilakukan KNPB, GempaR
dan simpatisannya dalam pernyataan sikapnya yang
mendukung PIF di Port Moresby, Papua Nugini - Jubi/mawel
Jayapura, Jubi – Komite Nasional Papua Barat (KNPB)  memobilisasi aksi massa  turun ke jalan mendukung pembukaan pertemuan pemimpin negara-negara Kepulauan Pasific di Moresby pada 7 -11 September mendatang.
Sejak pagi di depan Kantor Pos Abepura aparat kepolisian sudah berjaga-jaga di depan Ruko tempat yang biasa dipakai warga  untuk berdemo dan berorasi. Walau demikian KNPB Pusat di Jayapura tetap melakukan  aksi di depan Gapura Universitas Cenderawasih Jayapura, di Waena, kota Jayapura, Papua.
Massa aksi dari Sentani , Abepura dan Jayapura berkumpul dan melakukan orasi secara bergantian dari pukul 8:30 hingga 14:15.
“Papua….”teriak setiap aktivis yang menyampaikan orasi. Teriakan itu kemudian di sambut masa aksi dengan meneriakan “Merdeka” sambil mengancungkan kepalan tangan kiri sebagai simbol perlawanan damai.
Ketua 1 KNPB Pusat, Agust Kossay yang memimpin massa aksi dari Sentani tiba di lokasi pukul 12: 00 mengatakan kini saat Papua bebas dari penjajahan. Papua sudah cukup berada dalam penjajahan negara Kesatuan Republik Indonsia selama 53 tahun.
“Kami ingin bebas. Kami ingin bebas. Sudah saat Papua bebas dari NKRI,”teriak Kossay saat orasi politik di jalan depan gapura UNCEN.
Katanya, negara-negara Melanesia harus berbicara nasib dan penderitaan orang Papua. Negara-negara Melanesia tidak boleh tinggal diam karena pembebasan orang West Papua juga bagian dari pembebasan semua orang Melanesia di Pacific dari ancaman global.
“Pembabatan hutan, pengerukan sumber daya alam, penanaman kelapa sawit ini turut mendukung pemanasan global. Solusinya bicara negara-negara Pasific menerima West Papua menjadi pengamat di PIF supaya West Papua melalui ULMWP turut mencari solusi masalah West Papua dan Pasific seluruhnya,”katanya.
Bazoka Logo, Juru Bicara KNPB pusat mengatakan Pemerintah Indonesia tidak bisa lagi membatasi orang Papua membicarakan hak politik dengan stigma yang mengada-ada. Stigma Pencuri,Perampok, OTK, Makar, Separatis dan kriminal sudah tidak berlaku lagi.,
“Sejak status West Papua sebagai observer MSG pada 26 Juni di Honiara, stigma itu sudah habis dan tidak ada. Perjuangan hari ini damai dan bermartabat yang kita lakukan,”tegas Logo.
Kata Logo, kalau perjuangan orang Papua tidak diakui, masalah Papua tidak mungkin menjadi pengamat di MSG dan menjadi agenda di PIF. Masalah West Papua menjadi agenda PIF artinya suatu pengakuan.

“Kita harus tahu itu. Masalah kita tidak lagi pembicaraan di luar. Masalah kita menjadi masalah dan pembicaraan di dalam negara,”tegasnya. (Mawel Benny)

Sumber : http://tabloidjubi.com
01.01 | 0 komentar

LSM Pasifik Desak PIF Kirim Misi Ke Papua Barat


Jayapura, Jubi – Kelompok masyarakat sipil Pasifik mendesak Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum/PIF) mengirim misi pencari fakta ke Papua Barat, Indonesia, untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP) baru-baru ini meminta agar misi pencari fakta dari Forum utama negara-negara kepulauan di Pasifik dikirim ke (tanah) Papua untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Radio New Zealand melaporkan, perwakila masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah dari Pasifik telah bertemu di Port Moresby –ibukota PNG, sebelum forum KTT Pemimpin dari negara-negara Pasifik bertemu pekan depan.
Emele Duituturaga dari Asosiasi LSM Kepulauan Pasifik, atau PIANGO, mengatakan ada dua isu utama dari kelompok tersebut, yakni mereka menginginkan agar para pemimpin dalam Forum itu mengatasi masalah perubahan iklim dan Papua Barat.
Duituturaga mengatakan kelompok itu menginginkan perjanjian mengikat internasional tentang pengurangan emisi gas rumah kaca. Selain itu, dia juga mengatakan ini waktunya untuk melihat masalah Papua Barat.
“Kami memiliki informasi langsung dari Papua Barat atas kekejaman  pelanggaran HAM. Ya, kami tahu bahwa ini sedang dipertanyakan. Ini juga mengapa kita desak misi pencari fakta ke dalam pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Ini cukup mendesak,” kata Emele Duituturaga, mengutip Radio New Zealand, Jumat (4/9/2015).
Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat baru-baru ini diberikan status pengamat di organisasi sub-regional dikawasan Pasifik, Melanesia Spearhead Group (MSG).

Sementara itu, forum tandingan yang didirikan Frank Bainimarana (Fiji), Forum Pembangunan Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Development Forum/PIDF) yang telah berlangsung di Fiji mengangkat isu perubahan iklim menjadi agenda utama yang akan dibahas dalam pembicaraan tentang iklim skala internasional di Paris, November nanti. (Yuliana Lantipo)

Sumber : http://tabloidjubi.com
00.53 | 0 komentar

Tanpa Alasan Polisi di Wamena Tangkap dan Aniaya Tiga Rakyat Sipil

Written By Unknown on Sabtu, 05 September 2015 | 06.56

Wamena, 04/09/2015 - Lagi-lagi, aparat Kepolisian Republik Indonesia bertindak brutal terhadap rakyat sipil Papua, di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Aparat Kepolisian Republik Indonesia, dari satuan resort Jayawijaya, pada hari Jum'at, 04 September 2015 pukul 17:00 WP, melakukan penganiayaan dan penangkapan terhadap tiga orang rakyat sipil, masing-masing atas nama ; Rony Kogoya (32), Yefri Kogoya (28) dan Esmon Murib.
Kejadian bermula, ketika ke tiga korban penganiayaan dan penangkapan ini, sedang duduk santai di teras depan Wamena Mall, lalu tanpa sebab dan alasan apapun, mereka tiba-tiba didatangi oleh enam orang anggota kepolisian dari resort Jayawijaya bersenjata lengkap yang langsung mengeluarkan rentetan tembakan ke udara, dan kemudian membekuk mereka bertiga dan kemudian dianiaya dengan menggunakan popor senjata.
Wendi W dan Esap W yang melihat peristiwa ini menturkan bahwa, mereka sempat melihat ke tiga saudara tersebut sedang duduk-duduk santai di depan Wamena Mall, dan sempat saling tegur sapa, namu mereka mengaku kaget ketika melihat polisi datang dengan senjata lengkap lalu menangkap mereka, "kami tadi lihat tiga saudara itu ada duduk santai di depan mall, baru kami pergi, tapi tidak lama kami dengan rentetan tembakan, jadi kami kembali, dan ternyata tiga saudara yang tadi ada duduk itu sedang dikepung enam anggota polisi bersenjata lengkap, mereka dipukul dengan popor senjata, hingga saudara Rony Kogoya jatuh di tempat, karena dipukul dengan popor senjata pas di uluh hati", ungkap Wendi dan Esap.
"Kami bingung dan sempat bertanya alasan penangkapan dan penganiayaan yang dilakukan oleh Polisi terhadap tiga saudara ini, tetapi Polisi jawab tiga orang ini adalah bagian dari kelompok pengacau keamanan, tetapi kami rasa itu hanya alasan Polisi saja, sebab kami kenal tiga orang ini, dan kami tahu mereka adalah rakyat biasa dan orang baik. Kami bingung dan kasihan, melihat apa yang dilakukan Polisi terhadap tiga saudara kami ini, mereka tadi hanya duduk-duduk saja, baru polisi datang main tembak dan main pukul saja tanpa alasan," tegas Wendi dan Esap kembali menjelaskan.
Menurut informasi yang diperoleh, ketiga orang ini hingga saat ini, masih di tahan di Satuan Kepolisian Resort Kota Jayawijaya.[wpnews]

06.56 | 0 komentar

Benny Wenda: Untuk Papua Barat, ULMWP dan semua keluarga Melanesia, dan Pasifik.

Benny Wenda
Papua Nugini (PNG) telah menolak aplikasi visa saya untuk memasuki negara itu untuk kedua kalinya. Saya kecewa bahwa PNG sebagai negara demokrasi yang menghargai demokrasi, kebebasan dan keadilan telah mengambil keputusan ini. Yang pertama, saya diberitahu bahwa masalah ini adalah masalah administrasi dan alasan yang diberikan adalah bahwa saya tidak melengkapi dokumen keimigrasian yang diperlukan PNG dan prosedurnya.

Untuk menghadiri undangan Gubernur Distrik Ibu Kota Nasional (NCD), Hon. Powes Parkop untuk menghadiri konferensi pengungsi hak asasi manusia, dan juga mengambil bagian dalam acara lainnya termasuk perayaan kemerdekaan 40 PNG, dan Pulau Forum Pasifik dalam kapasitas saya sebagai juru bicara United Liberalition Movement for West Papua (ULMWP); Saya meluncurkan aplikasi visa penuh yang diperiksa oleh pengacara saya dan dahului dengan pemesanan penerbangan.

Beberapa jam sebelumnya saya naik ke pesawat dari London Heathrow ke Port Moresby minggu ini, saya menemukan bahwa imigrasi PNG menolak permohonan visa saya, dan sebagai hasilnya, saya telah membatalkan perjalanan ke PNG. Tidak ada rincian yang tepat atau penjelasan resmi dari Komisi Tinggi PNG di London mengapa aplikasi visa saya ditolak.

Saya menghormati keputusan Pemerintah PNG dan departemen imigrasi, tetapi dengan ini saya memohon kepada pemerintah untuk tidak menghukum perjuangan rakyat Papua Barat. Saya sangat mendorong Perdana Menteri, Peter O'Neill dan semua pemimpin Pasifik untuk berdiri teguh sebagai pemimpin Pasifik dan mendukung isu Papua Barat di pertemuan minggu depan.

Papua Barat adalah salah satu dari lima bidang prioritas teratas pada pertemuan Pacific Island Development Forum, dan saya menghimbau kepada masyarakat PNG dan Pasifik untuk menggalang dukungan Anda pada rekomendasi ditetapkan sebelum para pemimpin.

Kami ULMWP menghimbau para pemimpin Pasifik kami untuk membentuk sebuah delegasi tingkat tinggi PIF untuk melakukan sebuah misi pencarian fakta untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat; dan untuk mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menunjuk seorang utusan khusus HAM untuk Papua Barat.

Ada dukungan yang berkembang di Pasifik, dan saya ingin berterima kasih secara pribadi saudara Pacific saya dan saudara yang selalu mendukung perjalanan kebebasan kita. Silakan terus mendukung rakyat Papua Barat dalam perjuangan kami untuk kebebasan. Terima kasih juga untuk teman-teman di Australia, Selandia Baru, dan mereka secara global yang terus mendukung gerakan kebebasan Papua Barat.


Benny Wenda


Pemimpin Kemerdekaan Papua Barat 
Juru Bicara United Liberalition Movement for West Papua

Papua Merdeka!
05.44 | 0 komentar

Inilah Kronologis Penembakan Tujuh Warga Versi Keuskupan Timika

Warga mengarak jenazah Yulianus Okoare (18) dan Imanuel Marimau (23), korban tewas akibat ditembak anggota TNI di Timika, Mimika, Papua, Jumat (28/8). Dua orang warga sipil tewas dan sejumlah lainnya luka-luka dalam insiden yang terjadi pada Jumat (28/8). Jubi/Antara
Jayapura, Jubi – Gereja Katolik Keuskupan Timika secara resmi merilis kronologis penembakan terhadap tujuh warga sipil oleh oknum TNI dari kesatuan Kodim 1710 di Koperapoka, Timika, pada 27 Agustus 2015 lalu.
Dalam rilis yang diterima Jubi, Jumat (4/9/2015), yang ditandatangani Mgr. John Philip Saklil, Pr. disebutkan, sebelum kejadian itu, orang-orang Kamoro menggelar dua acara untuk mengucap syukur atas keberhasilan Leonardus Tumuka sebagai seorang putera suku Kamoro pertama yang meraih gelar doktor.
Pertama, menyelenggarakan malam kesenian adat suku Kamoro dengan menampilkan acara “tifa duduk” (menabuh tifa dalam posisi duduk/kadang berdiri sambil menyanyikan lagu adat dan menari, yang biasanya berlangsung semalam suntuk).
Kedua, penyambutan secara umum/nasional berupa resepsi dengan mengundang para tokoh dari adat, agama dan pemerintah, PT. Freeport dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LEMASKO).
Acara pertama diselenggarakan di rumah serba guna milik gereja Katolik (bekas gedung Gereja Katolik Santo Fransiskus) di jalan Bhayangkara, Koperapoka Timika, pada tanggal 27 Agustus 2015.
Acara kedua sedianya akan diselenggarakan pada tanggal 28 Agustus 2015 di hotel Serayu Timika.
Dalam acara “tifa duduk” pada tanggal 27 Agustus 2015, terjadilah kejadian tragis, penembakan yang dilakukan oleh aparat militer terhadap 7 (tujuh) orang warga sipil. Lima orang luka-luka dan dua orang tewas seketika.
Kronologi Kejadian
Pertama, pihak gereja mengatakan, sudah dari jauh hari, acara dipersiapkan dalam sejumlah rapat/pertemuan yang diadakan di rumah keluarga Gerry Okoare. Dan dalam salah satu rapat itu diputuskan bahwa acara pesta adat akan dilaksanakan di Kompleks Gereja St. Fransiskus Koperapoka. Pada sore hari, 27 Agustus 2015, massa sudah mulai berkumpul di sekitar halaman gereja dengan segala persiapan pesta. Menjelang malam, masyarakat bersama aparat keamanan (polisi) menutup jalan masuk ke arah gereja di jalan Bhayangkara, karena tempat acara “tifa duduk” diadakan di halaman samping gereja, dekat Jalan Raya Ahmad Yani.
Kedua, pada 28 Agustus 2015, sekitar pukul 01.20 waktu setempat, sebuah motor yang berboncengan berusaha menerobos barikade jalan yang sudah ditutup. Para pemuda OMK (Orang Muda Katolik) yang berjaga menegur pengendara sepeda motor tersebut. Namun kedua orang itu tidak menerimanya dengan baik. Mereka turun dari sepeda motor dan terjadilah pertengkaran mulut. Kedua orang tadi sempat mengancam pemuda OMK dengan mamakai pisau sangkur sehingga memicu terjadinya kontak fisik (perkelahian).
Melihat perkelahian yang tidak berimbang (dua orang melawan belasan pemuda OMK), para tetua adat Kamoro turun tangan untuk melerainya, sebab dikhwatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kedua orang tadi dipukul hingga babak belur atau bahkan mati. Kemudian barulah diketahui bahwa kedua orang tersebut adalah anggota militer dalam keadaan mabuk. Sesudah situasi agak reda, kedua anggota tentara itu melarikan diri.
Ketiga, sekitar pukul 02.00 dini hari waktu Papua, datang lagi dua orang lain dengan menggunakan sepeda motor, tetapi bukanlah dua orang yang datang sebelumnya. Satunya menenteng senjata api laras panjang. Mereka turun dari motor dan langsung menuju ke pintu masuk halaman gereja. Melihat gelagat mereka, sejumlah pemuda OMK mencoba untuk menghalangi mereka. Namun dengan menodongkan senjata kepada pemuda OMK, mereka berteriak “siapa yang pukul anggota?” Banyak ibu serta anak-anak yang ketakutan berusaha menyelamatkan diri dengan memanjat tembok pagar gereja.
Katanya, kedua orang itu sempat masuk sampai ke dalam halaman gereja dengan posisi laras senjata yang diarahkan kepada massa. Namun sejumlah ibu yang masih ada di halaman gereja mengadakan perlawanan dan berusaha menghalau kedua orang itu sambil berteriak: “keluar, ini gereja”. Lalu, dibantu oleh anak-anak muda OMK, para ibu ini terus menghalau kedua orang tersebut ke luar halaman gereja, bahkan hingga ke pertigaan jalan Ahmad Yani. Saat itulah terdengar bunyi rentetan tembakan membabi buta. Dan bersamaan dengan bunyi tembakan tersebut, berjatuhanlah beberapa orang sipil, terhitung 7 (tujuh) orang korban.
Keempat, sekitar pukul 03.10 WP, para korban dievakuasi ke rumah sakit terdekat (RSUD Mimika dan RSMM Timika).
Kelima, data terakhir dari para korban hingga hari ini, 01 September 2015: 2(dua) korban telah meninggal dunia, 1 (satu) orang dalam kondisi kritis dan 4 (empat) lainnya yang luka berat maupun ringan dalam proses perawatan.
Identitas Para Korban Meninggal
Pertama, Imanuel Herman Mairimau (23) korban meninggal kena tembakan di bagian leher tembus kepala. Ia meninggalkan seorang isteri dan anak. Kedua, Yulianus Okoware (23) Korban meninggal bagian perut tembus belakang.
Identitas korban luka-luka
Pertama, Thomas Apoka (24) terkena tembakan pada telapak kaki kanan. Sedang menjalani perawatan di RSUD Mimika. Kedua, Martinus Imaputa (17) seorang pelajar terkena tembakan pada dada kiri. Kondisi kritis sedang menjalani perawatan di Ruma Sakit Mitra Masyarakat Timika. Ketiga, Moses Emepu (24) terkena tembakan di paha kanan, menjalani perawatan medis di RUSD Timika. Keempat, Martinus Afukafi (24) terkena tembakan di pingan kiri, sedang menjalani perawatan di RMM Timika. Kelima, Amalia Apoka (wanita 19 tahun) terkena tembakan pada kaki kanan, menjalani berobat jalan.
Identitas Pelaku
Pertama, Makher berpangkat Serka anggota TNI kesatuan Kodim 1710. Pelaku sedang ditahan den POM Timika. Kedua, Ashaar berpangkat Sertu, anggota TNI Kodim 1710 sedang ditahan Den POM Timika. (Mawel Benny)


05.23 | 0 komentar

Massa Beratribut Bintang Kejora Demo Tuntut Kemerdekaan Papua

Demo mahasiswa Papua di Malang. ©2015 merdeka.com/darmadi sasongko
Merdeka.com - Massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar demontrasi di Alun-alun Bundaran Tugu, Kota Malang, Jumat (4/9). Massa membentangkan berbagai spanduk tuntutan, serta atribut bergambar Bintang Kejora.

Gambar Bintang Bejora dibentangkan dalam selembar kertas seukuran bendera. Selain itu, juga pada selembar syal yang dikalungkan di leher.

Beberapa tuntutan mereka berbunyi NKRI stop kirim militer Indonesia ke tanah Papua, Amerika Serikat bertanggung jawab atas manipulasi sejarah rakyat Papua Barat, hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokrasi bagi rakyat Papua Barat.

Beberapa juga menampilkan foto-foto kekejaman yang mereka klaim sebagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh TNI di Papua. Massa juga berorasi menyuarakan menuntut pembantaian di Papua Barat dihentikan.

"Perilaku Indonesia melalui aparat keamanannya atau gabungan militer Indonesia masih saja melakukan tindakan tidak manusiawi terhadap rakyat sipil dan tokoh Papua," kata seorang orator.

"Walaupun Jokowi membuka kantornya di Papua, itu bukan berarti menyurutkan niat kami untuk merdeka," kata orator yang lain.

Juru bicara aksi demo, Nhoten Suhuniap mengungkapkan bahwa aparat di lapangan masih melakukan tindakan-tindakan represif. Indonesia harus melakukan penyelesaian dan proses hukum atas tindakan TNI.

"Terakhir telah terjadi penculikan tiga warga Papua akhir bulan lalu. Representasi pemerintah harus bertanggung jawab. Selama selalu saja tidak pernah ada penyelesaian," kata Nhoten.

Nhoten menuntut Indonesia sebagai negara hukum, penyelenggara negara yang melakukan pelanggaran harus ditindak sesuai hukum. Pihaknya berharap pemerintah melakukan tindakan hukum.

"Selama ini belum pernah ada penyelesaian akhir. Tidak pernah ada penyelesaiannya, kendati pelanggaran berat terjadi," katanya.

Demo berjalan dengan penjagaan sangat ketat. Arus lalu lintas yang biasanya memutar Alun Alun Bundar, sempat dibelokkan ke kanan dari arah stasiun. Arus terlihat padat, kendati tetap lancar.

Sementara Wakapolres Kota Malang, Kompol Dewa Putu mengungkapkan pihak keamanan mengabil sikap kooperatif. Selama tidak anarkis, pihaknya tidak akan mengambil tindakan tegas.

"Selama tidak anarkis tidak masalah, mereka damai kita juga damai. Kita akan jalankan pengamanan sesuai protap, pasukan siap semua," kata kompol Dewa Putu di sela pengamanan.

[cob]
Sumber : www.merdeka.com
01.54 | 0 komentar

After 10 years, West Papua activist looks set to walk free

Written By Unknown on Sabtu, 22 Agustus 2015 | 03.41

West Papuan independence activist Filep Karma.
 The West Papuan political activist, Filep Karma, is reportedly close to walking free after ten years in prison.

Indonesia's government has reportedly guaranteed Mr Karma's security and freedom of speech once he leaves prison.
Late last week, he rejected an offer of remission on Indonesia's National Independence Day, which was two days ago, saying he would only accept an unconditional release.
Mr Karma has been serving a 15-year jail sentence for treason in Papua's Abepura Prison, after he raised the banned Morning Star flag at a political rally in 2004.
He said he would be happy to walk free the day after National Day, as long as his release was "unconditional".
Mr Karma says he did not commit any crime by raising the flag, and would continue to campaign for West Papuan independence.
Indonesian CNN reports the government as signalling that once out of prison, Filep Karma is free to exercise his democratic rights.

Sumber : http://www.radionz.co.nz
03.41 | 0 komentar

West Papua: Not a bad start for Sogavare

Written By Unknown on Rabu, 24 Juni 2015 | 04.01

WE all want our government to support the United Liberation Movement for West Papua’s (ULMWP) bid for membership of the Melanesia Spearhead Group (MSG).
Prime Minister Manasseh Sogavare last Thursday responded to that call.

The Government, he says, will vote to bring West Papua into the MSG fold on “observer status”.

The highly anticipated announcement was received with mixed reactions.

Some say the position is “too soft”.

Others say it is ambiguous.

While others say it’s confusing.

Expectation is the government must support West Papua’s full member into the MSG family.

We are sure Prime Minister Sogavare made the decision to welcome West Papua into the MSG fold on observer status based on advice received from his army of advisers.

At the moment, East Timor and Indonesia enjoy observer status at MSG.

Indonesia has since applied for associate membership status – an application that will also be decided by MSG leaders in Honiara next Wednesday.

West Papua’s application will also be decided at the same meeting.

The government’s decision to support West Papua attaining observer status on MSG may not go down well with many of us.

But it’s a breakthrough for the United Liberation Movement for West Papua and local West Papuan supporters who’ve campaign and lobbied hard for this cause.

The worst we could get from the government is an outright rejection of West Papua’s application.

By giving them observer status, we have finally invited West Papua into the room to access and listen to discussions and deliberations.

And who know, this may be just a start. In a year or two, they may get full membership status.

Remember the political leaders who make these decisions now will not be up there forever.

Some, if not all, may be gone in a year or two.

But the West Papua issue will remain. It’s an issue we all must continue to push to the front burner for public debate and discourse.

So it’s not a bad start for Prime Minister Sogavare and the DCC government.




04.01 | 0 komentar

West Papua: a hard choice, but a simple one

No matter how we slice and dice the issue of West Papuan independence, it always comes down to this: Do the indigenous peoples of a distinct and discrete land mass have the democratic right to self-determination or not?
The answer, according to international law and standards, is an unequivocal yes.
Even a cursory examination of history reveals that Indonesia has systematically ignored and subverted the desires of the people who share the island of Papua with their cultural and ethnic brethren and sistren in Papua New Guinea. They have oppressed these people using military force, and their policies in the region have from the beginning been designed to silence the voice of the indigenous people there.
Indonesian president Joko Widodo’s protestations notwithstanding, there is no free press in the Papuan provinces. Police and military continue to claim in the face of incontrovertible evidence that there is no unrest. And still they claim that even advocating for independence is a crime. Attending a peaceful demonstration is considered grounds for arrest and incarceration. Political activity can get you tortured or killed.
Virtually all of the independence leaders living in exile have faced systematic persecution extending across borders. After he escaped prison and fled for his life, Benny Wenda faced years of forced immobility because of a flagrantly erroneous Interpol ‘red notice’, which falsely accused Mr Wenda of arson and murder.
Just last month, Mr Wenda was denied entry into the United States following an interview with US Homeland Security personnel. No reason was provided at the time. Presumably, the terrorist watch-list, or a similar international mechanism, is being used to curtail his visibility on the world stage.
It needs to be said that Jokowi, and Susilo Bambang Yudhoyono before him, would do more if they could. But the plain truth is that civilian rule of law does not extend to the Papuan provinces. These frontier areas are the under the hegemony of the Indonesian military. The wealth they derive from this island is such that they are content to conduct what has been characterised as a “slow-motion genocide” in order to perpetuate their own prosperity.
It’s despicable, frankly. But nobody seems to have either the power or the political will to end this tyranny. One can argue realpolitik, and claim that Indonesia is moving in the right direction, but it’s clear that politicians in Jakarta allow these depredations to continue on Melanesian peoples even while they take great strides to protect their ethnically Asian populations.
In editorial pages across the region, commentators are writhing and contorting themselves to try to find a dignified, elevated expression of the pending decision: Should the Melanesian Spearhead Group recommend full membership for the United Movement for the Liberation of West Papua (ULMWP)? Will they do it?
The answer to each question is agonisingly simple: Yes, they should; and no, they will not.
Indonesia has already won this round. They won on the day that Voreqe Bainimarama reiterated that Indonesia’s territorial integrity was inviolate. They won doubly when he recommended them for associate membership in the MSG, a move that effectively kills the prospect of any dialogue concerning West Papuan independence in this forum.
The MSG operates on consensus. If there is no agreement, there is no action. Given the opposing stances that Vanuatu and Fiji have taken concerning the ULMWP, no compromise – let alone consensus – seems possible. And given the recent rise to power of Sato Kilman, widely considered to be Indonesia’s cats-paw in Vanuatu, membership for Indonesia is not out of the question.
Regional commentators and political figures wax poetic about the need for dialogue and inclusion. They ignore the rather inconvenient fact that West Papua’s MSG bid is a result of the fact that dialogue within Indonesia is not only impossible, it’s frequently fatal to those who attempt it.
It’s frankly infuriating to see the namby-pamby linguistic contortions that some of those involved have engaged in. Solomon Islands prime minister Manasseh Sogavare’s championship-level equivocation, advocating for observer status for the ULMWP and membership for Indonesia, simply closes the coffin and hands the nails to Indonesia. PNG prime minister Peter O’Neill’s ability to swallow his outrage over human rights abuses seems to increase right alongside his ability to attract Indonesian business interests.
But worst of all is Vanuatu’s deputy prime minister Moana Carcasses, who only last year made history with his presentation of West Papua’s plight to the United Nations. Now, he is reportedly professing that the issue is a difficult one, and that understanding and patience need to prevail.
Fiji, at least, is unapologetic, if shameless, in its stance.
The MSG cannot move out of this morass if it won’t speak clearly about the situation. There is a prima facie case for West Papuan membership in the MSG. If the fact that the chair is currently held by the New Caledonian independence movement weren’t evidence enough, then the words of support from MSG founding member Sir Michael Somare should suffice.
But ULMWP membership is unacceptable to Indonesia. And it has played its hand with care. Ensuring that even Australia did not remain on the sidelines, it prodded and pulled at everyone involved, and got the result that it wanted.
If the MSG is to retain even an iota of credibility, the only line that it can honestly take now is to admit that it cannot usefully function as a forum for discussions concerning Melanesian decolonialisation, because it lacks the strength to resist the overwhelming power of its neighbours.
It’s a fact: Melanesia is weak. There’s no shame in saying so. Indonesia is powerful – powerful enough even to give Australia pause. Indonesia has the will and the political and material resources necessary to ensure that West Papuan independence remains merely a dream for years yet to come. Likewise, armed resistance to an utterly ruthless military cannot succeed. The days of the OPM are past – if they ever existed.
The sooner we come to terms with these truths, the sooner ULMWP can begin developing effective tactics to counteract them. Those of us in Melanesia owe them at least that much.
[First published at the Pacific Institute of Public Policy .]

Sumber : https://redflag.org.au
03.49 | 0 komentar

Jenderal TNI Moeldoko Latih Wartawan Liput di Medan Perang

Written By Unknown on Kamis, 18 Juni 2015 | 15.57

Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko (tengah) meneriakkan yel-yel bersama para prajurit Kopassus di Markas Grup-1 Kopassus, Serang, Banten, Rabu (11/3). Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Jakarta, MAJALAH SELANGKAH -- Sebelumnya, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu meminta para raider Komando Strategis cadangan Angkatan Darat (AD) siaga jika sewaktu-waktu harus terjun ke Papua, menghadapi gerakan kemerdekaan Papua Barat (baca: Mentri Pertahanan RI: Cadangkan AD Siaga untuk Papua).

Selanjutnya, TNI membentuk Satuan Komando Operasi Pasukan Khusus Gabungan untuk membantu kepolisian menanggulangi terorisme dan gerakan makar (baca: TNI Bentuk Satuan Khusus Tanggulangi Teror dan Makar).

Kini, TNI mengajak awak media untuk melakukan simulasi latihan melakukan peliputan di medan perang. Dalam latihan tersebut, Panglima TNI Jenderal Moeldoko ingin agar para wartawan mampu memahami situasi di daerah pertempuran.

Dilansir CNN Indonesia edisi Sabtu 13 Juni 2015 memberitakan, sebanyak 85 wartawan, baik media cetak, media online dan media elektronik mengikuti simulasi latihan peliputan di medan perang. Para peserta telah hadir di Gunung Sanggabuana, tempat pelatihan, sejak Kamis malam (11/6/2015) dan selesai pada Sabtu (13/6/2015).

"Ini perlu dicermati bahwa saudara wartawan nanti jika memiliki tugas di wilayah tidak aman, maka perlu memahami situasi di sana," ujar Moeldoko di lokasi latihan Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat di Karawang, Jawa Barat, Sabtu (13/6/2015).

"Bagaimana mengetahui cuaca yang baik, memahami medan, dan memahami musuh yang sedang bertikai," ujarnya.

Terkait cara latihan yang dirasa terlalu keras, Moeldoko mengatakan, itu semua diperlukan karena medan perang lebih ekstrem dari yang diajarkan oleh para pelatih. Selain itu, sang jenderal yang sebentar lagi digantikan posisinya oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo itu berencana untuk menjadikan latihan wartawan sebagai agenda rutin.

"Saya kira ini akan rutin ya. Saya sangat setuju jika ini dirutinkan. Di daerah operasi sangat keras maka perlu dilatih cara-cara ekstrem. Kalau normatif tidak bertemu (persamaan dengan medan perang)," kata Moeldoko. (SAL/014/CNN/MS)


Sumber : http://majalahselangkah.com
15.57 | 0 komentar

Razia Aktivis KNPB, Polres Sorong Kota Tahan Satu Anggota

Rasia Aktivis KNPB yang di lakukan aparat
 Polres Sorong Kota - Jubi, Niko
Sorong, Jubi – Aksi demo damai Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Sorong Raya yang rencananya akan dilakukan di halaman kantor DPRD Kota Sorong, Rabu (17/6/2015) guna mendukung Papua Barat menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) dihentikan aparat dengan melakukan razia. Satu aktivis KNPB Sorong Raya atas nama Nando Kogaya dan satu kendaran motor ditahan Polres Sorong Kota.
Berdasarkan pantauan Jubi, Rabu (17/6) sekitar pukul 10.00 WIT, anggota Kepolisian Polres Sorong Kota dibantu TNI melakukan monitoring sebelum melakukan razia terhadap aktivis KNPB yang berencana akan bergerak melakukan aksi unjuk rasa dari kawasan komplek perkuburan Kilometer 10 menuju ke kantor DPRD Kota Sorong yang berlokasi di jalan Jupiter kilometer 10 Kota Sorong.
Selang beberapa waktu, tidak ada pergerakan dari pengunjukrasa. Kemudian pihak Kepolisian melakukan razia terhadap sejumlah kendaraan yang melintas dan dicurigai sebagai aktivis KNPB yang secara diam-diam dan terpisah, ingin melakukan unjuk rasa di kantor DPRD Kota Sorong.
Hasil razia tersebut akhirnya membuahkan hasil. Anggota Kepolisian berhasil menyita sebuah selebaran dari dalam tas seorang pengendara sepeda motor yang melintas dan diduga sebagai aktivis KNPB. Dinilai telah berencana melakukan aktivitas terlarang kemudian, barang bukti yang dibawanya disita oleh aparat kepolisian dan yang bersangkutan dimintai keterangan terkait barang bawaannya sebelum akhirnya dilepas kembali.
Juru Bicara KNPB Sorong Raya, Agustinus Aud alias Gusti Prabu mengaku, KNPB Sorong Raya sekitar pukyul 9.00 pagi WIT, berencana melakukan aksi damai berupa long march menuju kantor DPRD Kota Sorong, namun rencana tersebut dihadang oleh aparat gabugan TNI/POLRI.
“Anggota polisi sempat menahan satu aktivis KNPB Sorong Raya atas nama Nando Kogaya dan satu kendaran motor tapi sudah dibebaskan pada pukul 16.00 WIT,” katan Gusti Prabu.
Menurut nya, tujuan aksi KNPB ingin mendukung penuh ULMWP membawa aplikasi Papua Barat menuju MSG. “ Ingat, rakyat Papua Barat selama 54 tahun hidup bersama indonesia. Namun, orang asli Papua tetap garis dibawa kemiskinan dan melarat di atas kekayaan alam sendiri, “jelasnya melalui telefon seluler. (Niko MB).
04.22 | 0 komentar

Polisi Bubarkan Sosialisasi Hasil ULMWP di Kaimana

Written By Unknown on Jumat, 17 April 2015 | 23.04

Add caption
Jayapura, Jubi – Kegiatan sosialisasi hasil United Liberation Movement fo West Papua (ULMWP) yang dihasilkan di Saralana, Vanutu oleh para pimpian organisasi perjuangan pembebasan Papua Barat yang hendak disosialisasikan oleh Parlemen Rakyat Daerah (PRD) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Kaimana sempat dibubarkan oleh aparat dari Polres Kaimana.
“Kegiatan Sosialisasi ULMWP oleh Team Kerja ULMWP wilayah Bomberai di Kaimana sempat dibubarkan oleh Kepolisian Resor Kaimana. Namun setelah negosiasi dengan kami pihak penyelenggara dan dengan adanya penolakan dari masyarakat, kemudian sosialisasi dilanjutkan kembali setelah aparat meninggalkan tempat sosialisai,” ujar Steven Itlay, Team Sosialisasi ULMWP Wilayah Bomberai  West Papua dari Kaimana melalui surat elektronik yang diterima Jubi, Rabu (15/4/2015).
Dijelaskan, sebelumnya kegiatan dimulai pada pukul 10.00 WP, dihadiri para tokoh-tokoh politik, tokoh agama dan tokoh adat. Diawali dengan doa dan selanjutnya sambutan Ketua KNPB Kaimana atas terselenggaranya kegiatan.
Selanjutnya, pemateri dari team sosialisasi yang dibantu KNPB dan PRD wilayah Kaimana menjalankan kegiatan sosialisasi dengan baik dan mendapat respon dan sambutan yang baik oleh peserta kegiatan.
“Tetapi di tengah jalannya kegiatan sosialisasi Kapolres Kaimana bersama bawahannya datang dengan mengendarai dua truk Dalmas, dua mobil patroli dan satu mobil Avanza mendatangi tempat sosialisasi dan memaksa untuk membubarkan kegiatan sosialisasi sehingga kegiatan terpaksa di tutup pada pukul 12.00,” jelasnya.
Setelah itu, aparat hendak mengamankan beberapa alat seperti baliho, megaphone, fotokopian materi sosialisasi dan lainnya, namun karena pihak pihak penyelenggara kegiatan bersihkeras menolak. Sehingga aparat tidak sempat amankan barang-barang tersebut.
“Setelah itu aparat kembali dan  kegiatan sosialisasi dilanjutkan hingga usai dengan tertib,” ujarnya.
Sementara itu, Bazoka Logo, Juru Bicara Nasional KNPB Pusat kepada Jubi meminta kepada aparat agar hentikan cara-cara basi yang dilakukan oleh aparat untuk menghalangi kegiatan apapun yang dilakukan oleh KNPB dengan alasan apa pun.
“Apa yang kami lakukan ini adalah perjuangan damai dan bermartabat. Bukan perjuangan dengan kekerasan. Aparat harus banyak belajar UU yang dibuat oleh negara Indonesia. Bukan malah melanggar UU yang dibuatnya sendiri dengan cara yang tidak masuk akal. Jadi aparat stop dengan aksi-aksinya untuk menghalangi setiap aktivitas orang Papua,” tegasnya kepada Jubi di Waena, (15/4/2015).
Pemerintah Indonesia melalui jajaran dibawahannya, seperti aparat TNI maupun Polri di tanah Papua diminta menghentikan aksi-aksinya, sebab ruang demokrasi di tanah Papua harus dibuka.
“Kami KNPB tetap dan terus berjuang untuk menyuarakan aspirasi rakyat Papua hingga cita-cita bangsa Papua Barat tercapai,” tegasnya.
Dari informasi yang diterima Jubi, Kapolres Kaimana memimpin langsung ke tempat sosialsasi ULMWP di Kaimana. Jumlah personil yang diturunkan sekitar 30-an anggota. Namun setelah aparat pergi, kegiatan dilanjutan kembali dan berjalan dengan lancar.(Arnold Belau)
Sumber : http://tabloidjubi.com
23.04 | 0 komentar

Blog Archives

Total Tayangan Halaman