Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Kitab Suci, Rohaniwan dan Penjajahan di Papua

Written By PAPUAtimes on Kamis, 03 November 2016 | 05.15

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)
Oleh: Mbagimendoga Uligi
Rohaniwan yang memikul Kitab Suci sedang menghambur-hamburkan ayat-ayat Kitab Suci tanpa makna Teologi di Papua. Para Rohaniwan mengutip ayat-ayat Kitab Suci untuk memuji-muji pemerintah, menginjak-injak jemaatnya dengan cara mengajak jemaat tunduk kepada pemerintah.
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah,” khotbah para Rohaniwan mengutip surat Paulus kepada Jemaat di Roma (Rm 13:1-3) di media-media lokal di Papua sejak 50 tahun lalu.
Soalnya, sejak kapan Allah menetapkan pemerintahnya di Papua? Apakah benar pemerintah Indonesia di Papua ditetapkan Allah? Apa indikator pemerintah Indonesia di Papua suatu pemerintahan yang ditetapkan Allah? Pemerintah yang ada suatu penetapan Ilahi adalah satu omong kosong para Rohaniwan. Rohaniwan asal mengutip dan mengajar surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma ini untuk Jemaat di Papua.
Karena asal mengutip, seorang Rohaniwan yang mestinya bertugas mengajak dan menuntun jemaatnya keluar dari lingkaran setan kekuasaan yang menindas dan membunuh malah mengajak jemaat menerima perilaku pemerintah yang barbar. Rohaniwan lanjut mengutipnya begini: “Sebab itu, barang siapa yang melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah, dan barang siapa yang melakukannya akan mendatangkan hukuman atas dirinya.”
Kutipan ini jelas-jelas sang Rohaniwa menutup mata dengan pembunuhan orang Papua atas nama penerapan hukum Negara kesatuan Republik Indonesia di Papua. Pembunuhan atas keutuhan Negara dianggap lebih penting daripada keutuhan Jemaatnya. Keutuhan perpuluhan imbalan dari khotbahnya lebih penting daripada keutuhan Jemaatnya. Keberlanjutan pendudukan dengan bedil dianggap lebih penting daripada penghabisan umat Tuhan.
“Khotbah yang mementingkan perpuluhan itu wajah Gereja yang memeras dan menjajah umat Tuhan atas nama iman. Rohaniwan menjual ayat-ayat Kitab Suci,” ujar Yulaghap Yuwukha.
Rohaniwan macam ini kalau dibaca dalam kerangka kitab Perjanjian Lama: Nabi-nabi murni dan nabi-nabi palsu atau nabi pemerintah. Nabi murni dan pemerintah sangatlah beda dari asal usul hingga kepentingan dari khotbahnya. Nabi-nabi murni muncul secara alami. Tidak ada pengangkatan atau pelantikan sebagai nabi. Kehidupannya bisa saja sama seperti masyarakat lain. Kerja kebun dan mengurus keluarganya. Kemudian menyampaikan ilham dengan situasi sosial politik dan keagamaan yang berlangsung kepada masyarakat.
Nabi-nabi pemerintah adalah nabi-nabi yang dilantik dan diakui pemerintah supaya menafsir dan mendoakan sesuai dengan kepentingan pemerintah. Karena itu, Rohaniwan macam ini yang dibawa-bawa untuk mendoakan acara-acara pemerintah. Mereka menyampaikan khotbah-khotbah sesuai dengan kebutuhan pemerintah.
Kita kembali ke Surat Paulus. Para Rohaniwam memang sangat tidak salah mengutipnya surat sang Rasul. Hanya, para Rohaniwan ini mengutip ayat itu tanpa melihat konteks Rasul Paulus menulis surat itu kepada Jemaat di Roma. Rohaniwan mengutip ayat itu begitu saja, lalu memuntahkannya kepada Jemaat. Jemaat yang aman dengan Kitab Suci mengamininya atau menolaknya, namun tidak pernah tunjukkan penolakannya.
Supaya kena konteks, para Rohaniwa mestinya membaca ayat itu dalam konteks jemaat Kristen di Roma atau membacakannya dalam konteks Jemaat Kristen di Papua. Kalau bicara konteks Jemaat Roma, waktu itu Jemaat di Roma berada dalam tekanan pengejaran dan pembunuhan dari orang Yahudi dan orang Roma yang tidak beragama Kristen maupun konflik internal komunitas Yahudi yang menganut Kristen waktu itu.
Karena itu, dalam konteks itu, Paulus menulis surat untuk mengajak Jemaat Roma tetap beriman kepada Yesus dengan nasehat-nasehatnya. Ia menasehati supaya tetap melihat Injil sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan, bukan hukum Yahudi atapun pemerintahan yang berkuasa. Paulus menekan saling melayani dalam kerendahan hati sebagai orang-orang yang percaya kepada Yesus.
Ketika menafsir ayat pilihan kaum penjajah itu, Teolog asal Belanda, Groenen OFM mengatakan, memang ayat itu menjadi nasehat Paulus soal hubungan orang percaya dengan Negara, yang dinilai cukup positif. Penilaian positif menjadi penekanan utama dan mesti dimengerti dalam kerangka teologi Paulus dalam Surat Roma.
Sudah tersirat jelas, menurut Gronen, Teologi Paulus dalam Surat Roma dapat dirumuskan “melalui pewartaan Injil semua orang berdosa dibenarkan Allah karena percaya kepada Yesus”. Percaya terhadap misi Yesus historis maupun imanen. Misi Yesus historis sudah jelas memperjuangkan pembebasan manusia. Yesus berjuang membebaskan manusia dari egoisme menguasai dan memeras yang terjadi dalam pemerintahan kekaisaran Romawi yang berkuasa ketika Yesus memperjuangkan pembebasan.
Ketika berbicara konsep suatu Negara, Agustinus, Uskup Hipo, dalam bukunya “City Of God”, menguraikan konsep Negara dan hubungan pemerintahan dan rakyat. Agustinus membedakan negara menjadi dua: negara Surgawi dan negara Duniawi. Agustinus mengatakan, negara Duniawi diperintah oleh manusia. Manusia memimpin dan memerintah penuh dengan keegoisan, kebencian, kejahatan, dan peperangan.
Konsep sebaliknya, Agustinus menggambarkan negara Surgawi dipimpin dan diperintah oleh Allah. Allah memimpin dan memerintah negaranya penuh kebijaksanaan, keadilan, kebenaran dan kedamaian. Singkatnya, negara Surgawi diperintah Allah dengan cinta dan pelayanan, serta negara sekular diperintah oleh manusia penuh kebencian demi cinta dirinya.
Kalau begitu, apakah negara Surgawi itu identik dengan lembaga Gereja tempat para Rohaniwan mengadu nasib dan negara Duniawi itu identik dengan lembaga negara pemerintah? Agustinus tidak mempersoalkan konsep kedua negara sebagai lembaga organisasi Gereja dan politik, melainkan sebagai cara hidup. Cara hidup yang ditunjukkan oleh manusia pertama, Adam dan Hawa, Kain dan Habel, yang kemudian diwariskan kepada kita. Kita menerima dan meneruskan warisan itu dalam hidup kita sebagai manusia yang mencintai kejahatan dan kebaikan. Kejahatan sebagai hakikat dari negara sekular dan kebaikan sebagai negara surgawi.
Penggambaran itu menjadi jelas kalau hubungan pemerintah Indonesia dan Jemaat di Papua sudah negatif dengan kejahatan Negara sebagai satu cara hidup, apa artinya para Rohaniwan mengajak jemaat tentang ketaatan terhadap pemerintah? Apakah hubungan positif para Rohaniwan yang makmur dan sejahtera harus menjadi ukuran Jemaat yang menderita, yang punya hubungan negatif harus tunduk kepada pemerintah? Ataukah Jemaat harus menderita demi hubungan positif Rohaniwan dengan Negara?
Penulis adalah tukang angkat barang di pelabuhan Port Numbay, tinggal di Hollandia.

Sumber : www.suarapapua.com

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda di Sini !!!